Istanbul, pertengahan musim gugur 2019
"Kakak nggak mau mengerti perasaanku. Aku nggak mau dijodoh-jodohin, apalagi sama orang yang nggak kukenal!"
"Dengar, Naz! Kali ini Kakak nggak mau dibantah. Ini untuk kebaikanmu, masa depanmu! Lihat, apa yang kamu banggakan dari laki-laki brengsek yang tak kenal salat itu? Apa yang kamu harapkan? Hidupmu bukan hanya di dunia saja. Dunia hanya sebentar, numpang lewat doang! Kamu harus pikirkan masa depan sesungguhnya. Akhirat, Naz!"
Kak Fahri ceramah begitu panjang lebar, namun tak kuanggap. Aku sudah muak dengan seribu alasannya yang mengatasnamakan akhirat, untuk menjodohkan aku dengan Idham. Aku paham. Aku mengerti. Tetapi untuk perjodohan, kalau tak suka, mestikah dipaksakan?
Betul kalau kakakku punya hak dan kewajiban atas diriku, karena ia akan dimintai pertanggungjawaban kelak atas empat perempuan di dekatnya. Mama, Ayla, Zee, dan aku. Itu sudah mutlak sesuai dengan tuntunan Alquran dan Hadis. Tetapi aku pun punya hak mengatur hidupku sendiri. Juga berhak menentukan caraku untuk bahagia."Idham layak menjadi imam yang akan menuntunmu hingga ke pintu surga. Tujuan hidup dan menikah untuk itu, bukan?" lanjutnya. "Kenapa malah Tukang Mabuk itu yang kamu pilih jadi pendamping hidup? Sadar, Naz! Ingat, negara ini memang mayoritas Islam. Tetapi hanya sedikit yang menjalankan syariat Islam. Mereka jauh dari agama. Mereka—"
"Cukup, Kak!" Aku memotong ucapannya yang sudah melebar ke mana-mana. "Yang bisa menilai saleh atau tidaknya seseorang hanya Allah. Kakak pasti tahu, seorang penjahat sekalipun bisa bertaubat. Aku justru memberi kesempatan pada Emir untuk melakukannya. Ia pasti bisa, Kak. Aku yang akan membantunya!"
"Naz! Kamu sudah berani melawan kakakmu! Iya, kalau ia mau bertobat. Kalau tidak? Kamu malahan yang akan terjerumus. Lalu, kamu mau menyeret kakakmu juga keluargamu ke neraka?"
Percuma saja berdebat kusir dengan kakak yang keras kepala itu. Tanpa permisi, kutinggalkan kakakku yang masih sewot itu menuju kamar. Sengaja pintu kubanting dengan keras.
[Assalamualaikum, cantik! Bagaimana kabarmu hari ini?]
Ini, ini siapa lagi yang kirim pesan dari nomor yang tak kukenal. Ups! Kejengkelan semakin menjadi. Dengan kesal kulempar ponsel ke atas kasur, lalu tubuh ini terhempas menyusulnya. Namun tak berapa lama benda pintar kadang bikin emosi itu kembali berbunyi. Harapanku, Emirlah yang mengontak untuk memberi kabar.
[Seandainya nanti kita sudah syah, kamu mau tetap tinggal di Istanbul atau kembali ke tanah air tercinta?]
Oalah! Ternyata si Kutu Kupret itu. Ih, males banget kalau aku harus bermanis-manis membalasnya. Lebih baik kubiarkan saja.
[Aku enggak sabar rasanya jika membayangkan kita berada di suatu tempat, dimana rumah indah kita ramai dengan tawa anak-anak saleh dan saleha. Juga sejuk mendengar lantunan ayat-ayat suci dari Hafiz dan Hafizah cilik kita nanti. Ngomong-ngomong, kamu berencana punya anak berapa?]
Astaghfirullah! Ini benar-benar ujian bagiku. Kenapa perutku tiba-tiba mual membaca pesan berikutnya itu? Matikan ponsel, itu yang terbaik untuk saat ini. Tak tahukah ia bahwa aku di sini sedang ada peperangan karenanya? Bukan hanya perang argumen melawan kakakku, tetapi juga perang batin yang bergejolak di dadaku.
Ok, aku setuju jika Idham dinyatakan sempurna baik lahir maupun batin. Tak kupungkiri lagi ia mapan dalam segala hal. Tetapi sudah ada jaminankah bahwa ia mampu membimbingku menuju pencapaian dunia dan akhirat? Yang terpenting lagi, sungguh aku tak tertarik dengannya.
"Persetan dengan cinta! Sewaktu Kakak mengkhitbah Ayla pun, Kakak tak mengenal cinta. Tapi setelah menikah dan tahu tujuannya, cinta itu datang dengan sendirinya, karena kecintaan kita kepada Allah!" Itu ucapan Kak Fahri saat aku mengungkapkan kata cinta yang tak kumiliki untuk lelaki lain selain Emir.
Tentu berbeda masalah kalau disamakan dengan yang dialami Kak Fahri. Ayla sudah dikenal lama, bahkan sedari zaman kami menjadi remaja pecicilan. Dia pikir aku tak tahu jika kakakku sudah lama naksir sahabatku itu. Hanya saja saat ia sudah bergabung dengan komunitas mahasiswa muslim, dan banyak beraktivitas di bidang keagamaan. Setidaknya ia lebih dulu paham mengenal syariat, makanya kakakku itu memutuskan untuk tidak berpacaran. Aku bilang, mereka beruntung ditakdirkan Allah berjodoh.
***
"Ayl, Kakak sudah pergi mengajar?" tanyaku pagi itu, setelah mendengar suara mobil Kak Fahri menjauh.
"Baru aja. Ada apa?" Ayla balik bertanya sambil menyodorkan sepiring nasi goreng untuk sarapanku.
"Gue udah putusin mau indekos," ujarku seraya mengaduk-aduk nasi.
Ayla tersentak, sehingga botol susu yang sedang dikocok untuk Zee hampir terlepas dari genggaman.
"Naz ... sadar nggak sih, apa yang lo ucapin barusan?" Ia menghampiriku lagi. Aku tak menjawab, tanganku terus memainkan telor matasapi di piring dengan menancap-nancapkan garpu.
"Lo abisin dulu makanannya, gih! Gue mau kasih Zee susu dulu. Kita ngomong nanti," ujar Ayla beranjak menuju baby box anaknya.
Kugeserkan piring nasi goreng—yang sebetulnya favoritku—tanpa kumakan sesendok pun. Selera makanku mendadak hilang pagi ini. Hanya seteguk air jeruk hangat yang masuk melewati kerongkonganku. Aku menghampiri Ayla yang sedang memberi susu dari botol kepada Zee. Kuperhatikan keponakan mungilku begitu lahap menyedot susu lewat karet di botol itu. Sejak usia delapan bulan, Zee memang meminum susu formula tambahan selain ASI.
"Gue serius, Ayl!"
"Naz, maafin gue yang nggak bisa apa-apa buat bantuin lo. Tau sendiri kan, kakak lo?"
"Gue ngerti. Tapi gue mohon buat kali ini yang terakhir, Ayl. Tolong bilang Kak Fahri, gue mau kos!"
"Gue tau lo gila, Naz. Tapi nggak separah ini, kali! Please deh, jangan pergi karena menghindari masalah! Kita bisa omongin bareng-bareng, kakakmu pasti mengerti. Gue pastinya selalu ada di belakang lo, apalagi ini menyangkut Emir." Ayla menjeda sejenak ucapannya dengan menelan ludah. "Asal lo tau, gue juga ngerasa sakit hati saudara gue dihina-hina kakak lo!"
"Yang ini beda masalahnya, Ndut! Suamimu nggak bisa dibantah lagi. Ini udah harga mati buat masa depan gue?"
"Sabar aja dulu, Naz. Gue nggak bakal tinggal diam juga. Lagian, tau kenapa gue kurang suka sama Idham!" bujuk Ayla, entah itu memotivasi atau malah meracuni pikiranku.
Sudah jelas Ayla berada di pihakku, karena dari semula ia yang semangat mempertemukan aku dan Emir. Namun kini ia harus turut merasakan pergulatan batin dengan berada di posisi tersulitnya.
Akhirnya sudah bulat tekadku untuk pergi dari rumah kakakku. Ayla tak bisa menahan ketika koper dan tas besar kuangkut ke dalam taksi yang menjemput.
"Lo mau kos di mana? Biar gue tahu keberadaan lo. Jangan menambah keruh suasana dengan mencemaskan lo!"
"Gue juga nggak tau sebenarnya mau ke mana. Gue masih belum temukan tempat kos. Tapi sementara ini, gue numpang dulu di flat-nya Haliza. Dia temen sekampus gue dari Malaysia."
Saat itu Ayla hampir saja menghubungi Emir dari ponselnya. Namun segera kucegah karena tak mau kakakku justru nantinya akan semakin menyalahkan Emir. Aku tak mau lelaki itu dilibatkan. Sudah cukup banyak masalah yang mendera Emir saat ini. Jangan sampai dilema ini menambah beban dan luka di hatinya.
Tak ada niatku untuk memberontak atau memusuhi kakakku. Tak sedikit pun terpikir akan merusak keharmonisan hubungan keluargaku. Tetapi aku harus memutuskan pilihan hidupku sendiri. Biarlah aku jalani sendiri dalam mencari kehidupanku kini.
**&**
KAMU SEDANG MEMBACA
Merhaba, Aşkim! [Completed]
Romance"Menghapus tatto di tubuhku memang sakit, tapi tak seberapa pedih bila dibanding saat tak diterima oleh keluargamu. Apapun akan kulakukan meski harus menghafal 30 juz Alquran, demi mendapatkanmu." "I AM A TURKISH MAN, BROTHER! Seorang lelaki Turki...