HTN : 13

31.5K 5.3K 369
                                    

Akira pergi, tak perlu susah payah menanti mertuanya keluar, atau berpamitan untuk pulang. Hanya bodi samping mobil pria itu yang dilihat dari teras rumah saat Maya keluar. Hal itu jelas mengundang cibiran Maya atas sikap tak sopan sang menantu yang meski memenjarakan suaminya, tapi menjamin kehidupannya melalui Nara tentunya.

Merasa tak ada yang perlu dilakukan karena orang yang ingin ditemui sudah datang, Maya menghampiri Nara kembali yang menyusul dirinya ke ruang tamu. Mengungkapkan tujuan sesungguhnya mengapa ia datang ke kediaman sang putri, apalagi jika bukan untuk meminta transferan dana agar dapur rumahnya tetap mengebul dengan aroma makanan lezat, Maya lantas pulang setelah menerima anggukan terpaksa sang putri.

Ah ... Sendirian lagi.

Meremas sisi gaun merah yang masih melekat di tubuhnya bersama lembabnya keringat, Nara terpejam untuk menyabarkan diri sendiri.

Ya ... Sabar.

Semenjengkelkan apapun Maya, wanita itu tetap ibunya. Ibu yang sakit hati karena menganggap dirinya adalah anak pembawa sial. Tak sekali dua kali katanya menciptakan kesedihan di dalam keluarga Raid. Tapi entah apa. Nara saja lupa apa yang ia lakukan semasa kecil dulu.

Karena penggalan masa lalu yang masih melekat di kepalanya adalah saat ia berusia lima tahun, dan merengek ingin tidur bersama Maya namun malah dititipkan pada pembantu. Itu adalah ingatan paling lampau yang masih melekat di kepala dan ... Nyerinya masih bersangkar di ulu hati.

Mendesah, memandang tiap sudut ruang rumahnya yang beberapa hari ia tinggalkan, Nara menghentak keras tumit sepatu tinggi yang ia kenakan.

"Mboook Suuul!"

Menggeram kesal, wanita itu bergerak menuju kamar pembantu yang berada di dekat dapur. Namun belum ia mencapai pintu ruangan tersebut. Sosok mbok Sul keluar dengan wajah mengantuk. "Bisa-bisanya di kamar sesiang ini! Buatin aku jus! Sama siapkan makanan! Antar ke kamar! Awas kalau lama!"

Berbalik tegas, Nara yang tak pernah tak emosi menghadapi pembantu yang tak pernah menghargai ia sebagai majikan, bergerak menuju telepon kabel di sudut ruang keluarga. Mencari-cari nomor ponsel di buku catatan yang selalu ada di samping telepon kabel, Nara menghubungi Utami segera yang tak ia lihat batang hidungnya semenjak tiba di rumah.

Tak butuh waktu lama untuk mendengar jawaban di seberang sana. Jawabam Nara selanjutnya pada salam Utami, pasti menjadi penyesalan terdalam bagi Utami yang langsung menjawab telepon dengan cepat tanpa berpikir jika yang menghubunginya adalah Nara. Bukan mbok Sul seperti terkaannya.

"Kamu liburan juga?! Apa aku kasih kamu izin untuk nggak kerja walaupun aku nggak di rumah?! Utami! Cepat ke sini dalam waktu lima belas menit atau gaji aku potong lima belas persen!"

Langsung menutup panggilan dengan debar jantung menggila lantaran rasa kesalnya harus ia lempar pada Utami yang tak sepenuhnya salah, Nara lalu berbalik sebelum tersentak kaget pada sosok yang menjulang tinggi di belakangnya.

"Ka ... Kamu kenapa di sini?"

Brak!

Suara koper dilempar di samping tubuh Nara membuat wanita itu meringis tipis.

"Koper kamu!" jawab si jangkung yang biasa Nara panggil suamiku. "Ternyata bukan penampilan kamu saja yang memalukan, ya? Amarah kamu juga terlalu norak."

Akira tak suka.

Tak suka pada makian Nara yang ia dengar tadi.

Tak suka pada kelakuan semena-mena Nara pada asisten wanita itu.

Terlalu keji.

Bahkan, Akira tak pernah bertindak seperti itu pada bawahannya.

Mengusap wajah, merasa mood cerianya lenyap karena kehadiran Maya dan peringatan dari sang ibu, Nara lantas tersenyum pada Akira sebelum ia kalungkan tangan pada leher pria itu. "Aku sememalukan itu ya, sayang? Terus gimana dong? Kamu nggak suka? Kalau gitu ... Cerein aku dong. Betah banget sih nahan-nahan aku sampai lima tahun." Berjinjit, karena meski telah menggunakan sepatu tinggi, Nara belum mampu menyamai tinggi sang suami, wanita itu mengusapkan hidung pada pipi suaminya yang mendadak kaku seketika.

Hold The NightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang