17

13 3 0
                                    

___
__
_
EXCHANGED LOVE
...

"Ayah, sakit. Jangan pukuli Haechan, Yah!" pekiknya, ketika merasakan nyeri, perih dipunggung akibat dipukul ayahnya menggunakan ikat pinggang.

Bukannya berhenti, ayah Haechan terus memukulnya. "Sakit kamu bilang? Rasakan ini," Haechan mengerang kesakitan, dan ayahnya terus memukulnya.

"Sudah aku bilang, kalau kamu pulang harus bawa uang!" Haechan menjerit. Suaranya menggema disetiap sudut rumahnya.

Rasa panas, nyeri, perih, errr..rasanya Haechan tak sanggup lagi. Apakah ini alasan ibunya pergi, dan menikah lagi dengan orang lain? Tapi kenapa dia meninggalkan Haechan begitu saja?

Dia menangis. Tak peduli jika dianggap pecundang. Toh, menangis itu manusiawi.

Raganya disakiti berkali-kali oleh ayahnya, dan batinnya terluka karena ditinggal ibunya. Haechan rindu keluarga kecil, yang harmonis dulu.

Pandangan Haechan mulai kabur. Kepalanya serasa sangat berat. Perlahan, Haechan kehilangan kesadarannya.

Ayahnya yang tidak menyadari hal tersebut, masih tetap memukuli Haechan.

Merasa tidak mendengar suara jeritan, rintihan ataupun isak tangis, ayah Haechan berhenti memukulnya. Dilihatnya, Haechan tengah tak sadarkan diri. Dia berdecih, kemudian pergi entah kemana meninggalkan Haechan.

Ketika Haechan merasa ayahnya sudah pergi, dia bangun. Iya. Sebenarnya, tadi ia hanya berpura-pura saja.

Haechan duduk memeluk kedua lututnya, dan menangis terisak disana. Kenapa dia kehilangan keluarga bahagianya dulu? Kenapa ayahnya sering memukulnya, padahal dulu ia begitu menyayangi Haechan.

Apakah ini yang dinamakan ketidakadilan dunia?

Haechan menyeka jejak air matanya, kemudian bergegas pergi sebelum ayahnya kembali dan memukulinya lagi.

Haechan tidak tahu harus kemana, intinya, dia butuh tempat tenang. Sekarang, dia hanya bisa merasakan rasa sakit, entah itu sakit difisik ataupun dihati. Jalannya pelan, telinganya seksama mendengarkan riuhnya jalanan, namun kesedihan masih menerjangnya.

"Haechan!" Dirinya dipanggil, secara tak sadar dia menoleh pada sumber suara. Ternyata, yang memanggilnya  Jeno.

Haechan membuang muka, merubah ekspresi wajah sedihnya. Topeng bahagia, harus ia kenakan sekarang.

"Ngapain lo disini? Luntang-lantung, gak jelas kek dora." Kata Jeno, kemudian ketawa.

"Gak papa."

"Beneran? Bukan gara-garr...eh, lengan kiri lo kenapa? Biru gitu."

Haechan menoleh, dan mendapati luka lebam akibat pukulan ayahnya. "G-gak, gak papa. Gua pergi dulu ya, ada urusan."

Haechan memilih pergi, daripada Jeno terus bertanya.

Taman adalah tempat yang entah kenapa, Haechan suka kunjungi kalau lagi down kek gini. Disana, dia ketemu Dian.

"Lo kenapa Chan?" Haechan diam. Perlahan, air mata memenuhi pelupuk mata.

Sedetik kemudian, air matanya jatuh, Haechan menangis, dan berhambur memeluk Dian. "Gua gak sanggup Yan! Kenapa hidup gua kek gini? Hiks."

Dian terbawa suasana. Dia bisa merasakan, sakitnya yang dialami Haechan. Tanpa sadar, dia ikut menangis.

"Gak, gak boleh nangis. Haechan kan kuat?!" Dian melepas pelukannya, dan memegangi kedua bahu Haechan.

"Tapi, gua sakit Yan."

Exchanged LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang