19. It's Over!

34 7 0
                                    


Istanbul, musim dingin 2020

Kecewa. Itulah yang kurasakan saat ini. Haya satu rasa, akan tetapi mampu memanggil ribuan rasa turunannya, sebangsa dan sejenisnya. Mereka dikumpulkan dalam satu wadah bernama hati yang akan disebar ke seluruh bagian tubuh melalui aliran darah dan membangkitkan syaraf-syaraf. Maka muncullah sang penguasa amarah bertahta di ubun-ubun. Dialah Emosi!

Kecewa, lebih dari yang pernah kualami sebelum ini. Tak menyangka saja ketika aku datang dengan segenggam rindu dan sebongkah harapan untuknya. Namun saat melihat apa yang dilakukannya tadi, sungguh tak percaya. Padahal keyakinanku terhadapnya sudah kuat, ditambah perkembangannya dalam berhijrah sangatlah mengagumkan. Tetapi ternyata semua itu bohong. Palsu!

Ketika di depan mataku saja masih berulah seperti itu, apalagi di belakangku? Tidak! Aku tak bisa memercayainya lagi. Percuma saja selama ini kuberi kesempatan untuk sama-sama memperjuangkan takdir. Sia-sia saja apa yang diusahakan untuk merebut hati kakakku. Gagal! Tak ada lagi yang bisa dipertunjukkan untuk meyakinkan kakakku.

"Ayla! Aku pulang!" Kuketuk pintu rumah sewaan kakakku agak keras.  Hari sudah gelap saat kembali dari Kadikoy. Aku memutuskan untuk pulang ke rumah kakakku serta minta maaf. Mungkin benar, inilah karma untuk ketidaktaatan kepada keluarga yang sejatinya jadi pelindungku.

Begitu masuk, aku segera mengganti sepatu dengan sendal rumah, lalu membuka dan menggantungkan mantel dan jilbabku. Kemudian kucuci tangan dengan hand sanitizer yang sengaja Ayla taruh di dekat pintu sejak Corona mewabah.

"Naz! Lo kenapa? Dari mana? Apa yang terjadi sama lo?" Ayla memberondong pertanyaan. Aku tak bisa menjawab. Hanya air mata yang deras mengalir di pipiku.

Setelah memastikan diriku bersih, Ayla memaksa menceritakan apa yang kualami. Kemudian kucurahkan semua kisah dari awal hingga akhir tanpa ada yang terlewat.

"Ah, pantas saja Emir pernah menanyakan betul enggaknya Idham berada di sana!"

"Jadi, Idham memang berada di tempat itu?"

"Gue nggak tahu kalau akan begini kejadiannya. Maafkan gue, Naz! Tapi kita juga nggak bisa men-judge Emir seperti itu. Ia melakukan itu, pasti ada alasannya!" sesal Ayla berusaha membela Emir.

Kak Fahri yang saat itu baru tiba sepulang dari acara rutin masjid terdekat, kaget melihatku. Ia seolah salah tingkah melihat aku bersujud di kakinya memohon ampunan. Namun tak lama ia mengangkat tubuhku yang rubuh memegangi lututnya.

"Sudahlah Naz! Kakak sebetulnya nggak marah, hanya membiarkan kamu mencoba merasakan ketika berada di jalan pilihanmu sendiri. Menjadi seperti apa yang kamu inginkan!"

***

Ini 15 hari terakhirku di kantor advertising Selim Harika Agency. Surat pengunduran diri sudah kutaruh di meja Emir, sebelum ia datang. Sebetulnya sudah tak mau melihatnya lagi, tetapi aku harus mengikuti prosedur pengunduran diri di kantor ini. Paling sebentar tunggu 15 hari kerja untuk bisa meninggalkan perusahaan, tanpa menggantung pekerjaan. Mungkin saat yang tepat karena sebentar lagi pemerintah Turki akan memberlakukan pembatasan besar-besaran di seluruh negerinya, sebagai upaya memutus mata rantai pandemi. Di saat itu, tak akan ada lagi kegiatan apapun yang dilakukan di luar rumah. Semua harus tinggal di rumah, dan aktivitas apapun dikerjakan dari rumah. Mungkin akan membosankan sebagian besar orang-orang yang terbiasa sibuk di luar rumah. Tetapi bagiku mungkin cara ini akan lebih baik.

Kalau tak salah, aku masih punya proyek untuk iklan Supermarket yang belum selesai. Lumayan besar, karena bukan untuk wilayah Turki saja, namun ke beberapa negara wilayah Semenanjung Balkan, bahkan ke Eropa. Rencananya setelah selesai mempresentasikan, aku langsung pergi tanpa menunggu proyek selesai. Entah itu akan sukses atau tidak, sudah bukan urusanku lagi.

Merhaba, Aşkim! [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang