11. Luruhnya Air Mata Seorang Womanizer

38 8 0
                                    

İstanbul, awal musim gugur 2019

Sungguh malas sebenarnya aku berada di tempat hingar-bingar ini. Seandainya bukan Baba yang menghendaki perayaan kesuksesan yang diperoleh Selim Harika Agency ini. Terpaksa kuundang semua karyawan dan relasi untuk makan malam di Club dengan live music di kawasan Taksim Square.

Bagaimana tidak, aku merayakan kegembiraan ini di saat masih perang dingin dengan gadis yang telah berani mengoyak hati. Tetapi mau tak mau aku harus lakukan dan harus melaluinya sepanjang pesta. Bersama orang yang sangat berjasa menyelamatkan perusahaan keluargaku ini. Dia, Naz.

Anehnya, kenapa aku bisa segelisah ini ketika bayangannya belum hadir di ruang semarak ini. Apakah dia tak mendapat izin kakaknya? Aku harus menghubungi Ayla untuk mengetahuinya.

[Naz baru saja berangkat diam-diam. Dia naik taksi karena Kak Fahri tak kasih izin. Aku sudah berusaha membujuknya, tapi tahu sendirilah gimana kakaknya.]

Itu pesan balasan Ayla dari WA yang kulayangkan.

Aku bernapas lega. Ada bahagia kembali menyelusup relung hati dan mengikis gundah. Meski berisiko, gadis itu nekat juga pergi ke pesta ini. Gadis itu memang sedikit gila. Tapi Demi Tuhan, aku menyukainya!

"Ayolah Emir, kita rayakan kemenangan ini. Kamu harus temani aku berdansa," ajak Zeyda. Belum sempat menolak, ia menarik lenganku dalam kondisi setengah mabuk. Dari mulutnya yang bergincu merah menguar aroma alkohol dari Tequilla yang diteguknya. Aku menepis lengannya, namun ia balik menarik tubuhku dengan kuat hingga membentur tubuhnya yang limbung. Refleks aku menahan tubuh yang hampir terjatuh. Namun Zeyda seperti sadar dan tak menyia-nyiakan kesempatan. Ia langsung memelukku, sementara tubuhnya masih meliuk-liuk mengikuti irama live music.

Sial! Saat itu dari pintu masuk tampak perempuan yang sedang kutunggu-tunggu itu datang dan langsung melihat adegan kami. Tatapannya memercik api kebencian. Aku segera melepaskan tubuh Zeyda yang semakin erat menempel ke dadaku. Sudah dipastikan sangkaannya kepadaku sebagai seorang Womanizer yang lekat, semakin kuat di otaknya. Terserah. Aku pasrah! Percuma saja jika kujelaskan yang sebenarnya terjadi pun, dia tak akan peduli.

Kemudian aku memilih duduk di meja bar sambil mengawasinya, sedangkan dia mengambil tempat duduk di tempat Burack dan Leyla. Hmm, dia enggan berhadapan denganku. Sepertinya dia sudah terlalu muak melihat mukaku. Ah, semua ini gara-gara Zeyda!
Hingga pesta sudah separuh jalan, aku dan Naz masih belum saling sapa. Meski dalam jarak sepuluh meteran, mata kami beberapa kali beradu dan saling mencuri pandang di antara kilatan lampu. Jujur saja aku bingung, apa harus kudekati kemudian mengajaknya ngobrol atau tidak. Ada yang mendorong-dorong dari dalam untuk beranjak, namun bisikan Sang Ego di telingaku mencegahnya. Sialnya aku lebih memilih mendengarkan egoku.

"Kamu tak turun berdansa dengan yang lain, Anakku?" sapa Yusuf Amca, pamanku juga ayahnya Ferhat.

"Tidak, Amca! Sepertinya aku lagi bad mood," jawabku sekenanya.

"Ayolah bersenang-senang, ini pestamu!" ujarnya sambil memesan dua gelas Spanish Wine kepada bartender. Setelah dilayani, kemudian ia menyodorkan segelas ke hadapanku. Sebetulnya aku sudah minum dua gelas Tequilla tadi. Namun untuk menghargai pamanku, terpaksa kuteguk juga minuman anggur Spanyol ini untuk yang terakhir.

"Aku temani ayahmu dulu," katanya seraya menuju meja Babam.

Mataku kembali bersirobok dengan sorot sayu dari sepasang mata yang tampak redup. Oh, God! Kenapa aku merasa bersalah hingga tak tega untuk kembali menatapnya? Apa aku benar-benar salah membiarkannya seperti itu? Namun ketika kucoba melirik lagi, sorotnya berubah memercik api amarah. Ia berhasil membakar hatiku! Tak kusangka Naz berdiri lalu bercakap-cakap dengan Baba. Kemudian ayahku menoleh ke arahku, lalu melambaikan tangannya. Aku pun mendekatinya.

Merhaba, Aşkim! [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang