Istanbul, musim gugur 2019.Aku tak tahu jika ada kejadian kecelakaan yang menimpa ayah Emir tadi malam. Seandainya tak menonton berita di televisi, tak ada seorang pun yang mengabari. Ayla pun tampak terkejut mendengarnya. Ia langsung menghubungi Emir, namun tak tersambung. Begitu pun dengan anggota keluarga lainnya, tak ada yang bisa dihubungi. Mungkin mereka sengaja mematikan alat komunikasi agar tak menambah kerepotan di tengah kedukaan.
"Kita ke rumahnya aja langsung biar tahu lebih jelas!" Kak Fahri memberi solusi tatkala mengetahui keresahan pada sikap istrinya. Seandainya kakakku tahu, aku pun menyimpan keresahan yang sama. Lebih dari yang dirasakan Ayla.
Masih tak percaya teringat tadi malam ayahnya begitu dekat denganku. Kami sempat berbincang-bincang, bahkan sebelum pulang, dia membisikkan kalimat yang menyuruhku untuk tidak meninggalkan anak laki-lakinya.
"Pulanglah, biar Emir yang antar. Kamu jangan jauh-jauh darinya, karena dia harus menjagamu. Ingat, kalian harus saling menjaga." Itulah pesan terakhirnya kepadaku. Entahlah, setelah itu ia memeluk Emir dan terlihat membisikkan sesuatu di telinga putranya. Mungkin saja ia menyampaikan pesan yang sama denganku.
Awan hitam tampak seperti memayungi sebuah mansion di kaki bukit. Suasana duka masih menyelimuti seluruh penghuninya. Aku, Ayla dan Kak Fahri memasuki gerbang yang terbuka lebar. Baby Zee sengaja tak dibawa. Ia dititipkan kepada Amine Teyze, tetangga rumah sebelah yang sudah menganggap kami keluarganya. Para pelayat memenuhi beranda, juga ruang tamu. Sebagian dari mereka kukenal dari agency serta relasi kerja. Aku tak melihat Emir. Di ruangan besar hanya terlihat Tante Farida dan Aisha, Ferhat beserta keluarganya. Mereka tak henti menitikan air mata. Duka yang mendalam itu membuatku terbawa suasana, sehingga tak terasa air mataku pun turut tumpah.
Jenazah Murat Selim Bey belum dilakukan pemulasaraan sebagaimana mestinya. Jenazahnya masih harus menjalani proses autopsi di rumah sakit. Polisi beserta tim penyidik kasus kecelakaan itu, menyerahkannya kepada tim ahli forensik untuk melakukan penyelidikan. Keluarga dan pelayat harus menunggu dan menunda pemakaman hingga besok pagi, sesuai yang sudah direncanakan.
Pikiranku masih mengait pada lelaki yang masih menyimpan kekecewaannya kepadaku. Tetapi aku tak tenang bila belum mengetahui kondisinya. Ia pasti terluka tersebab duka. Aku harus menemuinya!
Kuketuk pintu kamar sebelum memasukinya. Meski tak ada jawaban, aku memaksakan diri untuk masuk. Tampaklah Emir dengan setelan hitam, memegangi dan memandang foto ayahnya. Ia terkejut saat melihatku, namun hanya sebentar. Karena matanya kembali tertuju pada bingkai di tangannya.
"Aku turut berduka, Emir," kataku hampir berbisik. Emir tak menjawab, tetapi seperti berusaha menahan rasa yang meledak-ledak di dadanya. Namun pertahanannya jebol. Ia terisak dengan bahu terguncang. Sejujurnya aku ingin sekali memeluknya, sekadar berbagi rasa. Aku ingin meringankan kesedihan juga bebannya. Tetapi, apalah dayaku, siapakah diriku. Aku harus menahan diri.
"Aku, aku minta maaf, Emir." Namun begitu, aku memberanikan diri berucap sambil duduk di sampingnya. Sedikit bergetar, jemariku nekat menyentuh punggung tangannya. Sungguh, aku tak kuasa lagi menahannya. Aku hanya ingin ia tahu bahwa aku ada bersamanya. Hanya itu!
Emir refleks menoleh, menatapku dengan mata sembabnya."Terima kasih, Naz," ucapnya lirih. Aku semakin mengeratkan genggaman. Yakin, ia tahu yang kulakukan ini akan menguatkannya. Karenanya ia membiarkan tanganku menggenggam tangannya.
Di sisi lain, aku lega karena ia tak menyimpan lagi amarah. Rasa duka telah menyisihkannya. Ya, aku harus hapus pertengkaran dingin selama beberapa hari ini. Tak mungkin juga di situasi seperti ini aku masih mengutamakan ego. Namun di sisi lain, justru aku merasakan betapa dalam duka deritanya.
Esok paginya, kami kembali ke rumah besar itu untuk menghadiri pemakaman. Jenazah baru saja diantar ambulan dari rumah sakit dan langsung dikebumikan. Tak berbeda jauh dengan prosesi pemakaman di tanah air, karena sama-sama dilakukan sesuai dengan syariat Islam. Aku dan Ayla meminta izin kakakku untuk menemani Tante Farida. Kami membantu mengurus tamu-tamu yang datang untuk memberikan ucapan belasungkawa. Pembaca do'a dan pelantun ayat suci bergantian memenuhi ruangan hingga larut malam.
Emir mulai terlihat tegar. Ia sudah berinteraksi lagi dengan para tamu. Kini ia sedang melayani beberapa orang polisi yang tengah meminta keterangan darinya. Tampak juga diantara mereka Ferhat dan Yusuf Amca yang turut dimintai keterangan. Entah apa yang mereka bicarakan. Dari raut muka Emir bisa dipastikan ada hal yang serius terjadi pada insiden itu.
Menjelang malam, aku dan Ayla pamit. Emir sempat mengantarku hingga pintu gerbang. Sebelum meninggalkannya, aku berpesan untuk tetap tegar menghadapi cobaan ini.
"Aku harus kuat, Naz. Ada hal yang harus diurus dan diungkap. Polisi dan penyidik menemukan kejanggalan dalam kasus kecelakaan yang menewaskan Baba. Polisi sementara ini masih menduga penyebab kecelakaan adalah mabuk, berdasarkan keterangan saksi dari Ferhat dan Yusuf Amca. Padahal, aku sudah memastikan sendiri bahwa Baba tidak minum alkohol! Aku tak mau arwah Baba sampai penasaran di alam sana," tuturnya sedikit berapi-api. Napasnya agak tersengal saat mengatakannya.
Aku dan Ayla spontan saling pandang, tak percaya dengan yang kami dengar dari mulut Emir. Hingga aku bertanya-tanya dalam hati, tampaknya Ayla pun begitu.
"Maksudmu?" Aku dan Ayla serempak bertanya dengan nada kaget.
"Polisi menemukan peluru bersarang di tubuh Baba. Ia dibunuh. Bukan kecelakaan lalu lintas biasa!" jelasnya, terlihat menahan emosi.
"Astaghfirullah, kok bisa? Siapa yang melakukannya?" tanya Ayla bernada marah.
"Entahlah! Polisi masih menyelidiki. Aku juga tak akan tinggal diam!" Di sorot matanya terpercik bara api yang menyirat dendam.
***
Pulang dari kampus Istanbul University, aku langsung membawa skuter menuju agency. Meski dalam suasana berkabung, kantor tak diliburkan. Ada beberapa pekerjaan yang harus diselesaikan mengingat deadline yang sudah mendesak. Kami harus berusaha profesional melayani klien.
Sebagian rekan kerjaku tampak hanya duduk-duduk, dan mengobrol. Kebetulan tugasku hanya mengirimkan file ke e-mail klien, kemudian mengecek schedule tugas selanjutnya. Kupikir itu bisa dikerjakan besok atau lusa, karena harus melalui persetujuan Emir. Sedangkan Emir entah kapan bisa kembali ke kantornya.
Tunggu ... aku tak menemukan file map biru yang kutaruh di meja Emir. Map itu berisi berkas untuk iklan perusahaan minuman kebugaran! Aku masih ingat, sehari sebelum adanya kabar duka itu, kuserahkan untuk ditandatangani Emir. Aku mencarinya ke seluruh rak, laci-laci di ruangan Emir. Celaka! Aku tak menemukan juga. Kemudian kutanyakan kepada Burack dan Leyla, mereka hanya mengangkat bahu. Lalu, ke manakah file itu? Siapa yang sudah mengambilnya?
Ya Allah, seandainya file itu hilang, aku tak bisa mengulang lagi pekerjaanku. Semua berkas yang sudah ditandatangani klien berada di situ. Masalahnya sudah tak punya waktu lagi untuk mengerjakannya. Bagaimana aku harus mempertanggugjawabkan semuanya?Aku membicarakan masalah ini kepada Burack dan Leyla. Sayangnya mereka pun tak punya solusi. Tak mungkin aku membicarakan hal buruk ini kepada Emir. Matilah aku kali ini!
"Naz, aku mohon, bantu aku urus pekerjaan agency. Aku masih ada urusan dengan polisi dan pengacara."
Suara Emir di telepon seolah gelegar petir buatku. Bagaimana tidak, di saat aku kebingungan dengan masalah yang dihadapi, ia justru menekanku untuk menyelesaikannya sendiri. Haruskah kusampaikan kabar tak enak ini? Bukankah itu akan menambah beban pikirannya? Tidak! Aku harus mencari solusinya sendiri.
Di telepon, Emir juga memberitahukan bahwa di mobil ayahnya yang terbakar di jurang, ditemukan peluru yang sama dengan yang bersemayam di tubuhnya. Jenis peluru berkaliber 38 mm yang diperkirakan keluar dari letusan senjata api berjenis SNW. Itu yang tertangkap oleh pendengaranku. Karena sesungguhnya aku tak mengerti tentang jenis perangkat pembunuh itu. Yang kutahu hanya ada di film-film Hollywood yang pernah aku tonton. Mengenai siapa dan motif apa yang mendasari pelakunya, polisi masih mengusut hingga tuntas. Masih menjadi misteri dalam tragedi itu.
*****
KAMU SEDANG MEMBACA
Merhaba, Aşkim! [Completed]
Romance"Menghapus tatto di tubuhku memang sakit, tapi tak seberapa pedih bila dibanding saat tak diterima oleh keluargamu. Apapun akan kulakukan meski harus menghafal 30 juz Alquran, demi mendapatkanmu." "I AM A TURKISH MAN, BROTHER! Seorang lelaki Turki...