Pria itu melarikan diri dari emosi yang selalu berhasil terpacu tiap kali kekasih hati mengungkit perihal istri yang enggan ia akui.
Ini hari indah untuk Berlian, bukan? Hari seindah ini haruskah dirusak dengan obrolan mejemukan tentang istri sah yang ia asingkan namun tak bisa ia ceraikan?
Tak bisakah Lian bersabar, berhenti menuntut dan memahami posisinya yang berada di antara kebimbangan. Ia mencintai kekasihnya, namun harus mempertahankan istrinya.
Andai wanita di pengasingan itu mau menggugat cerai, ah atau setidaknya diskusi agar Akira dan keluarganya tak perlu mengalami rugi besar, mungkin dia sudah melamar Berlian.
Tapi sayangnya istri ternyata memiliki hati sekeras batu, sengaja bertahan tanpa peduli telah Akira asingkan demi bisa mendapatkan setengah harta Arundapati yang sudah Brama--ayah Akira-- janjikan.
Sebagai pria yang mencintai kekasihnya, ia tahu Berlian ingin sebuah kepastian. Tapi tak bisakah mengerti dirinya yang juga tengah mencari cara agar bisa melepaskan Nara tanpa kehilangan banyak harta?
Andaikan tak ada keluarga, Akira mungkin sudah lepaskan Nara sejak dulu. Tapi ibu, dan adik-adiknya menuntut keadilan. Jika setengah harta diberikan pada Nara, lalu bagaimana keluarganya? Bagaimana perasaan sang ibu yang sudah bersama-sama berjuang dengan Brama namun malah tak dianggap begitu penting hingga bisa digantikan begitu saja posisinya dengan Nara.
Pulang menuju kediamannya sendiri, sebuah hunian mewah di antara bangunan mewah lainnya, Akira menghempas tubuh lelah ke atas ranjang yang bertahta di tengah ruangan yang di dominasi dengan warna putih dan coklat tua.
Lantai onyx putih bercorak hitam menampilkan suasana maskulin di kamar yang hanya ia tinggali sesekali, karena sang ibu selalu meminta ia untuk tidur di rumah.
Menghela napas, berulang kali mengacak rambut yang tersisir rapi ke belakang, Akira mengendorkan dasi seperti biasa tiap kali ia merasa gundah dan kesal.
“Apa kamu bisa memberi batas waktu? Sampai kapan aku hanya menjadi simpanan kamu?!”
Kalimat sialan itu berdengung lagi di kepala. Ah sial! Akira bangkit, memukul udara yang tak bersalah.
Berlian kekasihnya ... Berlian bukan simpanannya. Tapi kenyataan jika dirinya sudah menikah jelas tak bisa dipungkiri.
"Ssh ... Aaakh!"
Meremas rambutnya kencang, Akira berteriak kesal.
Mengapa hidup begitu tak adil?!
Dia sudah menjadi anak yang berbakti. Anak yang bisa Brama banggakan, tapi mengapa ia malah dikalahkan oleh Nara. Wanita dari keluarga lain. Hanya anak sahabat ayahnya yang berkhianat. Mengapa wanita itu mengacaukan semuanya?!
Bangkit berdiri, menapakkan kaki yang masih terbungkus dalam sepatu hitam mengkilatnya, Akira bergerak menuju meja yang berhadapan dengan ranjangnya hanya untuk menghukum sebuah guci yang tak turut andil dalam mengacaukan kisah asmaranya.
Prank!
Pecahan guci mewah pemberian sang ibu bertabur di atas lantai. Memandang pecahan tak berdosa itu dengan pandangan nanar, Akira mendongak ke atap, memperhatikan plafon bercorak kayu yang memperindah interior kamarnya dan pria itu mendengkus mengejek diri sendiri.
Tiap kali beradu argumen dengan sang kekasih, ia selalu meninggalkan wanita itu seakan tak mau memperlihatkan betapa tak berdayanya ia tiap kali diminta untuk memberi sebuah kepastian.
Selalu Berlian yang tak bersalah menjadi sasaran emosinya, sedangkan ada yang lebih berhak mendapatkan amukannya.
Nara.

KAMU SEDANG MEMBACA
Hold The Night
RomantizmNara terpenjara dalam sangkar emas ciptaan Akira. Pria yang menikahinya lima tahun yang lalu ketika ia masih berusia dua puluh tiga tahun. Pernikahan yang tak seperti sebuah pernikahan. Lima tahun menjadi bagian dari keluarga Arundapati, ia diasingk...