Istanbul, pertengahan musim gugur 2019
[Pulang kuliah langsung ke rumah. Jangan ke mana-mana. Ba'da Magrib akan ada tamu kita yang datang!]
Hari ini memang jadwal kuliah agak longgar dan di kantor juga tak terlalu sibuk mengejar deadline. Tetapi pesan dari Kak Fahri itu rasanya males sekali untuk segera pulang. Aneh saja, yang datang tamunya dia kenapa aku di suruh pulang? Biasanya juga siapa pun tamunya dia, tak pernah melibatkan diriku. Urusan kakakku bukanlah urusanku.
Ah, aku teringat Emir. Hari ini ia menghadiri sidang pengadilan kasus kematian ayahnya. Ia diminta jadi saksi. Polisi akhirnya menemukan pelaku penembakan yang direkayasa dengan tragedi kecelakaan itu. Aku, mungkin juga semua orang tak mengira siapa dalang dibalik drama tragis itu. Setelah polisi menerima barang bukti dan dilakukan penyelidikan, maka ditetapkanlah siapa pelakunya. Semua itu didukung oleh rekaman CCTV di tempat parkir resto malam itu. Di rekaman itu, mobil Murat Selim Bay berada di belakang mobil Emir yang hendak mengantar aku pulang. Tak berapa lama, sebuah mobil yang sangat dikenali membuntutinya. Mobil itu milik Yusuf Selim. Ya, dialah yang menembak kakaknya sendiri dengan menggunakan senjata yang kutemukan bersama Emir di gudang vila itu. Sidik jari yang ditinggalkan juga dari cat mobil yang menempel di badan mobil Murat Selim Bey yang tergores. Diduga sebelum menembakinya, kendaraan itu ditabrak dulu dari belakang, dan sempat memepet hingga meninggalkan goresan, lalu digulingkan sampai jatuh ke jurang. Kemudian ditembakinya peluru itu mengenai tubuh kakaknya juga tanki bensin, sehingga mobil terbakar dan Murat Selim Bey pun tewas di tempat.
Pembunuhan berencana itu dilatarbelakangi oleh kecemburuan adik kepada kakaknya. Yusuf Selim selama ini merasa diperlakukan tak adil oleh orangtuanya yang selalu mengistimewakan kakaknya sedari kecil. Puncaknya, ketika Emir diangkat menjadi CEO perusahaan milik keluarga besar Selim, peninggalan ayahnya yaitu Furkan Selim. Yusuf Amca menginginkan yang menjadi pemimpin perusahaan advertising itu adalah Ferhat anaknya.
Siapa yang tidak syok ketika polisi menangkap Yusuf Selim yang kebetulan saat itu sedang berada di kamar hotel bersama wanita penghibur. Semua tak ada yang percaya, termasuk anaknya sendiri.
Kasus itu membuat perpecahan antara keluarga Emir dan Ferhat. Hubungan mereka layaknya musuh besar. Perang dingin pun mulai dikibarkan oleh kedua pihak. Namun situasi di kantor agency malah menjadi panas.
***
[Naz, tolong sekalian mampir dulu ke pasar, belikan bumbu untuk bikin soto ayam. Kita masak masakan Indonesia untuk tamu malam nanti.]
Begitu bunyi pesan kedua dari kakakku. Siapa sih tamunya itu? Sepertinya penting banget. Tak biasanya disambut seistimewa itu.
Terpaksa aku pulang cepat karena pesan itu. Mau tak mau aku harus melaksanakan perintah lelaki sedarah yang menjadi pelindungku.
Tiba di rumah, Ayla sedang menyibukkan diri di depan kompor. Ia menyiapkan masakan untuk disajikan kepada tamu istimewa dan misterius itu. Aku menaruh kantung belanjaan di meja dapur.
"Ayl! Mau kedatangan tamu dari mana sih? Kok Kak Fahri heboh banget!"
Ayla tak menjawab. Ia hanya mengangkat bahu seraya mencebik. Dari gesturnya sudah dipastikan bahwa ia kurang suka dengan penyambutan tamu agung suaminya itu.
"Terus, ngapain masak serepot ini?" tanyaku memancing jawabannya.
"Tau! Katanya sih, temannya dari Komunitas Muslim Indonesia di Istanbul," jawabnya sedikit ketus sambil mengeluarkan barang belanjaan dari kantung plastik.
"Berapa orang? Banyakan, ya?" tanyaku diikuti menjawab pertanyaan sendiri.
"Seorang, Nanas ... hanya seorang!"
"Biasa aja kali ngomongnya. Nggak usah pake ngegas!" tukasku sambil melempar bawang ke tubuh Ayla. Aku menertawakan rautnya yang kecut, namun beberapa detik kemudian tawaku berganti mengaduh ketika sebuah tomat mendarat di dahiku.
Aku dan Ayla cepat-cepat menyelesaikan pekerjaan dapur itu. Kak Fahri memberitahukan lewat telepon bahwa ia dan tamunya sedang dalam perjalanan menuju rumah. Herannya, kakakku berpesan agar aku cepat mandi dan bersolek. Aku jadi tambah penasaran dengan tamunya itu. Seistimewa apakah, atau seberapa besar pengaruhnya terhadap kakakku.
Klakson mobil Kak Fahri terdengar dibunyikan untuk ketiga kalinya. Ayla segera menyambutnya di pintu, sedangkan aku masih mengatur hidangan makan malam di meja makan. Soto Jakarta, perkedel kentang, sambal goreng hati, serta ayam goreng sudah tersaji. Aku tinggal mandi dan berdandan rapi. Tak apalah sekadar menghargai tamu, meski tidak merias wajah berlebihan.
Ayla mengetuk pintu kamarku agar aku segera keluar. Aku baru saja menyematkan bros di kerudung cokelatku. Manis sekali berpadu dengan gamis Batik Pekalongan yang kukenakan."Bentar, Ayl! Pada nggak sabaran banget, sih?" jawabku ketika Ayl beberapa kali memanggilku.
Di ruang tamu, tampak Kak Fahri, Ayla dan dua lelaki muda yang belum pernah kukenal. Ternyata tamunya bukan seorang seperti yang dikatakan Ayla. Lelaki yang terlihat lebih tua mengenakan setelan jas semi formal mengangguk sambil tersenyum kepadaku. Aku membalas dengan senyum dan sedikit rengkuhan. Berbeda dengan lelaki satunya, tadi tampak gugup dan gelisah. Kini ia tak berkedip menatapku seperti terpukau. Lebih muda dan bersih. Aku menahan geli kala lelaki di sampingnya menyikut lengan lelaki muda itu hingga tersadar.
"Naz, mereka ini teman Kakak di Komunitas Muslim Indonesia di kota ini. Kami sama-sama aktif mengadakan silaturahmi serta pengajian rutin tiap bulan." Kakakku menjelaskan dan memperkenalkan tamunya. Aku hanya mengangguk.
"Ini Mas Akbar, dan di sebelahnya Idham."Lelaki yang dipanggil Idham itu terlihat gugup. Ia beberapa kali membetulkan krah kemeja putihnya, lalu mengusap wajahnya.
"Idham ini sedang melanjutkan S-3 di Marmara University lho, Naz. Disamping itu, ia pemilik perusahaan Biro Perjalanan Haji dan Umrah di Jakarta. Kakak kagum, di usianya yang masih muda, Idham sudah sukses di bisnis dan pendidikannya. Selain saleh dan taat beribadah tentunya. Patut dicontoh ini." Kakakku tak henti memujinya.
Aneh. Aku justru muak kalau mendengar pujian yang berlebihan seperti ini. Ah, mungkin kakakku benar, ia patut dikagumi. Kakakku lebih tahu mengenai diri pemuda itu.Kami melanjutan acara makan malam yang diselingi obrolan santai. Suasana tak sekaku tadi.
Idham juga terlihat lebih rileks dibanding di ruang tamu tadi. Saat makan, ia beberapa kupergoki mencuri pandang ke arahku.Selesai makan, Kak Fahri memanggilku. Saat itu aku dan Ayla masih membereskan piring dan sisa makanan di meja. Aku dan Ayla menunda pekerjaan itu dan langsung menuju ruang tamu.
"Ada hal penting yang ingin kami bicarakan mengenai kedatangan Mas Akbar serta Idham ke rumah ini." Kak Fahri menghentikan ucapannya sejenak. Ia menghela napas panjang seakan memberi ancang-ancang untuk melanjutkan. Semua terdiam menunggu lanjutan kalimatnya.
"Naz, Kakak dan Mas Akbar sudah membicarakannya lebih dulu masalah ini, dan kami sepakat. Mas Akbar selaku wakil keluarga Idham, berencana mempertemukan kalian. Kakak mengizinkan Idham untuk berta'aruf kemudian nadzor sekarang ini denganmu."
Bagaikan suara halilintar mendengar penuturan kakakku itu. Aku tercekat, lidahku kelu. Aku tak mampu menjawab apapun ketika Kak Fahri menunggu ucapan yang keluar dari mulutku.
"Naz?" Aku tersentak saat Ayla menepuk punggung tanganku.
"Emh ... A-aku, aku pikirkan dulu, Kak!" jawabku tergagap. Aku menatap ke arah Ayla untuk mencari bantuan. Namun Ayla hanya menggelengkan kepalanya. Pastinya ia tak berani membantah suaminya di depan tamu. Aku paham.
"Kenapa harus dipikirkan lagi? Idham ini secara lahir sempurna, mapan, berpendidikan, berakhlak baik. Layak dijadikan imam keluarga. Apa lagi yang kamu ragukan?" serang kakakku menegaskan.
Aku terdiam. Percuma mendebatnya, apalagi di hadapan tamu. Salah-salah akan mempermalukan kami sendiri.
"Baiklah, setelah kalian berdua bertaaruf, bahkan nadzor yaitu bertemu muka untuk meyakinkan satu sama lain agar tak ada penyesalan di kemudian hari. Sepertinya kalian cocok. Kemungkinan kami mempersiapkan khitbah sesegera mungkin. Kalian sudah pantas membina rumahtangga. Tak baik jika ditunda-tunda!" Mas Akbar mempertegas rencananya bersama kakakku.
Ya Allah, hamba memohon petunjuk-Mu. Apakah aku harus menerima dia sebagai imamku, sementara hatiku sudah tertambat pada hati lelaki Turki itu?
**&**
KAMU SEDANG MEMBACA
Merhaba, Aşkim! [Completed]
Romansa"Menghapus tatto di tubuhku memang sakit, tapi tak seberapa pedih bila dibanding saat tak diterima oleh keluargamu. Apapun akan kulakukan meski harus menghafal 30 juz Alquran, demi mendapatkanmu." "I AM A TURKISH MAN, BROTHER! Seorang lelaki Turki...