16. Demi Dia

28 6 0
                                    

Istanbul, penghujung musim gugur 2019

Napasku lumayan longgar setelah kasus kematian Baba terungkap. Meskipun merasa kurang puas dengan keputusan hakim yang menjebloskan pamanku sendiri ke Hotel Prodeo. Seandainya tak mengingat Yusuf Amca masih keluargaku—meski hanya satu ayah dengan Baba karena terlahir dari istri muda kakek—hukuman yang pantas adalah nyawa dibayar nyawa. Balas dendam? Rasanya tak cukup hanya dengan membalaskan rasa sakit hati. Meski bara amarah masih membakar di jiwa ini, tetapi harus diingat, masih ada keluarganya yang harus kuurus dan masih menjadi tanggung jawabku. Ferhat dan ibunya, Halima Teyze. Ironis, bukan?

Ya! Itulah hidup. Ada saja hal yang tak bisa dipahami.
Terkadang logika harus kalah oleh perasaan bahkan oleh kenyataan. Sulit tentunya harus menjalani situasi seperti ini. Tetapi mau tak mau, ini sudah takdirku.

Akh! Tiba-tiba teringat si Gadis Malaikatku! Ke manakah dia? Tak kutemui meski bayangannya di kantor. Tak ada kabar, tak ada pesan. Mungkin sibuk dengan urusan perkuliahannya, atau ... jangan-jangan sakit? Ya, harusnya aku menanyakan langsung kepadanya. Kuakui, beberapa lama ini kesibukanku menyita segalanya, termasuk menanyakan kabarnya.

Tak kupungkiri, gadis itu telah banyak membantu. Bukan hanya urusan di agency, tetapi juga dalam mengungkap kasus Baba. Dia gadis cerdas dan berenergi. Meskipun sedikit gila karena keberanian dan kenekatannya. Ah, mungkinkah ini rasanya rindu? Rasa yang selama ini tak pernah kurasakan setelah sekian banyak berpetualang dengan gadis-gadis Italia dan Turki.

Dia berbeda. Tak ada gadis mana pun yang bisa menyentuh hati selain dia. Gadis itu sudah mengacaukan nalarku mengenai dunia percintaan. Pendirian serta sudut pandangku terhadap perempuan telah ditumbangkan oleh gadis Indonesia itu. Dia memang perusak!

By the way, apa kabarnya dia?

"Merhaba, Emir! Aku hanya mau kasih tau, Naz pergi dari rumah!"

Aku termangu saat menerima kabar dari Ayla Abla di telepon. Wait ... Aku belum paham sama sekali apa yang Ablacim ucapkan. Suara Ayla yang meneriakkan namaku berkali-kali menyadarkanku kembali.

"Ya, Ablacim! Maksudmu, Naz pergi ke mana? Di kantor aku belum ketemu dia!" jawabku seraya melirik ke ruangan Naz yang masih gelap.9

"Bukan pergi ke kantor atau kampus seperti biasanya. Maksudku, Naz pergi dari rumah karena berantem sama kakaknya!"

Ne? What? Apa yang Ayla bilang barusan? Tak salah dengarkah aku? Ke manakah dia pergi? Kemudian kudengarkan penjelasan Ayla mengenai penyebab kepergiannya. Ah, ternyata kekhawatiranku selama ini terbukti. Kakaknya memang tak menyukai aku, dan ingin menjodohkan adiknya dengan lelaki yang lebih baik segalanya dariku.

Aku akui diriku memang bukan lelaki yang tepat sesuai harapan Fahri. Latar belakang hidup, masa lalu, juga kepribadianku, jauh dari hal kebenaran. Gaya hidup yang serampangan dan kelakuanku yang berantakan, mana bisa dibanggakan? Padahal kini aku sedang berusaha menjadi manusia baik dan bertanggung jawab. Sayangnya tak ada yang melihat, dan tak ada yang peduli, kecuali Baba yang kini tiada.

Shit! Aku memang bejat! Brengsek! Tetapi tak bolehkah aku mencintai gadis itu? Tak pantaskah untuk memilikinya?

Tanpa pikir panjang lagi, aku bergegas tinggalkan kantor. Kupacu laju kendaraan dalam kecepatan gila-gilaan. Aku memang tak tahu lokasi flat yang disebutkan Ayla, tetapi setidaknya berusaha mencari tahu. Sebelum terlambat.

Merhaba, Aşkim! [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang