12 - Curahan Hati

856 100 37
                                    


Happy Reading

Badrun dan Chika baru saja selesai makan malam. Chika belajar masak sup memakai bumbu instant. Sayuran dimasukkan hanya wortel, daun bawang, dan bakso. Ia pelajari dari sebuah tutorial di yutub. Hasilnya lumayan, meski wortelnya belum matang benar. Masih ada kres kres ketika digigit. Tapi Badrun dan Chika tetap makan. Tak ketinggalan beberapa potong gorengan, penambah karbohidrat dan kerupuk biar makin kenyang.

"Besok aku mau belajar masak lagi," Chika bersemangat. Berbinar - binar. Ia dan Badrun duduk bersandar di tembok. Ditemani hembusan kipas angin mini.

"Mau bikin apa? Biar aku beliin bahannya."

"Bubur kacang ijo."

"Tapi harus mateng ya. Kalo wortel kan masih bisa digigit. Bubur kacang ijo ga mateng kayak makan kerikil..." Badrun tersenyum.

"Ah, Badrun mah ngeledek terus..." Chika menyenggol lengan Badrun dengan bahu ya.

"Dalam rangka apa belajar masak?"

"Ya mau belajar aja. Daripada bengong di rumah. Masak yang gampang - gampang aja. Murah meriah."

"Chika mau kuliah jurusan masak?"

"Menurut Badrun aku harus masuk itu?"

"Aku nanya aja. Minat kamu kemana?" tanya Badrun. Arah matanya serius menghadap Chika. Ingin tau pikiran anak itu tentang masa depannya. Walaupun saat ini, belum dapat mewujudkan apa yang Chika impikan.

"Aku mau masuk fakultas hukum. Kalo aku lulus bisa bantu orang - orang yang butuh bantuan hukum. Bikin lembaga bantuan hukum. Terutama buat perempuan yang ka de er te."

Badrun terperangah dengan niat baik gadis abege ini. Pemikirannya sudah jauh ke depan. Merencanakan apa yang akan ia raih di masa datang. Terlepas dari latar belakang keluarganya yang tentu mampu mewujudkan impiannya. Chika memiliki empati yang tinggi terhadap sesamanya. Ia memang dari keluarga beruntung, tapi keberuntungannya akan ia manfaatkan untuk saling membantu sesama. Walau kesemuanya masih dalah rencana. Setidaknya Chika telah memiliki jalan mulus yang akan ia tempuh kelak.

"Apa yang bikin Chika mau masuk hukum selain alasan tadi?"

"Aku pernah tanya sama guru home schoolling aku tentang cara membantu sesama secara sosial. Kata dia, mau jadi apa juga bisa. Tapi aku mau yang ilmunya bisa aku pakai secara langsung buat bantu orang."

"Terus?"

"Dokter, masuk ke pelosok dan daerah terpencil bantu masyarakat pedalaman. Atau buka klinik gratis. Semacam gitu lah kata guru aku. Pengacara, mendirikan klinik hukum gratis, pendampingan hukum untuk orang ngga mampu."

"Guru kamu bilang gitu?"

"Iya. Chika masih inget dia ngomong itu."

"Hebat lho, Chika masih delapan belas tahun tapi punya niat besar dan hebat. Andai Badrun bisa biayain Chika kuliah ya!"

"Badrun!!" Nada bicara Chika meninggi. Ia marah. Badrun terhenyak. Ia menegakkan badannya dan menghadap Chika.

"Badrun salah ngomong ya?" Alis Badrun menaik.

"Chika paling ngga suka Badrun ngomong gitu!" Dari emosi, ia tiba - tiba melankolis. Menangis, menyandar di bahu Badrun, tangannya memeluk lengan Badrun. "Aku bukan beban, jangan jadiin Chika beban. Badrun jangan berandai - andai ngga bisa ini itu tentang Chika. Aku ngga akan minta apapun sama Badrun. Aku dikasih tinggal di sini udah seneng. Bahagia. Terima kasih. Bersyukur ditolong sama Badrun." Tangisnya pun menghambur, kepalanya merosot ke pangkuan Badrun.

"Iya, iya. Badrun minta maaf." Tangannya mengusap lembut puncak kepala Chika. Perlakuan Chika seperti ini yang membuatnya semakin menyayangi anak gadis yang sedang beranjak dewasa ini.

Niat Badrun baik, hanya penyampaiannya terkesan seolah membebani dirinya ingin membahagiakan Chika dengan cara yang sebenarnya sulit Badrun raih. Kadang dengan sedikit berkhayal, bisa sedikit meringankan pikiran walau bertolak belakang dengan realitas dan kerasnya kehidupan.

Badrun dan Chika pindah di dalam kamar, Chika tiduran di paha Badrun, berat dan pegal. Apa boleh buat, Chika senang sekali dimanja seperti posisinya sekarang. Mengingatkannya pada kebiasaan di rumah saat bersama Ibunya. Tangan Badrun ditugasi membelai rambutnya dari kening menelusur ke belakang, merapikan rambut di sisi wajah sekaligus memulas pipi Chika dengan telapak tangan.

"Badrun bo-leh curhat ng-ga?" Badrun ragu - ragu mengatakan itu. Belum pernah rasanya ia mengatakan hal itu. Ia melihat tatapan mata dan anggukan kecil Chika yang mengizinkan agar ia melanjutkan.

"Boleh..."

"Badrun ngga punya adik. Dulu pengen punya adik tapi perempuan. Ternyata belum dikasih. Eh, sekarang udah segede gini ketemu Chika. Seneng. Bisa kasih uang jajan ke Chika, nyuapin, masakin. Nyenengin hati Chika dengan segala keterbatasan Badrun. Bukan Badrun membebani diri ya, yaa mau bahagiain Chika masa ngga boleh. Jadi kemampuan Badrun ya berandai. Buat nyenengin diri..."

"Terus, Drun?"

"Badrun juga belum pernah punya pacar dari SMP, SMA."

"Badrun ganteng lho, masa ga ada cewek suka?"

Badrun tak kuasa menitikkan air mata. Chika mengusap air mata itu memakai jemarinya. Kali ini ia membiarkan Badrun menangis. "Badrun anak orang miskin, Chik. Mana ada cewek yang mau sama orang ngga punya. Yang biasa - biasa aja ngga mau apalagi yang cantik. Selama tiga tahun sekolah, Badrun boncengan motor sama temen. Untung dia ngertiin. Badrun kerja di toko Bapaknya. Kalo Badrun punya pacar, mau dijajanin pake apaan?" Badrun tertawa kecil.

Ia kemudian melanjutkan ceritanya setelah air matanya dihapus Chika.

"Kerja jadi satpam pun ditolong dia. Ada sodaranya kerja disitu. Ya udah aku diterima, padahal ngga pengalaman sama sekali. Dari kerja, Badrun bisa nabung beli motor butut itu. Di tempat itu juga ketemu Mira. Seneng sama dia. Tapi, cuma kagum aja."

"Kenapa, Drun?"

"Dia mahasiswi, lagi nyelesain skripsi. Mau deketin ya minder. Ga setara. Malu. Badrun tau diri. Eh, waktu dia mau pulang bolak balik di cancel sama ojol, Badrun tawarin ajak pulang naik motor. Sejak itu Badrun jadi tukang ojeknya. Asal tetep deket sama Mira."

"Kak Mira tau Badrun suka sama dia?"

Badrun menatap mata jernih gadis dipangkuannya. "Chika jangan marah dan salah paham dulu ya."

"Chika janji."

"Beberapa hari yang lalu, dia bilang suka sama Badrun. Dia cerita semua. Sayang sama Badrun walaupun aku satpam. Aku juga sayang sama dia. Kayak aku sayang sama Chika."

"Badrun pacaran sama dia?"

"Kita ngga bilang pacaran. Dia seneng, aku seneng. Ya udah jalanin aja. Status ngga begitu penting juga sih. Yang penting udah tau sama tau."

"Drun, kalo Chika sayang sama Badrun gimana?" Chika bangun darin pangkuan lelaki dihadapannya. Matanya memandangi Badrun dari samping.

"Memang sayang kan?" Lirikan Badrun sekedar memberi perhatian pada lawan bicara.

"Bukan sayang sebagai adik ke kakak."

"Jadi?"

"Chika mau jadi pacar Badrun. Badrun suka kan sama Chika?" Kedua bola mata Chika lurus tajam menatap pria itu. "...Jangan terpaksa. Kalau Badrun juga punya perasaan yang sama, ya akui. Kalau ngga, ya bilang. Jangan pura - pura. Chika ngga akan marah kalau Badrun mau jujur."

Hembusan nafas berat itu terdengar jelas sebelum kata - kata Badrun berlanjut dengan pelukan dari Chika. Mesra. Dan saling tatap penuh kasih.

"Badrun suka dan sayang sama Chika. Badrun akan jaga Chika sampai kapanpun."

°°°

Tbc

Klik vote

Bidadari Badung 2 [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang