13. Temukan Titik Terang

28 6 0
                                    


Istanbul, pertengahan musim gugur 2019

Pasrah! Mungkin itu kata yang tepat untuk diungkapkan. Bukan hanya diungkapkan saja sebetulnya, tetapi harus diakui. Aku harus membuat pengakuan bersalah dan bertanggung jawab atas kehilangan berkas untuk proyek. Yang kubingungkan bagaimana mencari cara menyampaikannya dalam situasi sesulit ini.

Tak ada jalan lain, aku harus membicarakannya pada Ferhat. Tim kerjaku sudah angkat tangan. Mereka menyerah karena masalah terkendala waktu. Namun apa yang kuterima dari reaksi Ferhat justru membuatku semakin terpojok. Bukan solusi yang kudapat. Tetapi hinaan, cacian, yang dilontarkannya. Terakhir ia menyarankan aku untuk mundur dari perusahaan. Pria bermuka tampan tapi terlihat culas itu menganggapku tak becus bekerja. Lebih pedihnya lagi, ia menuduh aku hanya sekadar bermain-main. Itu karena aku mengatur jadwal kerja suka-suka, kadang masuk kadang tidak. Aku tegaskan bahwa statusku di perusahaan itu freelance, namun tetap saja ia mengira aku memanfaatkan kebaikan Emir. Aku tersinggung? Tentu saja, ya! Ia tak tahu bagaimana repotnya aku membagi waktu antara kuliah dan pekerjaan. Waktu tidurku tersita banyak untuk mengerjakan tugasku sebagai copywriter merangkap perancang konsep untuk konten proyek iklan.

Tiga hari setelah pemakaman Murat Selim Bey, aku belum bertemu Emir. Ia masih sibuk dengan urusannya dengan kepolisian di tengah masa berkabungnya. Kasihan, ia harus mengurusinya sendiri, sementara ibu dan adiknya masih dalam kondisi syok. Mereka masih belum menerima kenyataan. Ingin aku berada di tengah mereka, namun Emir sudah membagi tugasnya untukku. Aku tak berani menolak. Padahal Emir bisa saja meminta bantuan pamannya atau Ferhat. Tetapi mereka seperti tak peduli. Emir lebih mempercayakan kepada pengacaranya. Entah macam apa hubungan dalam keluarga besar mereka. Terkadang Yusuf Amca dan Ferhat terlihat melibatkan diri dalam perusahaan. Tetapi mereka seolah tiada jika ada masalah di perusahaan. Mereka selalu cuci tangan. Selama ini, Emir dan ayahnya lah yang selalu menangani. Dan kini, Emir sendiri.

***

"Emir kamu di mana? Aku sedang di rumahmu, tapi kamu tak ada," tanyaku ketika menemui ke rumahnya. "Ada yang harus kita bicarakan. Penting!"

Saat ini aku panik karena klien proyek iklan minuman itu telah membatalkan proyeknya. Aku tak bisa berbuat apa-apa lagi untuk memperjuangkannya. Aku sudah pasrah dan siap dipecat.

"Aku di vila peninggalan kakekku. Kalau mau ke sini, minta antar Aisha!"

Beruntung Aisha mau mengantarku ke vila. Tempatnya berada di atas bukit yang berhadapan dengan laut. Jembatan Bosphorus tampak jelas dari vila itu. Bangunan tua yang tak terlalu besar, dengan arsitektur bergaya Spanyol. Dindingnya pun sebagian sudah berlumut dan retak-retak, terlihat sudah lama tak berpenghuni. Aisha bilang, hanya sebulan sekali ada yang membersihkan suruhan orang tuanya.

Emir tampak sedang menghadap perapian yang berada di ruang tamu. Wajahnya terlihat letih. Sorot matanya sayu ketika melihat kedatanganku.

"Emir maafkan aku! Aku tak bisa menjaga amanah. Proyek itu mereka batalkan karena kecerobohanku. Aku ...."

"Aku sudah tahu! Sudahlah, aku tak mau menambah beban pikiran. Biarlah, itu bukan rejeki kita!" tukas Emir dengan datar. Aku terkesiap mendengarnya. Tak kusangka sama sekali ia akan menanggapi dengan semudah itu. Kupikir saat itu ia akan langsung memecatku, mengingat betapa keras kerja dan perjuangan kami demi mendapatkannya.

"Emir ...."

"Sudahlah, jangan dipikirkan!"
Ia kembali menghadap tungku lalu menggeser-geser kayu bakar yang baranya hampir padam.

"Abi, Abla, aku pesankan makanan buat kita. Tampaknya dari kemarin Abi belum makan sama sekali," ujar Aisha sambil mengusap-usap layar ponselnya meneliti gambar-gambar yang akan dipesan dari layanan daring.

Emir tak menjawab. Namun aku segera mengiakan niat adiknya itu. Rasa khawatir semakin kuat melihat kondisi Emir. Bukan hanya fisiknya yang mulai lemah, namun faktor kejiwaannya. Ia tampak tertekan sekali.

Setelah kupaksa Emir makan, aku dan Aisha berpamitan. Ia tak mau ikut pulang, masih ingin tinggal di rumah tua itu untuk menenangkan pikiran. Namun baru saja Aisha membawa kendaraannya keluar pintu gerbang, saat berbelok ban belakang terselip di tanah yang berlumpur karena hujan. Roda hanya berputar dan tak mau melaju, bahkan kian melesak ke tanah.

Aisha keluar mobil lalu memanggil kakaknya untuk membantu. Kami berusaha mendorong, namun roda tak mau bergerak. Sementara senja mulai bergulir menuju gelap.

"Naz, bisa kamu ambilkan dongkrak di gudang bawah tanah? Pintunya ada di sebelah garasi. Nyalakan dulu lampunya, saklarnya di sebelah kanan pintu!" pinta Emir kepadaku.
Aku pun segera menuju tempat yang dimaksud Emir.

Setelah menemukan pintu itu, aku mendorongnya. Gelap. Kutekan saklar di sebelah pintu hingga ruangan tampak terang. Kuturuni anak tangga menuju tempat menyimpan alat dan barang-barang yang tak terpakai lagi itu. Lembab dan apek. Kucari-cari barang yang Emir maksud, namun tak kutemukan juga. Di rak hanya ada beberapa alat pertukangan dan pemotong rumput. Lalu di kotak besar hanya berisi barang bekas. Debunya terhambur karena gerakan tanganku membuat aku bersin-bersin. Kemudian di rak paling bawah, terlihat kotak persegi panjang sedikit terhalang jas hujan yang menggantung. Mungkin ada di kotak itu. Baru saja akan kuangkat, sebuah suara sangat mengejutkanku.

"Naz! Sudah ketemu?"
Ah, rupanya Emir menyusulku karena kelamaan.

"Belum! Banyak barang di ruangan ini, tapi aku tak menemukan dongkraknya!"

"Sebenarnya yang kamu cari apa? Barangnya ada di depanmu!"

Aku tercengang ketika Emir mengacungkan dongkrak yang begitu mudahnya ia temukan.

"Kupikir ada di kotak ini," tunjukku kemudian membuka kotak panjang itu. Emir tertegun menelitinya, lalu ia menahan tanganku yang hampir menyentuh barang itu.

"Stop! Jangan sentuh!" serunya membuat aku mematung seketika. Ia segera melepaskan cekalannya dari lenganku. "Pistol siapa ini? Aku belum pernah melihatnya!"

Emir tampak penasaran namun tak berani menyentuhnya. Kami sama-sama tertegun saat melihat benda di dalam kotak itu. Sebuah pistol beserta beberapa pelurunya. Senjata api itu tampak bersih mengkilap, tak berdebu. Seperti belum lama digunakan. Emir menutupnya kembali, lalu ia membawanya dari gudang.

Setelah roda terangkat dari kubangan, akhirnya sedan silver keluaran Italia itu bisa bergerak kembali.

"Tunggu! Aku ikut kalian. Aku mau ke kantor polisi!" seru Emir tiba-tiba.

"Ada apa lagi, Abi?" tanya Aisha seraya keluar dari belakang kemudi karena kakaknya akan menggantikan. Emir hanya menggelengkan kepala tandanya Aisha tak perlu tahu dengan urusannya.

Aku membuka pintu berniat pindah ke kursi belakang. Akan tetapi,  Aisha lebih duluan masuk dan mengisyaratkan agar aku tetap duduk di depan.

"Kita antarkan dulu Naz, kemudian kamu, Aisha. Mobil ini kupakai dulu malam ini," ujar Emir sambil menyetir.

"Motorku di simpan di rumahmu. Biar aku turun bareng Aisha," tukasku. Emir hanya melirik sebentar ke arahku, tanpa berkata apa pun.

Aku berdo'a semoga dengan temuan senjata di gudang itu, menjadi titik terang untuk mengungkap kasus tewasnya ayah Emir.

**&**

Merhaba, Aşkim! [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang