HTN : 19

38.6K 6.2K 536
                                    

Di samping bangunan rumah, mereka duduk di sebuah kursi panjang berdampingan dan saling diam menatap taman yang turut dihias dengan kerlap kerlip lampu yang memancarkan beraneka warna. Langit malam yang tak berbintang, kali ini keindahannya dikalahkan sesaat oleh dekorasi mewah di kediaman Arundapati yang tengah melangsungkan acara pesta pertunangan untuk pertama kali. Namun semarak di sekitar yang tak hanya memanjakan penglihatan, juga pendengaran para tamu akan suara merdu penyanyi papan atas yang turut diundang untuk memeriahkan pesta tak menghampiri kedua orang tersebut yang rasanya terpaksa ikut menjadi satu dalam acara.

Uh ... mereka yang tak lagi menjadi pasangan sempurna, selalu tampak cocok bersanding dengan paras menawan, pun dengan kekayaan gemilang, seakan terjebak di antara sorak sorai tamu dan kegembiraan sepasang kekasih yang malam ini diikat dalam sepasang cincin pertunangan.

Keduanya seakan berada di gerbang kesusahan dengan masalah masing-masing yang terus disembunyikan seakan tak perlu ada yang tahu betapa mereka ingin hidup normal dan menemukan tawa tanpa beban yang terpaksa mereka sangga.

Akira adalah yang pertama memutus kesunyian, karena nyatanya hal yang menumpuk di kepala membuat ia tuli akan hingar bingar di sekitarnya. Menghela napas, membuang canggung karena sudah cukup lama tak saling berbagi napas dalam satu ruang yang sama dengan wanita di sampingnya.

"Jadi...." Menggantung ucapannya, pria itu menatap langit malam. "Tentang kamu yang tidak bersama orangtuamu lagi itu benar?"

Menoleh, menatap pria di sampingnya dengan tatapan sendu, wanita itu mengangguk. "Ya," jawabnya kemudian ketika dirasa Akira tak mendapati gerakan kepalanya.

"Cekcok lagi?"

"Kamu tahu jelas hubungan kami memang nggak baik sebagai ayah dan anak."

Akira lantas mendengkus. "Sampai membiarkanmu keluar dari rumah?" Akira mempertemukan pandangannya dengan tatapan dalam Berliana. Mantan kekasih yang ia kira akan menjadi teman hidup selamanya. Tapi ... nyatanya ia tak cukup mampu mewujudkan hal itu.

"Kenapa?" Lalu, bergantian, Berlian menatap langit kelam yang tampak mencerminkan kehidupannya. "Ini bukan hal yang aneh untuk kamu, kan? Papa sanggup mengusirku, dan papamu...." Ia lirik Akira dari sudut mata. "Menomorduakanmu untuk wanita yang bukan siapa-siapa. Semua orangtua berhak melakukan apapun sesuka mereka, bukan?"

Dengan dalih Aku adalah orangtua. Oh ... bahkan seorang raja pun kalah jika seorang ayah sudah mengangkuhkan diri dengan sebutan Aku adalah orangtua. Seakan menjadi orangtua membuat posisi mereka setara dengan sang pencipta, hingga selalu merasa benar, selalu ingin menang, dan bisa mengatur keturunan mereka sesuka hati. Nasib anak jadi ada di tangan mereka.

Orangtua....

Mendengkus mendengar Tanya sarkas dari mantan kekasihnya yang ... benar kata Fio. Jauh lebih kurus dan tampak sedikit tak terawat, meski kecantikan alami yang Berlian miliki tak luntur sama sekali, Akira lalu mengangguk singkat. "Mengapa tidak menghubungiku?"

Berlian berdecih merasa lucu. "Untuk apa? Kita sudah mantan, kan?"

"Bukan berarti dengan begitu kita akan langsung bermusuhan, Lian."

"Tidak ada teman di antara mantan, Akira."

Oh ... berdebat dengan Berlian di waktu yang tak tepat. Akira lantas menggeleng lambat. Baiknya hentikan sekarang. "Sudahlah, jadi sekarang kamu tinggal di mana?"

Berlian menyibak surai rambutnya ke belakang, lalu sepasang tangan di samping tubuh berpegangan pada sisi kursi. "Di tempat seseorang yang sudi memberikan belas kasihnya?" Lantas tertawa hambar, yang memancing iba dalam benak Akira yang kondisinya sendiri juga patut dikasihani.

Hold The NightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang