HTN : 11

35.2K 6.2K 994
                                    

Berlian pergi. Kali ini bukan Akira yang menghilang tiap kali mereka bertengkar. Tapi Berlian.

Pria itu, Akira hanya merasa terlalu lelah karena selama di Bali rasanya tak terhitung berapa kali dirinya dan Berlian berdebat, dan ini adalah puncaknya.

Ah ... Jauh sebelum ini terjadi, Agung sudah memprediksi jika dia dan Berlian memang tak akan bisa bersama. Kendalanya hanya satu. Nara.

Dalam perjanjian memang tak ada peraturan tentang menikah lagi, memiliki dua istri. Masalahnya, Akira tak bisa melakukan itu. Dia tak bisa menjalin hubungan pernikahan dengan dua wanita sekaligus. Lalu ... Berlian meminta untuk menjadi yang pertama, di saat Nara sudah menempati posisi itu lebih dahulu.

Tapi jika Berlian tak menetapkan syarat menikahi wanita itu dengan menceraikan Nara, pun. Rasanya Akira juga tetap menolak. Bukan masalah tentang pembagian waktu karena Nara mungkin tak butuh ia kunjungi. Hanya saja ... seakan ada pertentangan dalam diri Akira.

Oh ... Ia menganggap jika Berlian layak dijadikan satu-satunya. Tapi sekarang ... Entahlah.

Mendesah, mendongakan wajah ke atas, Akira lantas menghempaskah tubuh ke ranjang. Ah ... Bahkan di usianya yang menginjak tiga puluh dua tahun, Akira belum bisa menentukan ke mana hidupnya akan ia bawa.

Sampai saat ini ia hanya terus memikirkan bagaimana agar harta dan usaha orangtuanya tak jatuh di tangan yang salah, agar tak hancur sia-sia.

Sang ibu menceritakan bagaimana perjalanannya dalam menemani Brama untuk meraih sukses. Benar. Kesuksesan itu tak didapat secara instan. Tapi ... Kekecewaan menerpa sang ibu saat Brama bahkan lebih mementingkan Nara.

Dulu saat tahu sang ayah menjodohkannya dengan Nara, cemburu sang ibu lenyap. Oh ... Mengira jika Brama begitu menjaga Nara untuk dipercayakan pada Akira.

Tak masalah. Akira menerima perjodohan itu dan berjanji akan mencintai Nara. Tak sulit tampaknya, karena dirinya sudah mengenal Nara cukup lama. Meski tak dekat.

Tapi ... Mengapa setelah pernikahan terjadi. Brama malah mengacaukan semuanya. Brama malah menjadikan Nara seolah pewaris satu-satunya, dan Akira beserta ketiga suadara lainnya juga sang ibu bukan yang utama bagi Brama.

Bukan Nara yang menemani mereka saat susah ketika Brama harus menguras seluruh tabungan demi membuka sebuah usaha. Bukan Nara, apalagi Catra. Ibunya. Istri Brama yang harus menahan lapar demi bisa menemani sang suami menjabat kesuksesan. Akira ... Anak pertama yang harus menahan diri untuk tak meminta apa yang ia inginkan, karena lauk sederhana yang ibunya masakan sudah menjadi hadiah terbaik tiap kali membuka tudung saji.

Tapi ... Mengapa Nara yang begitu Brama pikirkan?

Catra bahkan tak peduli pada Akira. Lalu mengapa Brama peduli pada Nara?

Oh ... Andai kasih sayang Brama pada Nara tak mengurangi kasih sayang Brama pada keluarganya. Pasti kecemburuan seperti ini tak akan terjadi.

Tak apa pula jika dalam pernikahan mereka, Brama lebih menyayangi Nara dibanding dirinya, tapi haruskah lebih mementingkan Nara dibanding perasaan ibunya? Perasaan adik-adiknya.

Ini bukan tentang, oh jadilah pria dewasa yang bisa menerima setiap keputusan dan kejadian. Bullshit. Akira masih manusia biasa, yang sama dengan orang di luaran sana yang bahkan lebih mengerikan dari dirinya.

Sesama saudara, sanggup saling membenci demi harta benda. Tapi ... Akira masih mempunyai akal untuk mengutamakan hati ibu dan saudara-saudaranya. Sementara orang yang ia tentang adalah orang lain.

Istrinya? Bukan. Lima tahun lalu, Nara hanya orang lain yang ia terima dengan tangan terbuka sebelum kemudian menusuknya secara terang-terangan, menggunakan tangan Brama.

Hold The NightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang