6. Melarung Luka di Maidens Tower

50 12 0
                                    

Istanbul, musim gugur 2018

Kulajukan dengan cepat skuter merah menuju Selim Harika Agency. Untung saja dosen ilmu filsafat tadi tak bertele-tele seperti sebelumnya. Pria berasal dari Qonya, Anatolia, satu kampung dengan penyair sufi Jalaluddin Rumi atau Mevlana itu hanya memberi tugas cari referensi untuk materi yang akan datang. Kalau telat, bahan presentasi yang sedang kususun tak akan selesai hari ini. Besok tugasku untuk membawakan presentasi untuk iklan kosmetik. Juga konsep untuk iklan website yang harus diunggah malam nanti. Hari ini aku pasti kewalahan.

Sampai di kantor, Emir tak terlihat di ruangannya. Kemanakah lelaki yang tak henti memuji pekerjaanku itu? Mataku mulai mencari-cari. Hampir tiap berapa detik,  netra menembus dinding kaca, melirik kursi kosong di ruang sebelah. Seperti ada sesuatu yang hilang. Namun kegelisahan ini terjawab ketika ponsel berbunyi. Pesan dari Emir yang memberitahukan bahwa ia sedang menemui klien bersama Burack dan Leyla. Kabar itu membuatku merasa tenang. Ternyata ia selalu mengingatku di saat sesibuk apa pun.

Kujeda ketikan di layar komputer ketika pintu diketuk seseorang. Tanpa kupersilakan masuk, seorang perempuan blonde dengan dandanan glamor dan busana kurang bahan, sudah berdiri di hadapanku.

"Ternyata kamu kerja di sini juga? Bener-bener niat ya, buat deketin bos?" Zeyda langsung menyerocos. Kedua lengannya bertumpu di mejaku sedangkan wajah bermake-up tebal itu sangat dekat dengan wajahku. Bau parfumnya menyeruak membuat hidungku langsung gatal dan langsung bersin-bersin. Aroma jasmine-nya mengganggu sekali. Berlama-lama dengannya, alergiku bisa kambuh.

"Hei! Nggak dengarkah kamu dengan peringatanku tempo hari? Jangan berani-berani mendekati Emir! Paham, nggak?"  Ia membentak sambil menutup layar laptopku.

Aih, sial! Naskah yang baru saja kuketik, gimana nasibnya? Tak sopan banget perempuan yang mirip Medusa ini. Rambut kriting pirangnya langsung mengingatkan pada Dewi Yunani berambut ular yang bertugas melindungi kuil di Athena.

"Maaf, saya di sini hanya kerja, bukan untuk melayani urusan nggak jelas, apalagi di luar urusan pekerjaan," sahutku kalem walau sebetulnya dalam dada ini sudah meletup-letup.

"Wow! Hebat sekali jawabanmu. Bisa-bisanya mengelak. Aku tahu tujuanmu bekerja di sini. Pasti untuk menggaet bos muda kaya raya. Tahu dirilah siapa kamu, dari mana asalmu. Perlu kamu tahu ... Emir itu hampir bertunangan denganku. Hanya saja terjadi kesalahpahaman hingga hubungan kami agak retak. Makanya aku sempat aborsi benih yang ditanam Emir di rahimku."

Kalimat terakhir yang Zeyda ucapkan itu bagaikan halilintar. Napasku tercekat dan lidahku kelu, hingga bersin-bersin pun terhenti seketika. Aku terdiam dalam ketidakpercayaan. Benarkah Emir melakukannya? Rasa perih di ulu hati tak bisa kutahan. Tetapi air mata yang hampir tumpah, berusaha kutahan agar tak mengalir di pipiku. Aku tak ingin terlihat hancur dan lemah di hadapan perempuan angkuh itu. Aku harus tegar seperti tak pernah terjadi apa-apa dengan perasaanku.

"Bukan urusanku! Aku tak peduli kalian sudah berbuat apa, nggak ada hubungannya denganku. Aku bukan siapa-siapa, hanya pegawai di perusahaan ini." Aku berusaha menata ucapan agar tak tampak terluka. Padahal aku merasakan sendiri getaran suara yang keluar dari mulutku.

"Kalau nggak percaya, boleh cek di klinik tempatku abortus." Ia melempar kartu nama dan praktik dokter di salah satu klinik bersalin. Aku melirik kartu nama itu sekilas lalu berlagak seolah tak peduli. "Bilang bosmu, aku kesini karena ada urusan bisnis penting. Aku terlibat juga dalam proyek iklan kosmetik ternama itu, karena agenku yang menyediakan model dan properti. Aku balik dulu, masih ada urusan yang lebih penting!"

Merhaba, Aşkim! [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang