Wanita itu masih menikmati lembutnya pijatan Utami di kaki, bersama dalgona coffee, dan sepotong tiramisu lezat yang menyempurnakan hari-harinya setelah ia kehilangan uang di Bali, ditodong ibunya lagi, lantas tak bertemu dengan Akira selama beberapa hari.
Ini adalah surgawi. Setidaknya kehidupan kembali normal sampai kemudian entah kapan ia akan menjumpai ibu dan suaminya lagi.
"Tami, kamu ngantuk?!" Tiba-tiba, meletakkan ke sisi tubuh, piring berisi tiramisu yang ingin ia sendok ke mulut, suara melengking Nara menyentak kesadaran Utami.
Mengerjap berulang kali, Utami menatap Nara sebelum ia usap wajah mengantuknya. Rasanya memang membosankan sekali pekerjaannya ini. Jika bukan karena gaji yang besar, sudah dipastikan, sedari dulu Utami angkat kaki. Terlebih dengan majikan sekeji Nara.
"Sambil mijit jangan tidur! Kalau kamu salah urat gimana?!"
Salah urat?
Utami bahkan memijit Nara asal-asalan selama ini. Jika memang kemudian ia salah memijit, ya ... Paling Nara akan memaki dan kesakitan selama beberapa hari. Tak masalah. Utami senang melihat kesakitan sang majikan keji.
Walau kadang ya ... Tak tega juga.
Nara ini kehidupannya memang layak dikasihani. Utami yang pembantu saja rasanya enggan jika harus tukar posisi. Bayangkan saja, sudah punya suami tak pernah ditemani. Punya orangtua, yang diingat hanya harta.
"Ngantuk, mbak." Utami menguap lebar. "Lagian daritadi urut kaki terus. Abis maraton apa dipijit sampe berjam-jam."
Jalan paling jauh yang Nara tempuh hari ini bahkan baru dari ranjang ke kamar mandi saja.
Memincingkan mata ke arah Utami, Nara urung menyeruput dalgona coffeenya. "Nggak usah banyak protes! Kamu digaji memangnya untuk apa selain melayani majikan?!" Menarik kakinya yang berselonjor. "Ya udah sana pergi! Ajak mbok Sul kuras kolam! Awas kalau ada ikan yang mati lagi! Itu ikan nggak murah!"
Astaga ... Turun dari ranjang, Utami menahan gerutuan. Tengah hari dengan mentari seterik ini, Nara menyuruhnya menguras kolam dengan ikan koi yang jumlahnya hanya tiga ekor saja. Bayangkan! Kolam berukuran 4x6, lebih besar dari kamar milik Utami, hanya dihuni tiga ekor ikan koi saja! Ya ... Beberapa waktu lalu ada empat. Namun salah satunya dijual oleh pak Sul tapi mengatakan pada Nara jika ikan tersebut mati.
Mengibaskan tangan, mengusir Utami, Nara meletakkan piring dengan sisa secuil tiramisu dan gelas kosong bekas dalgona coffee lezat buatan asisten kepercayaannya, Nara lantas merebahkan tubuh, dan menikmati waktu rebahannya yang selama 24 jam penuh menjadi miliknya seorang diri. Siapa sih manusia yang begitu luang tanpa pekerjaan apapun selain dirinya?
Ada. Pengangguran.
Tapi bedanya pengangguran di luar sana kan tak digaji. Beda dengan Nara. Uang bulanan lancar, kerjaan rebahan. Uuh siapa sih yang tak ingin menjadi dirinya?
Tak tahu saja jika Utami bahkan enggan menempati posisinya bahkan meski hanya satu hari saja.
Mulai terpejam, karena kantuk yang menjadi sahabat dekatnya menghampiri, membuai ia agar segera terlelap. Bunyi dering ponsel yang lupa ia matikan suaranya nyaris membuat Nara melompat kaget.
Langsung bangun untuk mengambil ponselnya di atas nakas, Nara mengernyit kala melihat nama Om Agung tertera di layarnya.
"Hal--"
"Nak ... Apa kabar?"
"Halo, om. Kabar baik. Om gimana? Sehat?" Menurunkan kaki ke lantai, duduk di sisi ranjang sambil menggoyangkan kakinya pelan, Nara mendengar jawaban Agung dengan senyuman tipis.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hold The Night
RomanceNara terpenjara dalam sangkar emas ciptaan Akira. Pria yang menikahinya lima tahun yang lalu ketika ia masih berusia dua puluh tiga tahun. Pernikahan yang tak seperti sebuah pernikahan. Lima tahun menjadi bagian dari keluarga Arundapati, ia diasingk...