HTN : 12

33.9K 6.2K 729
                                    

Baiklah Akira telah salah bertindak. Semestinya tadi ketika ia hapus warna lipstik dari bibir Nara, Akira turut menghapus bibir wanita itu.

Ya ... Biar tak banyak bicara. Biar tak bersuara. Biar tak menimbulkan kebisingan hingga ia ditegur oleh penumpang pesawat yang duduk di seberangnya, di depannya, di belakangnya, dan jangan lupa. Pramugari datang untuk meminta Nara agar tenang.

Wanita itu ketakutan. Katanya, untuk menghilangkan takut, Nara harus berkicau agar ketakutan wanita itu teralihkan. Tapi apa harus dengan membuat orang lain terganggu, parahnya membuat Akira malu.

Menarik napas dalam, melihat arloji dan menghitung berapa lama lagi ia sampai di tujuan, Akira yang menahan gejolak rasa kesal menatap Nara yang wajahnya telah pasi, namun bibir wanita itu terus bergerak, kini dengan suara berbisik karena sudah ditegur berulang kali.

Memicingkan mata pada wanita itu yang lantas memberinya cengiran lebar, Akira menarik tangan Nara yang jemarinya saling bertaut di atas paha. "Pejamkan mata."

"Ha?"

"Sstt!"

Penumpang di seberang Akira lantas memberikan teguran dan pria itu langsung memberi senyum sungkan,  sebelum kembali pada Nara yang terkikik pelan.

Lihatlah.

Suara Nara bagai trauma. Hanya mengeluarkan suara Ha beberapa mata langsung berlari ke arah mereka.

"Kamu terlalu berisik," ucap Akira yang  menggenggam jemari tangan kiri Nara yang sudah tahu takut, ngotot ingin duduk dekat jendela. Katanya ingin menaklukan ketakutan.

Bodoh!

Membuat kehebohan iya.

"Mereka aja yang sok tenang. Orang kan ketakutan jadi--"

"Ssst!" Kini Akira yang meminta wanita ini diam. Jika dibiarkan bisa tak berhenti mengeluarkan ocehan hingga mereka tiba di Jakarta.

Mulut Nara sudah seperti mesin penggiling yang bekerja tanpa henti.

Langsung bungkam, Nara memejamkan mata, menuruti perintah Akira sebelumnya.

Sebenarnya pesawat yang ia naiki kali ini berbeda dengan yang membawanya ke Bali. Di sini, tempat duduknya lebih lega, bagian pemisah pun luas. Hingga saat memasukinya tak perlu berhimpit-himpitan dengan penumpang lain.

Berbeda saat ia pergi bersama Naren beberapa hari lalu, tempat duduknya tak nyaman. Sempit, dan saat memasukinya begitu berhimpit-himpitan.

Tapi Nara pikir rasanya akan berbeda. Ya mungkin di pesawat yang Naren pilihkan membuat ia tak nyaman hingga diserang rasa ketakutan. Dan di sini, ia dimanjakan dengan fasilitas mewah, jadi tentunya pasti lebih nyaman, kan? Harusnya seperti itu, jadi ia tak perlu merasakan ketakutan yang sama. Meski jika pesawatnya jatuh ya ... Mau kelas apapun itu jatuh tetaplah jatuh. Tak mungkin meski duduk di kelas bisnis, saat pesawatnya jatuh, Nara akan difasilitasi dengan nyawa cadangan, kan?

Tapi ternyata duduk di kursi pesawat mewah ini, Nara malah kian tak nyaman karena penumpangnya terus melihat ia dengan pandangan sinis dan risih seolah dirinya adalah pengganggu. Jadi bukannya merasa kian nyaman, sejujurnya Nara malah kian ketakutan.

"Coba untuk tidur, dan jangan bersuara lagi."

"Tapi aku nggak ngantuk." Nara berucap amat sangat pelan, seakan hidupnya penuh dengan tekanan.

Tak mendengar, Akira mendekatkan telinga ke arah Nara yang membuka mata, dan kembali mengulangi kalimatnya di telinga pria itu. "Nggak ngantuk." Kemudian menengok ke arah jendela, hanya untuk membuat rasa takutnya kian menjadi. "Kalau jatuh pasti mati." Bibirnya mencebik. Bersama Naren ia tak setakut ini, karena suara berisiknya tak disinisi. Kebetulan juga ada yang lebih berisik dari dirinya saat itu. Penumpang yang membawa balita yang terus merengek tak nyaman.

Hold The NightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang