4. Cinta dalam Sepotong Dolma

87 12 0
                                    

Istanbul, awal musim semi 2018.

Menginjak tanah Istanbul untuk kedua kalinya, langkahku lebih terasa ringan. Seperti menuju ke tempat di mana seseorang sedang menunggu. Ia yang menjanjikan asa menjadi nyata. Atau seperti berlari menuju seseorang yang merentangkan tangannya untuk menyambut dengan pelukan. Ada segenggam angan dan ingin, yang harus kuraih di sini. Tapi bukan angin, tetapi masa depan, cita-cita dan cinta.

Cinta? Ah, Naz, ah! Mimpimu sudah kelewatan!

Tiba di rumah Kak Fahri, Ayla sengaja menunggu kedatanganku di depan pintu. Ia terlihat senang, namun terbersit kebingungan di wajah manisnya. Aku tahu sebabnya setelah berada di taksi tadi, kami berbalas pesan di ponsel. Ayla bilang, kakakku agak keberatan kalau aku mempercepat datang. Ia khawatir aku bergaul sembarangan lagi, dan mengulang kejadian seperti bersama Emir.

"Naz! Gue udah cemas nungguin lo. Takut lo nyasar!" Ayla memeluk erat tubuhku. Kangen juga rasanya tak bertemu si gendut ini, padahal baru terpisah seminggu yang lalu.

"Bilang aja lo udah nggak tahan memendam rindu," candaku sambil meraih keponakan mungilku dari gendongan Ayla.

"Naz ..., jadi si Haikal itu yang menyebabkan lo cepet-cepet ke sini? Gila ya itu orang!" Ayla langsung menebak alasanku dengan tepat. Tetapi ia pasti tak tahu alasanku yang lain.

"Kak Fahri gimana? Masih marahkah sama gue?" tanyaku mengalihkan agar tak membahas Haikal berkepanjangan. Ayla hanya mengangkat bahu.

"Ia belum pulang ngajar. Tenang aja, biar nanti gue yang urus!" Ayla berusaha menenangkan. Aku percaya, Ayla pasti bisa meluluhkan kerasnya hati kakakku. Hanya ia yang bisa menaklukan dan mencairkan gunung es di hati kakakku. Semua tahu sifat Kak Fahri yang keras, namun sebetulnya lembut dan penyayang.

Aku masih ingat, dulu ia sangat dingin dan tak mudah tergoda oleh perempuan secantik apapun. Padahal banyak yang naksir sejak ia di SMA. Apalagi setelah kuliah. Pembawaannya yang kalem dan cool, sangat digilai gadis-gadis. Teman-temannya, juga teman-temanku saling berebut perhatian. Namun, tak seorang pun yang dilirik Kak Fahri. Bahkan ia masih tak acuh ketika Ayla sering ke rumah menemaniku. Ayla yang turut bermanja seperti sudah menganggapnya kakak. Ia akan marah kalau aku dan Ayla main kelewat batas waktu, atau ketika ketahuan punya pacar. Diam-diam, ternyata kakakku memendam perasaan kepada sahabatku itu. Saat Ayla wisuda, kebetulan baru putus dengan Juan, pacarnya. Kak Fahri langsung nembak dengan melamar ia jadi istrinya. Tanpa pacaran atau masa penjajagan lebih dulu, sebulan kemudian langsung menghalalkan hubungannya. Tadinya aku tak yakin dengan Ayla, namun ia benar-benar menerimanya dengan kesungguhan. Jodoh memang tak lari ke mana.

***

Kak Fahri pulang selepas Magrib. Tak biasanya ia agak terlambat sampai di rumah. Karena biasanya ia sering mengimami salat di masjid dekat rumah. Kakakku memang sudah dikenal baik oleh penduduk sekitar, khususnya di majelis taklim Camie Mahalessi.

Kegelisahanku semakin kentara ketika Kak Fahri masuk rumah dengan wajah ditekuk. Seperti sengaja ia tak menyapa. Aku pun jadi enggan menghampiri. Mungkin benar, ia masih marah padaku.

Saat makan malam pun, ia masih mendiamkan diriku. Menyiksa sekali. Tak tahan disikapi seperti itu, kutinggalkan piring yang sudah terisi nasi dan lauk, menuju kamar. Tak kuhiraukan seruan Ayla memanggil namaku.

Tak lama kemudian, Ayla masuk tanpa mengetuk pintu.

"Naz, lo tu ...." Ayla tampak kebingungan mengucapkan kata-kata. Ia duduk di bibir tempat tidur.

"Gue mau cari tempat kos!" ujarku. Ayla membelalakan mata bulatnya, hingga bertambah lebar.

"Serius?"  Begitu kagetnya ia mendengar perkataanku. Aku hanya mengangkat alis. "Nggak! Nggak boleh!"

Merhaba, Aşkim! [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang