7. Yang Bersemi di Musim Semi

40 6 0
                                    

Istanbul, musim semi 2019

Akhir pekan di awal musim semi, sejak mentari bersuka hati menebar hangat lewat senyum sumringahnya, kuntum bunga di hati ikut bersemi. Semekar bunga tulip yang semarak di taman-taman kota. Kumbang dan kupu-kupu serta semilir angin turut semaikan benih cinta antara dua hati anak manusia berlainan jenis. Ya, tepat di saat itu, aku adalah manusia paling berbunga-bunga di musim semi ini.

Emir membawaku ke sebuah mansion yang menjadi kediamannya beserta keluarga. Di rumah besar itu aku dikenalkan kepada orangtua dan adik gadisnya. Siapa pun dan di mana pun orangnya, pasti memiliki keyakinan ketika dirinya dibawa ke tengah keluarga pasangannya. Itu berarti sudah melangkah ke jenjang yang lebih serius. Setidaknya bukan sekadar main-main. Mungkin bisa dikatakan sebagai isyarat pengakuan, bukan lagi pernyataan. Meski keraguan itu masih bersemayam di hati ini. Lihat saja nanti. Seiring berjalannya waktu, akankah rasa itu pupus terkikis indahnya hari-hari di musim semi ini?

"Anne, Baba ... ini Naz. Adik iparnya Ayla." Emir mengenalkan aku pada perempuan cantik berusia sekitar 50 tahunan dan lelaki separuh baya yang wajahnya mirip Emir.

"Merhaba, hoş geldin, kizim! Selamat datang di keluarga Murat Selim, Anakku," sambut ayahnya sambil menjabat tanganku. Senyum dan sorot matanya persis lelaki muda yang sudah berani menyandera hatiku.

"Teşekkur ederim, Amca! Terima kasih!"

"Senang sekali berkenalan denganmu, Nak! Aku bahagia bisa bertemu dengan saudara setanah air." Perempuan berambut ikal dan beruban itu tersenyum ramah sambil memeluk dan mencium kedua pipiku. Pemilik paras manis khas Sunda itu memang berasal dari Indonesia. Sangat kebetulan jika dia masih ada hubungan kerabat dengan Ayla. Meski bukan kerabat dekat, namun ketika berada di satu tempat perantauan yang sama, mereka seolah saling mengaku keluarga dekat. Karena itulah Ayla sangat dekat dengan keluarga Emir, bahkan mereka mengaku sebagai saudara sepupu. Oleh karena itu, Emir orang pertama di negeri ini yang dikenalkannya kepadaku.

"Aku juga bahagia bisa bertemu denganmu, Teyze," jawabku merasa tersanjung atas sambutan mereka. Sepertinya mereka pun tak keberatan kupanggil  Amca dan Teyze, yang berarti Om dan Tante.

"Salam, Abla! Aku Aisha.Ternyata kamu lebih cantik dari foto yang kulihat. Çok güzel!" Aku terperangah mendengar perkataan adik Emir itu. Kapan dan di mana dia pernah melihat fotoku?

"Nggak usah bingung, Abi pernah menunjukkan padaku dari ponselnya."

Ah, sudah kuduga. Kulirik Emir yang terlihat sedikit malu dengan ucapan adiknya itu. Seperti biasa ia menggaruk-garuk pelipis untuk menyembunyikan kegugupannya. Entah apa saja yang ia ceritakan tentang aku pada adik semata wayangnya itu.

"Kami berterima kasih dan senang sekali kamu bergabung di perusahaan kami. Presentasimu kemarin sudah menyelamatkan kontrak dengan perusahaan cokelat itu, sehingga diperpanjang. Sangat sulit di situasi sekarang mendapatkan proyek sebesar itu. Entahlah, akhir-akhir ini perusahaan semakin sepi proyek dan merugi." Murat Bey menyampaikan rasa terima kasihnya. Namun di balik itu ia mengungkapkan keresahan hatinya di setiap helaan napasnya yang tampak berat.

Pertemuan itu kami lalui dengan makan siang sambil bercakap-cakap. Canda riang Aisha membantuku menghilangkan rasa canggung. Sikap manja serta gaya bicaranya yang ceplas ceplos membuat suasana menjadi hangat.

"Abla! Tahu nggak? Abi itu setiap saat selalu tatapin foto Abla di layar ponselnya. Sepertinya kakakku sedang jatuh cinta kepadamu."

"Aisha!"

"Abi! Ngaku aja, aku senang kok kalau kamu suka sama Kak Naz."

"Sudah, Aisha! Kamu suka banget godain Abi-mu. Kasihan kan, Kakak Naz jadi merasa nggak enak!" Tante Farida menengahi perdebatan anak-anaknya. Sementara aku hanya diam dan tersipu malu. Padahal di ruang dada riuh bernyanyi dan menari-nari, mengikuti irama hati yang bergemuruh dan menghentak-hentakkan jantungku. Aneh, namun aku menikmatinya.

Sebelum pulang, kami sempatkan berfoto bersama. Aku pun tak mau melewatkan momen berharga, yaitu pertemuan pertama dengan keluarga lelaki idamanku. Beberapa foto kuambil dengan kamera ponselku. Lalu dengan bangga kuunggah di akun sosmed.

Belum satu jam aku mengunggah foto—kebetulan aku masih di perjalanan pulang—, tiba-tiba sebuah pesan masuk dari Whatsapp.

[Kamu lagi di mana? Di foto itu kamu sama siapa?]

Haikal. Dari mana ia tahu tentang foto-foto itu? Bukankah aku telah memblokir semua akun sosmednya? Hmm, pasti ia membuat lagi akun baru untuk mengikuti diriku. Diam-diam aku membalas pesan Haikal diiringi tatapan penasaran dari mata Emir.

[Aku di mana, dengan siapa, bukan urusanmu lagi!]

Dua menit kemudian datang balasan lagi dari Haikal.

[Ingat Naz. Aku nggak mau kamu dekat-dekat dengan cowok lain selain aku.]

[Mereka keluarga baruku. Maaf aku sudah nggak ada urusan denganmu.]

Setelah mengetik pesan terakhir, aku mematikan ponsel. Kulihat Emir masih melirik-lirik dengan keingintahuannya ke arahku.

"Ne?" tanyaku menatap tajam menyadari tingkah Emir yang sedikit mengganggu. "Apa?"

"Yok! Nggak apa-apa. Aku cuma heran aja dengan perubahan sikapmu tadi," jawabnya. "Mungkin harusnya aku yang tanya ada apa denganmu."

"Nggak penting sih. Hanya teman yang usil menanyakan dengan siapa aku di foto-foto itu." Ia masih menampakkan kepenasarannya. Aku sebenarnya malas menjelaskan. Tetapi setelah tahu sifat Emir yang tak mudah percaya dengan satu jawaban, terpaksa kuceritakan siapa Haikal.

"Jadi, your ex-boy masih nggak mau menyerah? Oh, i see. Ia masih mencintaimu?" Dari nada suaranya yang agak tergetar, ia seperti menahan sesuatu yang emosional dari dirinya. Entah itu marah atau cemburu.

Aku mengangguk. "Sama seperti Zeyda-mu." Kalimat itu meluncur tanpa terkontrol dari mulutku. Emir mendelik seolah tak suka dengan ucapanku, namun tak berani melanjutkan percakapan itu lagi.

Sepanjang jalan kami terdiam menghabiskan waktu yang tersisa hingga sampai ke dekat rumahku. Aku sengaja minta berhenti di ujung jalan setiap Emir mengantar pulang. Belum timbul keberanian untuk terang-terangan menunjukkan kedekatanku dengan Emir kepada kakakku Sementara ini aku cukup mencari aman dulu, kecuali Ayla tentunya.

**&**

Merhaba, Aşkim! [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang