2. Syair Pujangga Legenda

108 18 6
                                    

Istanbul, musim dingin 2018

"Gimana semalem? Lo gak mau cerita, heh?" Ayla menggodaku. Sengaja tak segera kujawab, biar Ayla semakin penasaran.

"Naz!" seru Ayla sambil melotot. Aku tertawa melihat wajahnya yang merengut.

"Lo nggak salah ngenalin dia," jawabku akhirnya.

"Hah? Lo langsung jatuh cinta?" Ayla tampak kaget. "Bener kan, gue bilang apa?"

"Gila! Nggak lah!" sanggahku. "Eh tapi senyum sama tatapannya itu, Ayl ...."

"Apa? Kenapa?" Ayla tambah penasaran.

"Ada deh," sahutku menggodanya.

Kutinggalkan Ayla yang bengong menuju taman mini di halaman.

Pagi masih terbalut hawa dingin. Mentari belum menampakkan  sinarnya. Langit pucat payungi permukaan tanah Istanbul yang masih basah. Butiran sisa hujan semalam, masih menetes dari dedaunan. Aromanya menyeruak segar menyelusup rongga napasku, meski terasa agak perih di hidung. Kusirami tanaman-tanaman kecil di pot yang tak tersentuh air hujan. Kubuang daun-daun kering serta rumput yang tumbuh liar yang hampir mati. Sejak Ayla sibuk dengan Baby Zee, ia agak menelantarkan tanamannya. Padahal aku paling anti mengurus tanaman. Hanya saja karena tanaman ini terlihat mulai ada yang keluar kuncup bunga, terpaksa kusirami. Sayang kalau sampai mati mengering. Sebentar lagi musim semi, pastinya bunga-bunga ini akan ikut bersemi. Sebenarnya aku punya alergi serbuk sari. Agak aneh memang, karena jarang-jarang orang yang punya alergi sepertiku ini. Terhirup baunya saja, mata dan hidungku langsung berair. Larinya langsung ke bersin-bersin. Ini adalah gen yang diturunkan Mama, tentu saja selain kecantikan parasnya.

"Assalamualaikum, Günaydin!" Suara dari belakang membuatku hampir terjengkang karena kaget.

"Waalaikumsalam, selamat pagi ... Emir!" jawabku gugup. Aku salah tingkah ketika sadar kepalaku sedang tak berhijab. Sedikit pun aku tak mengira Emir akan datang sepagi ini.

Emir terpaku, matanya tak lepas  dari tubuhku. Bahkan lebih liar menatap dari atas sampai bawah seperti terpesona. Saat itu aku ingin berlari masuk rumah dan bersembunyi karena malu. Kucoba menutupi kepala dengan kedua tangan, namun rambut panjangku tetap tergerai bebas di punggung.

"Emh ... silakan masuk, aku ganti pakaian dulu!" kataku sambil berlari mendahului masuk. Aku tahu ia masih terpukau di belakangku.

Saat aku turun dan sudah berpakaian rapi,  Emir sedang ditemani Kak Fahri mengobrol.

"Naz, hari ini Kakak nggak bisa temani kamu belanja oleh-oleh  buat ke Jakarta," ujar Kak Fahri. "Zee agak demam, kasian Ayl harus ngurus sendiri."

"Nggak apa-apa Abi, aku bisa antar Naz kebetulan aku free." Emir memotong pembicaraan kakakku. Eh, ia panggil Kak Fahri dengan Abi, itu kan sebutan untuk kakak laki-laki. Ah, aku lupa. Tentu saja ia memanggil dengan sebutan itu, Ayla kan kakak sepupunya.

"Lho, Baby Zee sakit apa?" tanyaku kaget. Aku menghampiri Ayla yang sedang menggendong bayinya.

"Entahlah, dari semalam panasnya tinggi," jawabnya terlihat khawatir.

"Aih, Zee sayang, jangan bikin Aunty-mu sedih  dong, besok kan Aunty pulang ke Jakarta! Cepet sembuh ya," ucapku sambil meraba dahi Zee. "Oya, Ayl. Gue mau belanja, lo mau titip apa?"

"Nggak, gua titip lo aja," jawab Ayla tanpa kumengerti.

"Maksud lo?" Aku mengernyit.

"Titipin lo sama Emir!" seru Ayla sambil mengedipkan sebelah matanya ke arah Emir. Emir seakan tahu maksud Ayla, ia balas berkedip sambil tersenyum penuh arti.

Merhaba, Aşkim! [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang