HTN : 18

39.6K 6.3K 886
                                    

Sebenarnya menginjakkan kaki ke kediaman mertua adalah hal yang paling Nara hindari. Tak ada yang mengharapnya, tak ada yang menganggapnya.

Tapi dua hari menjelang pesta pertunangan Fio, Agung terus menghubungi ia untuk datang. Bahkan dirinya akan dijemput. padahal Nara sudah melupakan ajakan dari Agung itu.

Heh ... Malas sekali datang ke kandang musuh.

Entah apa nanti yang dirinya akan terima.

Oh ... Agung yang selalu berusaha membuat dirinya bersama dengan Akira. Merayu dirinya untuk mengurangi sedikit saja sifat matrealistis demi mendapat simpati. Meminta ia mencoba mencuri hati keluarga Akira agar bisa disayangi. Tapi Nara enggan memulai jika Akira juga tak mau memulai.

Dia tak mau jual murah, karena harga pernikahannya sendiri begitu mahal.

Ha ha ha.

Taruhannya adalah setengah kekayaan keluarga Arundapati. Bagaimana tak mahal? Jadi sudah tahu begitu, mengapa pula Nara harus merendah. Tak sudi.

"Mbak...."

Melirik ke atas pada panggilan Utami, Nara yang duduk di depan kaca rias berdeham.

"Mau pakek baju apa mbak? Jangan bilang merah lagi."

Memoles gincu merah pada bibir yang tipis pada bagian atas, Nara menjawab santai. "Iya lah. Memangnya mau warna apa lagi?"

Desah bosan Utami yang sedang membuat gelombang indah pada rambut Nara terdengar. "Merah terus sih, mbak. Bosen tau liatnya. Aku bawa gaun loh warna pink sama biru. Bagus. Mbak pakai itu aja. Jangan merah lagi lah."

"Nggak!"

Nara menolak tegas yang membuat Utami memutar bola mata malas. Memang majikannya yang ini susah sekali menerima saran.

"Kenapa sih, mbak. Suka banget sama merah?"

"Siapa yang suka sama merah?"

"Eh?" Berhenti membuat ikal pada rambut Nara, Utami memasang ekspresi bodoh.

Majikannya ini kesurupan atau bagaimana? Perasaan Nara selalu memenuhi hidupnya dengan warna merah. Sekarang mengatakan tak suka warna merah?

"Terus kenapa pakai yang serba merah?"

Kini memoles eyeliner dengan gerakan lues hingga mencipta goresan yang rapi, Nara tersenyum lebar. "Karena Akira."

"Oh ... Mas Kira suka merah?"

Nara menggeleng pelan. "Dia nggak suka merah." Kian membuat Utami tak habis pikir, Nara lantas menatap wajah aneh asistennya itu dari permukaan cermin. "Lakukan apa yang nggak dia suka biar dicere. Eh ... Kamu kalau nggak ngerti apa-apa udah nggak usah banyak omong. Ini rambutku dibagusin! Awas kalau jelek."

Mendengkus kesal, Utami segera memonyongkan bibir. "Di mana-mana orang mau rumah tangganya langgeng, ini mau cere. Mbak, nggak boleh mempermainkan pernikahan."

"Siapa yang mainin?! Mereka yang mulai kok!"

"Ya terus mbak nggak ada usaha untuk berlaku yang sebaliknya gitu? Mbak matre gini ya wajar nggak ada yang mau jadiin mbak mantu dan istri."

"Nasehatin! Majikan dinasehatin!" Menyipitkan pandangan, Nara membuat Utami bungkam sebelum kemudian mencebik kesal.

Memang tidak suami tidak istri. Akira dan Nara sama-sama keras kepala. Coba keduanya diadu, sudah dijamin sama-sama kuat kepalanya.

"Ya udah, nih! Udah rampung." Terserah jika Nara mau menggunakan gaun merah. Entah gaun yang modelnya seperti apa. Utami hanya berharap Nara tak menggunakan warna merahnya yang pudar, agar tak terlihat terlalu norak.

Hold The NightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang