3. Posessive

92 15 2
                                    

Jakarta, akhir Februari 2018

Begitu kaki menapak di tanah kelahiran, aku berdiri sambil memejam. Kuhirup dalam-dalam udara Jakarta yang seminggu ini tak mampir di paru-paruku. Walau tak sesegar Istanbul, namun aromanya membuat rindu. Inikah namanya rindu tanah air? Rindu kampung halaman? Ya. Meski ada sesuatu yang abstrak tertinggal di belahan dunia sana, tapi rasanya terbawa sampai sini. Di hati.

Tiba di rumah, pelukan Mama menyambut hangat. Papa kebetulan masih di kantor, aku belum sempat bertemu. Sambil melepas kangen, Mama langsung memintaku bercerita tentang pengalamanku, selama di Negeri Seribu Masjid itu.

Haruskah keceritakan masalahku dengan Kak Fahri, atas kejadian malam itu? Sepertinya Mama belum diberi tahu kakakku, karena tak menyinggungnya.

"Baru ditinggal seminggu aja  Mama udah kangen banget, Naz. Gimana nanti kalau dua tahun, ya?" keluh Mama sambil membongkar tas berisi oleh-oleh.

"Naz juga inget Mama terus." Aku menimpali. Kembali kupeluk perempuan yang mulai banyak kerutan di wajah cantiknya itu.

"Iya, sepi banget tanpamu, Naz! Tapi kamu nggak manja 'kan, di rumah kakakmu? Kasian Ayla. Sudah kerepotan ngurus bayi, ditambah lagi harus ngurusin adiknya yang manja," ledeknya.

"Nggaklah Ma, Naz tahu diri kok," jawabku agar tak membuatnya khawatir.

"Oya, pesanan tantemu mana?" Aku menyodorkan kantung berisi beberapa jilbab dan manisan buah kering untuk Tante Sofie, adik Mama. Juga mug teh untuk Papa.

***

Baru sehari di Jakarta, tak bisa kutahan keinginan bertemu teman-teman. Sore itu, kami sepakat untuk berkumpul di sebuah kafe daerah Kemang. Sekadar nongkrong sambil ngopi, kami melepas kangen. Tertawa dan bercerita, hingga berswafoto adalah kebiasaan kami kalau ngumpul. Kadang suka sampai lupa waktu.

Di tengah keseruan bercanda-ria, tak diduga sebelumnya, Haikal datang. Mantan kekasihku itu menghampiri meja kami. Entah dari mana ia tahu aku ada di sini. Sejenak, semua terdiam dan memperhatikannya.

"Hai, Naz! Pulang nggak bilang-bilang. Aku 'kan bisa jemput kamu di bandara."

Tanpa dipersilakan, Haikal menarik kursi ikut duduk di antara kami. Aku, Fika, Sasha, dan Zoya, hanya saling bertukar pandang. Mereka seolah tahu apa yang kupikirkan. Zoya pun tampak mengangkat bahu.

"Kenapa harus bilang? Nggak ada kewajibanku untuk melapor sama kamu," jawabku dengan ketus.

"Seenggaknya hargai aku dong, Naz," tukasnya sambil mengetuk-ngetuk kunci mobil ke meja.

"Memangnya, aku apanya kamu?" ujarku sinis.

"Naz!" Ia agak membentak dengan menegakkan kepala. Kelihatan sekali ia tak suka dengan ucapanku.

Muak rasanya harus berhadapan dengan mukanya lagi. Sikapnya tak pernah berubah. Tiga tahun  menjadi pacarnya, ternyata tak cukup untuk memahami dirinya. Sikap temperamentalnya selalu saja membingungkan. Kadang baik, manis, namun tiba-tiba berubah jadi pemberang. Kadang cemburu buta bahkan posesif. Aku seakan terkekang dan tertekan oleh tingkahnya. Tak jarang ia berlaku kasar, selalu merendahkan, juga terlalu mengatur. Lebih-lebih dari orang tuaku sendiri.

"Kal! Lo kan sudah jadian sama Keysa, kok masih ngejar Naz, sih?" Dengan berani, Fika menegur Haikal.

"Lo nggak usah ikut campur urusan orang, Fik! Lo nggak tahu apa-apa!" Haikal tersinggung oleh omongan Fika. Memang pernah kudengar ia suka jalan dengan Keysa, teman kami juga. Tapi  sudah tak peduli apa pun yang lelaki sombong itu lakukan.

"Cuma ngingetin lo doang, Kal! Gue nggak mau sahabat gue, lo jadiin mainan." Fika, si tomboy itu tak mau kalah. Dia memang paling galak di antara sahabat-sahabatku.

Merhaba, Aşkim! [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang