17. Seni Özledim, Aşkim. ( I Miss You)

36 7 0
                                    

Kadikoy, penghujung musim gugur 2019

Beberapa malam ini kulalui dengan kegelisahan. Tidur dengan membawa kegundahan seolah mimpi buruk. Bagaimana bisa lelap jika pikiranku terus bekerja keras tanpa henti. Apakah aku ragu dengan keputusanku untuk menyetujui keinginan annem? Hanya sekadar melaksanakan kehendaknya, bukan keinginanku. Sejujurnya aku tak siap menjalani semua itu. Bukannya aku tak mau berubah menjadi orang baik, kupikir saatnya akan datang sendiri. Tanpa dipaksa, tanpa ditekan. Hanya timbul sendiri dari niat hati. Tetapi demi dia, semua ini akan kulakukan. Demi Naz!

Aku tak bisa membayangkan jika semua yang kujalani sekian lama dalam hidup ini, harus berubah. Mulai dari kebiasaanku, mengubah pola hidup, pola pikir, ketaatan, dan sebagainya. Memulai kehidupan religius itu, sungguh menakutkan bagiku. Mampukah aku? Sekali lagi, demi dia. Demi Naz! Aku tak mau kehilangannya.

Sebelum berangkat, kujemput Naz yang masih numpang di tempat tinggal temannya itu. Ibuku memaksanya untuk tinggal di rumah kami, hitung-hitung menggantikan aku menemani Annem dan Aisha. Setelah kami bujuk akhirnya ia menyerah. Salut juga dengan prinsipnya yang keras. Aku merasa kasihan melihatnya nasibnya. Tak mau sampai ia terkatung-katung hanya karena aku.

Karena aku, ia berani membantah kakak yang berperan sebagai orang tua. Juga mempertaruhkan masa depannya. Hanya karena mempertahankan seonggok hati yang membusuk ini. Oleh karena itu, mengapa aku tak bisa membalas dengan memperjuangankannya? Hatinya tak busuk sepertiku, tetapi ia adalah mutiara dalam lumpur. Tetap berkilau meski berkubang dalam pekat.

"Aku pergi untuk membuktikan bahwa aku bisa menjadi seperti yang mereka mau. Dan demi kamu ...," ucapku kepada Naz,  sebelum berangkat. Saat itu taksi yang mengantarku sudah menunggu. Aku sengaja tak membawa kendaraan. Tak juga membawa apa-apa selain beberapa setel pakaian, ponsel dan sejumlah uang untuk bekal. Aku harus belajar menanggalkan semua kemelekatan di diri. Khususnya urusan duniawi. Tetapi bukan berarti meninggalkannya, karena hidupku masih tergantung materi. Tak bisa tidak.

"Aku akan menunggumu sampai kamu kembali dan menjadi dirimu yang baru. Tapi aku tak memaksa dan tak berharap banyak dirimu untuk berubah. Dengan keberangkatanmu saja sudah membuatku senang," ujarnya lirih, seolah menahan haru. "Ini bentuk keseriusanmu. Tapi ingat, jangan lagi katakan demi aku. Tapi demi ridha Allah!"

"Aku nggak berani ucapkan itu. Entahlah, aku sendiri nggak tahu sejujurnya demi apa melakukan hal ini. Yang jelas, dalam tekadku hanya karenamu. Itu saja!"

"Kapan-kapan, aku boleh menjenguk ke sana?" tanyanya dengan binar mata penuh harap.

Kuanggukkan kepala untuk meyakinkannya. Biar tak ada kecemasan atau keraguan di hati gadis itu. Tak lupa aku berpesan untuk tetap bekerja di agency. Karena tak semua urusan diserahkan kepada Ferhat, untuk memimpin perusahaan selama aku pergi. Aku tak memercayai sepupuku itu, apalagi setelah kasus pembunuhan ayahku oleh ayahnya. Dendam itu masih ada, hanya saja harus mengendap dalam batin. Tetapi karena secara hukum, Ferhat masih berhak dan paling kuasa atas perusahaan ini setelah aku.

***

Kadikoy, wilayah yang masih termasuk Istanbul bagian utara. Tepatnya, di bagian benua Asia. Tak terlalu jauh sebenarnya dari lokasi rumahku yang berada di bagian Eropa, hanya menyeberangi Selat Bosphorus dengan melewati jembatan gantung sepanjang 1,5 km, kemudian menyusuri jalan pesisir Üskudar hingga memasuki wilayah Kadikoy. Di kaki bukit, sudah terlihat bangunan memanjang yang akan kutempati mulai hari ini. Sebuah Yatili Erkek Hafizlik Kur'an kursu, atau istilahnya pondok Al-Qur'an nonformal khusus laki-laki, dan hanya dihuni puluhan santri beragam usia, pendidikan, dan latar belakang kehidupan.

Merhaba, Aşkim! [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang