Selim Harika Agency, musim panas 2019.
"Maaf, aku terlambat menyusul kalian!" kataku agak tersengal. "Tadi ada sedikit urusan dengan professor yang tak bisa ditunda."
Burack, Leyla, dan Ferhat serempak menatapku, kecuali Emir. Ia berpura-pura tak melihat dan tak mendengar kedatanganku.
Meeting mungkin belum dimulai, karena ruangan masih sepi. Hanya ada kami, tim dari Selim Harika Agency. Padahal kalau menurut agenda seharusnya sudah dimulai setengah jam yang lalu.
"Masih nunggu tim kerja dari Zeyda Agency. Mereka belum datang. Tadi CEO perusahaan kosmetik ini sudah menemui kami, namun kita harus menunggu sampai mereka datang."
Lega rasanya saat mendengar penjelasan dari Leyla. Tadinya aku menyangka bahwa akulah yang terakhir datang. Hari ini meeting perencanaan dimulainya proyek iklan di perusahaan kosmetik itu. Dikarenakan harus mengikuti kelas dulu, maka aku datang menyusul ke tempat ini.
Aku melirik Emir yang belum menyapaku. Sepertinya ia masih marah atas kejadian kemarin yang berurusan dengan Haikal. Aku masih menatapnya hingga tak sadar saat Emir yang sibuk dengan laptopnya, mencuri pandang ke arahku. Aku terkejut begitu juga dengannya. Mata kami bertemu, namun cepat-cepat saling memalingkan muka. Bukan sekali itu, hingga meeting berlangsung pun berulang kali aku menangkap basah lirikannya.
Sebenarnya aku tak tahan ingin menyapa, namun kuurungkan saat melihat rautnya yang kecut. Malas jadinya jika aku yang harus memulai, dan pastinya ia akan mendiamkan. Daripada harga diriku terjatuh, lebih baik aku diamkan juga.
Diskusi terasa menghangat ketika beberapa kali Zeyda dan timnya terlibat dalam percakapan. Kentara sekali ia ingin menguasai keadaan. Berbeda dengan Emir yang lebih banyak diam, hanya sesekali ia menyampaikan ide-idenya. Kebalikan dari aku yang lebih berusaha mengimbangi opini-opini Zeyda yang dirasa menekan pihak Selim Harika Agency. Jelas kami keberatan dengan keputusan-keputusan yang diambil Zeyda. Untung saja pihak klien mau mengerti dan berusaha menengahi.
"Yang kami inginkan, tema dari peluncuran iklan ini benar-benar harus menyentuh hati para wanita, sehingga mereka tertarik untuk menggunakannya," ujar Sinan Bey, CEO perusahaan distributor kosmetik itu.
"Saya sudah menyiapkan model yang paling cantik dan seksi dari agency kami. Jangan khawatir!" kata Zeyda seraya memamerkan foto-foto model di layar laptopnya dengan bangga.
"Tak cukup hanya cantik. Tetapi harus diperhatikan attitude-nya. Ini sangat berpengaruh demi mempertahankan prestige sebuah brand ternama!" sanggah Emir dengan dingin.
"Saya bisa jamin, model saya ini bahkan bisa mendongkraknya. Anda tak perlu ragu, Emir Bey!" timpal Zeyda menyengit. Sepertinya ia agak tersinggung dengan ucapan Emir.
"Seorang model harus mengedepankan product image, karena apa yang dia pakai, apa yang dia lakukan akan berpengaruh pada konsumen. Mereka akan meniru gaya bahkan prilakunya." Emir kembali berpendapat yang ditanggapi Zeyda dengan kekesalan. "Sayangnya, hanya sedikit perempuan cantik yang bisa diandalkan kejujuran serta ketulusan. Mereka tak bisa dipercaya!"
Emir berucap sambil melemparkan tatapannya ke arahku. Tersadar dari maksud ucapannya, aku terhenyak. Ia seolah sedang menyindirku. Aku merasakannya. Tetapi kenapa ia harus membawanya ke masalah pekerjaan?
"Maksud Abi? Saya jadi tak mengerti!" Ferhat tampak bingung dan penasaran terhadap ucapan kakak sepupunya itu.
"Maaf, kupikir ini tak ada hubungannya dengan konten yang akan kita angkat. Kita hanya butuh model yang mampu mengalihkan perhatian perempuan yang ingin secantik dirinya, dengan ikut memakai produk yang digunakan," selaku, agar penjelasan Emir tak terlalu melebar.
"Justru karena itu, perempuan akan terlihat cantik bila dibarengi attitude baik. Cantik saja tak cukup kalau prilakunya tak sebanding. Konsumen akan kecewa. Di sanalah perlu adanya personal branding yang baik. Tapi kejujuran dan ketulusan itu yang terpenting!"
Kulihat Ferhat mengernyit, dan Sinan Bey menatap Emir dengan heran. Burack dan Leyla pun saling berpandangan kemudian mengangkat bahu. Mereka merasakan keanehan dengan pernyataan Emir. Sementara Zeyda seolah senang menyaksikan pertengkaranku dengan Emir.
"Kupikir tak semua seperti itu dikatakan tak jujur. Ada kalanya perempuan perlu menyimpan sebagian hal-hal yang menjadi privacy-nya. Ia tak mau diketahui khalayak dan terganggu." Aku menyanggah pembicaraannya yang membuat semua orang semakin bingung.
"Tetap saja menurutku salah. Itu akan mengecewakan dan membuat konsumen kehilangan kepercayaan."
"Tetapi jangan lupakan satu hal. Perempuan itu hanya ingin dimengerti!" bantahku seraya menahan emosi yang mulai menggelegak. Sial! Ia semakin menyudutkan diriku. Entah apa yang ia inginkan dari perdebatan ini. Semakin tak mengarah, semakin keluar dari jalur.
"Bukan dimengerti. Tetapi dicintai! Dengan mencintai, maka akan memahami. Tapi kalau hanya dimengerti, belum tentu mencintai!"
Baru saja Emir menghentikan ucapannya, Sinan Bey spontan berdiri lalu menjentikkan jarinya ke arah Emir dengan pasti.
"That's it! Saya setuju denganmu, Emir Bey. It's amazing! Jadikan tema, kemudian ambil slogan untuk kontennya!" serunya dengan antusias." Good job! Kalian luar biasa. Tak sia-sia kami memilih kalian sebagai partner!"
Emir termangu, begitupun seisi ruangan itu terbengong-bengong mendengarnya. Apalagi aku yang tak mengira perdebatan terselubung dengan melibatkan masalah pribadi ini, malah jadi solusi. Sejatinya mereka tak tahu ketegangan yang terjadi di antara kami berdua
***
Proyek iklan itu berhasil meluncurkan produknya dengan sukses. Beberapa stasiun televisi sudah menayangkannya. Bukan hanya itu, dibeberapa situs internet, majalah, hingga billboard terpampang cantik di beberapa tempat. Klien puas dengan hasil kerja kami.
Namun kebahagiaan itu tak melumerkan kebekuan di antara aku dan Emir. Sikapnya masih dingin, begitu pun denganku. Sebetulnya aku sudah tak tahan dengan sikapnya. Aku sempat ingin berhenti bekerja, tetapi proyek ini membuat niatku urung untuk sementara. Karena aku harus bertanggung jawab menyelesaikan tugas. Itu konsekuensi. Mungkin kini saatnya aku mengutarakannya kepada Emir.
Kembali harus kutunda niat untuk menyudahi pekerjaan freelance ini. Zeyda pun kembali menjadi alasan. Entah kenapa aku tak mau jika harus meninggalkan perusahaan ini, sementara dia dengan seenaknya berdekatan dengan lelaki yang selalu mondar-mandir di otakku. Tidak! Walau bagaimana pun, aku tak rela. Aku harus mengakui bahwa aku sudah jatuh cinta kepada lelaki arogan yang sok ganteng itu. Tunggu saja, Emir! Lihat saja Zeyda! Apa yang akan aku lakukan sekarang ini. Meskipun belum terang-terangan mengatakan cinta, aku tak akan menyerah!
*****
KAMU SEDANG MEMBACA
Merhaba, Aşkim! [Completed]
Roman d'amour"Menghapus tatto di tubuhku memang sakit, tapi tak seberapa pedih bila dibanding saat tak diterima oleh keluargamu. Apapun akan kulakukan meski harus menghafal 30 juz Alquran, demi mendapatkanmu." "I AM A TURKISH MAN, BROTHER! Seorang lelaki Turki...