21. Sevgilim

35 7 0
                                    

İstanbul, awal musim panas 2020

"Ayl, gue mau nyusul Emir ke Indonesia!"

"Astaghfirullah! Nyebut, Nanas! Lo masih waras, kan?"
Ayla mendekat seraya mengulurkan punggung telapak tangannya untuk meraba dahiku. Namun tangan itu kutepis sebelum menyentuh kulit.

"Gue masih normal, Gendut!" jawabku dengan kesal, karena ledekannya.

"Iya, gue ngerti! Tapi Emir kan gak jadi berangkat sekarang-sekarang ini."

"Yang betul? Kenapa gak jadi? Oalah, gue lupa. Sekarang kan gak boleh ada keberangkatan ke luar dan ke dalam negeri!” Aku terperangah mendengar Emir membatalkan keberangkatannya. “Tapi tiba-tiba gue berniat ngenalin dia sama Mama dan Papa."

"Ah, beneran gila ni anak. Tapi sumpah, gue suka gaya lo!"

"Kalau gitu, dukung gue! Bukankah niat baik itu jangan ditunda-tunda?”

"Maksud lo? Gue gak ngerti .... Ah terserah lo, deh! Yang gue pikirin, gimana caranya bilang sama kakak lo!"

"Itu dia yang gue pikirin juga!”
Entah memang kerasukan apa aku seperti dikatakan Ayla. Aku gila, tak waras. Tetapi aku seperti punya energi lagi untuk berusaha memperjuangkan apa yang ingin diraih. Aku tak punya banyak waktu. Aku harus bicarakan dengan Emir dulu.
Aku juga tak memikirkan bagaimana reaksi Kak Fahri ketika mengetahui kenekatanku ini. Masa bodoh. Bagaimana nanti saja!

***

“Nanas, gue mau buat pengakuan dosa. Waktu kemarin lo putuskan mau ngenalin Emir sama Mama dan Papa, gue langsung telepon Emir. Tapi tau nggak, lo? Si Emir ternyata  sudah nelepon duluan ke Jakarta. Eh, dia bawa serta Tante Farida video call-an sama Mama-Papa lho! Sumpah, itu di luar skenario gue!"

“Serius? Lo gak lagi bercanda kan? Kok bisa sih Emir gak ngomong dulu sama gue?” Sulit kupercaya begitu mendengar pengakuan itu dari mulut Ayla. Tetapi yang membuatku lebih terkejut adalah kenekatan Emir menghubungi orangtuaku, tanpa sepengetahuan kami. Ayla hanya mengangguk dengan mimik menggemaskan.

"Udahlah, Ayl. Lo nggak salah, kok! Justru gue harus berterima kasih sama lo. Eh, tapi Kak Fahri sudah tau?” Ayla lagi-lagi mengangguk.

"Engh ... Papa-Mama sudah membicarakan hubungan lo sama Fahri. Dan kakakmu gak bisa berbuat apa-apa lagi kalau Papa sudah menjatuhkan putusan. Intinya, semua sudah merestui hubungan kalian. Itu karena mereka sudah mempertimbangkan banyak hal. Mereka yakin dengan perubahan di diri Emir. Termasuk kakak lo pastinya. So, congrats ya buat lo!”

Speechless. Serasa bermimpi bahkan. Ya, aku sedang bermimpi. Rasanya mustahil dengan apa yang kualami kini. Ah! Beberapa kali kucubit kulit tangan dan pipi, masih terasa sakit.

***

Aku terpaku di depan mansion yang memiliki halaman begitu luas dengan taman yang asri tertata apik. Mansion yang tak lama lagi akan ditinggalkan penghuninya, karena menjadi milik orang lain. Sangat disayangkan sebetulnya jika rumah megah itu harus dilepas pemiliknya. Serangkaian kenangan masa kecil, remaja, hingga dewasa kini, akan tertinggal menjadi sejarah.
Baru saja aku melanjutkan langkah, pintu rumah sudah terbuka lebar. Di sana, sesosok tubuh jangkung dengan brewok tipis di rahangnya, tersenyum manis menyambutku. Aku semakin terpana. Bahkan kemudian terkesiap ketika Tante Farida dan Aisha memburuku.

"Aku tahu, kamu akan datang." Emir bergumam ketika aku melewatinya untuk memasuki ruangan. Ia masih saja berdiri di ambang pintu.

"Dari mana kamu bisa tahu?" bisikku.

"İntuisi, kata hati yang selama ini tak pernah membohongiku."

"Lalu, kenapa justru kamu sendiri yang membohongiku?"

"Aku tak pernah membohongimu, aku cuma ...."

"Emir! Bawa Naz ke taman belakang. Kita ngobrol di sana sambil minum teh!" Teriakan Tante Farida memotong ucapan Emir.

"Naz, kumohon please, jangan tinggalkan aku lagi! Aku sudah khitbah kamu melalui orang tuamu langsung. Kakakmu juga sudah setuju. Meski hanya lewat video call. Itu karena kita memang sudah ditakdirkan berjod—"

"Emiir!" seruTante Farida menjeda ucapan Emir.

"İyaa, Annem! Allah, Allah ..., bawelnya. Aku segera ke sana!"
Aku tersenyum melihat binar-binar bahagia di sorot mata mereka. Betul apa kata Emir, Tante Farida akan sedikit teralihkan dukanya akibat terkenang selalu mendiang suaminya itu. Pelan-pelan ia mulai menemukan kebahagiaannya lagi setelah anak sulungnya mendapat restu dari calon mertuanya. Ditambah lagi dengan rencana kepulangannya ke tanah air. Aku seolah merasakan bebannya terlepas satu persatu. Bukan Tante Farida saja, aku dan Emir pun sepertinya merasakan hal yang sama. Bahagia!

**&**

"Kamu nekat!"

"Kamu lebih nekat lagi!"

"Tapi, gimana bisa kamu meluruhkan hati orang tuaku, bahkan akhirnya kakakku?"

"Mama dan Papamu tampaknya sudah mulai percaya padaku meski baru ketemu saat itu. Tapi kalau meluluhkan hati kakakmu yang keras, aku nggak yakin! Mungkin saja kakakmu sudah terlalu bosan dan cape menghadapi aku."

Aku semakin terbawa emosional ketika Emir menceritakan bagaimana ia berusaha, berjuang meyakinkan keluargaku untuk menerimanya.

"Naz! Aku katakan hal penting yang harus keluargamu tahu dari diriku. Aku tak punya apa-apa, aku juga tak berilmu, namun aku punya kesungguhan. Aku mau belajar agar bisa menjadi imam yang akan menuntunmu ke pintu syurga kelak. Jika aku tak bisa menuntunmu, setidaknya kita bergandengan, bersama-sama melangkah menuju rida-Nya. Maka dari itu, aku rela menghafal 30 juz Alquran jika diminta sebagai syarat demi mendapatkanmu. Meski saat ini belum sampai 30 juz yang kuhafal. Tapi setidaknya, akan kubuktikan bahwa aku serius!"

"Seyakin itu?"

"Demi kamu juga aku rela menghapus tato di seluruh tubuhku. Asal kamu tahu, Naz. Menghapus tato memang sakit, perih. Tapi tak lebih perih bila dibanding penolakan keluargamu kepadaku."

"Masyaallah, Emir. Aku semakin yakin!"

"Tapi sekarang aku bukan orang kaya lagi. Aku sudah tak punya apa-apa lagi."

"Apakah aku type perempuan materialistis di matamu?"

"Nggak! Kamu perempuan nekat dan sedikit gila! You are crazy, but you are mine!"

"Emir!"

"Sebelum kita kembali ke Indonesia, aku akan menghalalkanmu lebih dulu."

"Maksudmu?"

"Kita nikah."

"Hah?"

"Kita nikah!"

"Emir ..."

"Kenapa, Naz? Belum jelas?"

"Nggak, aku hanya butuh tisu saat ini. Aku terharu hingga tak bisa menahan air mata."

"Makanya, segeralah kita halalkan. Biar aku bebas menghapus air matamu, juga memberikan bahuku untukmu bersandar."

"Emir Bey ...."

"Nazhira Hanim...."

Entah mengapa saat itu aku ingin terbahak-bahak. Entah itu untuk menertawakan kelakuan kami, atau kisah yang menjadikan alur kehidupan kami berdua. Sungguh aneh.

"Tuh, kan? Kubilang apa? Kamu beneran gila!"

"Ya, aku memang gila. Tapi aku tergila-gila padamu!"

"Ah ... Sevgilim ...."

**&**

Merhaba, Aşkim! [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang