HTN : 15

36.4K 6.4K 1.2K
                                    

Bibir itu terus mengerucut maju pantang mundur. Ujung lancip bak tajamnya anak panah yang siap dilontarkan untuk menusuk lawan yang enggan meladeni mimik sebalnya yang terpatri sejak ia ditarik hingga duduk di kendaraan yang membawa dirinya nyaris setengah perjalanan menuju rumah.

Mendengkus sebal karena tak kunjung diberi tanggapan meski dirinya sendiri tak tahu Akira harus melakukan apa untuk menangani rasa kesalnya, Nara langsung membuka mulut, menghirup udara sebanyak-banyaknya seakan itu bisa dijadikan stock selama beberapa hari ke depan, lalu....

"Kenapa sih, kayaknya sibuk banget sama aku. Narik-narik kayak gitu tuh kenapa? Cari perhatian? Lima tahun aku dianggurin, kenapa baru sekarang sok-sokan peduli pakek ngajak aku satu mobil, anterin pulang, di Bali juga gitu. Ibarat makanan yang kamu lakuin itu udah basi!"

Booom ... Meledak!

Ledakan yang mampu menggoyahkan lawan untuk melirik tajam, lalu memutar setir dengan cepat, pria itu, Akira si tersangka yang membuat Nara kesal, menepikan sedan hitamnya, membuat si Cocor bebek diam, dan pucat.

Nara tak akan diturunkan di tempat yang tak dikenal ini, kan?

"Kamu tahu?"

Nara yang memperhatikan suasana pekatnya malam dan rimbunnya tumbuhan yang terasa mencekam dari jendela sisi kiri langsung menoleh ke kanan saat ia dengarkan suara Akira yang pasti merespon rentetan panjang ucapannya, membuat ia terkesiap, karena pria itu berada di dekatnya, memajukan tubuh padanya, dan tangan pria itu terbentang, satu menyentuh sandaran duduk Nara, satu pada dashboard di hadapan wanita itu.

Menelan salivanya diam-diam, enggan dikatakan ia takut, Nara mengerjap lambat. "Nggak dikasih tau, mana aku tau?" Meski takut ia tak boleh diam, nanti dikiranya telah gentar. Jika begitu, Akira pasti akan menindasnya.

Menahan geraman kesal karena Nara tak pernah gagal dalam memancing emosinya, Akira kian mendekatkan wajah, membuat Nara merasa bodoh seketika karena ia sontak mundur dan ekspresi gelisah terpampang jelas.

"Aku beri tahu." Akira melanjutkan ucapan penuh penekanan. "Aku mengasingkanmu bukan untuk hidup bebas, dan bisa berkencan dengan pria mana pun. Ingat, kamu adalah milikku, dan aku adalah pemilikmu."

Eh? Kok terdengar seperti Nara adalah peliharaan, ya?

Berdecak, Yang merasa dirinya dianggap peliharaan lantas membuka suara. "Siapa yang kencan? Aku sama Naren?" Ih ... Dia sih suka dengan pria itu, Naren tampan. Tapi Nara lebih memilih untuk berpasangan dengan bule. Rencana memperbaiki keturunan belum luntur dan masih berkobar hingga sekarang.

Ah ... Ingat bule, ingat lagi sakit hatinya selama liburan di Bali. Semua berantakan karena Akira. Andai tak berjumpa dengan si Diktator yang satu ini, selain berhasil menggoda setidaknya satu bule tampan, ia akan menemukan monyet yang persis dengan Akira dan mantan calon madunya.

Sudah bisa dikatakan mantan, kan? Atau Akira dan Berlian sudah berbaikan lagi? Uh ... Masa bodoh. Tapi kepo.

"Aku sama Naren tuh temen baik." Meski mungkin Naren tak menganggap begitu. "Kalau mau cari pacar, nggak mungkin anak om Agu--"

"Kamu tidak akan memiliki pacar meski itu bukan anak ayah, Nara!"

Langsung memutar bola matanya malas karena mendapati raut legam suaminya, Nara mendesah pasrah. "Iya, nggak pacaran. Aku mah apa atu, cuma istri sah simpanan kamu. Setia menunggu walau harus menahan pilu." Nara menepuk dadanya penuh drama.

Menganga, sebelum kemudian berkedip cepat, Akira mengembalikan akal sehatnya yang nyaris gila hanya karena Nara. "Tutup mulutmu." Kembali duduk tegap di kursinya, Akira  berniat menjalankan kembali kendaraan sebelum wanita di sampingnya mengeluarkan bunyi menjengkelkan lagi, meski berbisik tapi Akira masih bisa mendengarnya dengan jelas.

Hold The NightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang