24 - Lost

1.1K 86 28
                                    


Happy Reading

Setiap manusia memiliki benteng dirinya masing - masing. Ada yang terlihat kokoh namun pondasinya rapuh atau terlihat rapuh secara fisik, tapi sebenarnya lebih kuat. Benteng ini diperlukan setiap individu ketika mengalami dan mengatasi sebuah masalah dalam lingkup kehidupannya. Baik yang ringan sampai berat. Ada yang sanggup mengatasi sendiri, ada juga yang memerlukan bantuan orang lain menghadapinya.

Dari perbedaan kekokohan ini, maka tingkat stress manusia dapat memengaruhi kinerja tubuh. Stress disebabkan pikiran dan perasaan yang mendera otak manusia. Stres adalah reaksi tubuh ketika seseorang menghadapi tekanan, ancaman, atau suatu perubahan. Seseorang biasanya mengalami stres ketika masalah yang terjadi lebih besar dari kemampuannya untuk mengatasinya. Stres bisa bersumbernya dari lingkungan sekitar. Hal ini bisa mencakup trauma, pengalaman hidup, atau masalah sehari-hari. Bisa juga bersumber dari dalam diri kita sendiri dan merupakan jenis stres yang paling umum.

Badrun adalah contoh seseorang yang terlihat kokoh, tapi ternyata begitu rapuh dan down menghadapi masalahnya. Begitu mendadak ia harus kehilangan merelakan kepergian Chika. Seperti sembilu yang teramat menyayat luka teramat dalam. Perih dan pedihnya tak terhingga.

Ia tergeletak terduduk di kamarnya menangisi Chika. Memeluk pakaian Chika yang semalam dipakai. Ia ciumi jejak aroma keringat tubuh Chika yang tertinggal di pakaian itu. Ponsel milik Chika yang tertinggal pun tak luput dari 'ritual' Badrun. Dipandangi galeri foto yang penuh foto selfie Chika. Dilihatnya dalam modus slideshow, ia tersenyum, tertawa, lalu tiba - tiba menangis pilu, terdiam, berbicara sendiri. Mira pun begitu terpukul mendapati kondisi Badrun yang mendadak berubah. Bisa dibilang ia kehilangan dua orang, sosok Chika dan Badrun. Sampai Mira tak sanggup lagi menangis melihat Badrun. Ia coba untuk bersikap tegar. Jika ia ikut larut, maka tidak ada lagi yang dapat menolong.

"Drun, makan yuk?" ajak Mira mengelus punggung Badrun.

Yang diajak bicara menggeleng, tatapan matanya kosong, tak ditatapnya mata Mira. Ia tak menemukan Badrun yang ia kenal di sana.

"Chi-ka ma-na?"

Mira tak bisa menjawab, tak sanggup. Dadanya terasa sesak. Ia juga terluka. Tidak bisa dan tidak menghubungi keluarga Badrun yang mana. Mira sendirian. Ia juga punya kesibukan, tapi tidak tega meninggalkan Badrun sendirian. Ia mendekap erat Badrun, menahan sekuat tenaga air matanya agar tidak jatuh dihadapan lelaki itu. Badrun jadi tak mengenali Mira. Ucapan bibirnya hanya Chika, Chika, Chika, dan Chika.

Satu suap bubur pada akhirnya berpindah ke mulut Badrun. Sejak siang sampai malam ia tidak mau makan. Tentu sangat lapar, walau sambil makan tetap memeluk dan membelai pakaian Chika. Wajah Badrun pucat dan kuyu karena seharian menangis. Ia sudah memutuskan sesuatu untuk Badrun.

°°°

"Aku mau dibawa ke mana?" tanya Badrun saat kedua tangannya digenggam dua pria berpakaian putih di rumahnya. Mereka penuh senyum dan ramah mengajak Badrun beranjak dari tempat tidurnya yang penuh dengan pakaian. Lelaki itu meringkuk bermandikan setumpukan pakaian yang ia keluarkan semua dari dalam lemari milik Chika. Bahkan shampo dan parfum Chika ia endus. Karena hanya dengan cara itu Badrun bisa mengobati kerinduannya.

"Mau nyusul Chika. Mau kan?" Mira sebenarnya berat mengucapkan itu. Ada ketidaktegaan menghadapi semua ini. Seperti menyeret tahanan yang hendak dimasukkan ke dalam sel. Badrun sempat menolak, dan baru mau keluar dari rumah setelah diperbolehkan membawa beberapa pakaian milik Chika, terutama pakaian terakhirnya yang waktu itu belum sempat dicuci.

Badrun dimasukkan ke dalam mobil Mira, ia duduk di belakang diapit dua perawat tadi.

"Chi-ka di mana?" tanya Badrun.

Mira menarik nafas panjang, "Di rumah sakit."

"Chika sakit?"

Mira menggeleng, "Kamu yang lagi sakit, harus diobatin. Chika nungguin di sana."

"Tapi aku ngga sakit kok? Nih coba nih pegang kening aku." Badrun mengangkat satu tangan si perawat dan diletakkan di keningnya. "Tuh tuh, ngga panas."

"Iya, Badrun ngga sakit panas. Mau ya berobat? Kasian Chika nungguin," jawab Mira lirih.

Badrun menganggukkan kepalanya, senyumnya tersemat di bibirnya. Ia mendekap pakaian Chika di pipinya, dan diayun - ayun seperti menimang bayi.

Mobil Mira meninggalkan daerah rumah Badrun perlahan - lahan, menembus kemacetan Jakarta. Keadaan lalu lintas sore itu seperti pikiran Mira, penat. Teramat sayang dirinya pada lelaki itu. Sosok yang ia kenal sangat dan selalu sabar. Tidak pernah neko - neko. Supel. Jika tak mengenal Badrun, ia pasti sudah berada dalam dekapan Gito. Tanpa Mira sadar, air matanya meleleh. Tak sanggup ia tahan. Badrun tertidur di belakang sana seperti Chika yang manja.

°°°

"Dia shock. Tidak bisa menerima kenyataan yang baru saja ia hadapi. Dia beruntung, ada kamu yang segera membawanya kemari sebelum semuanya terlambat dan jauh lebih sulit ditangani," ujar seorang dokter pria di koridor rumah sakit di depan sebuah kamar rawat.

"Artinya ada kesempatan untuk sembuh total?"

"Mudah - mudahan segala sesuatunya berjalan dengan baik, Mir. Kita sebagai tenaga medis, pasti berusaha keras. Dan kita juga butuh dukungan dari diri pasien untuk kembali sehat dan tentu orang - orang di sekitarnya yang men-support-nya. Kita berdoa sama - sama ya?" Dokter lalu tersenyum, mengelus lengan Mira. Menenangkan gadis itu yang terlihat tegang.

"Terima kasih banyak, Dok. Sekali lagi terima kasih." Mira menyalami Dokter Firman. Begitu nama yang tertulis di name tagnya. Setelah dokter berlalu, Mira masuk ke dalam kamar rawat Badrun. Lelaki itu sudah bersih dimandikan, berganti pakaian, dan terlihat ganteng seperti biasanya Mira rutin setiap berkunjung ke rumahnya.

Mira duduk di tepi tempat tidur, membelai perlahan rambut Badrun. Dengan punggung tangannya mengusap pipi lembut Badrun yang tirus dan kurus. Dibiarkannya lelaki itu tetap memeluk dan mengendus kesukaannya. Dokter bilang, perlahan - lahan akan hilang sendiri kebiasaannya sejalan dengan pengobatan dan terapi yang dijalankan. Sekarang, benda - benda milik Chika seperti candu. Aromanya, baunya yang semakin hari tentu tidak sedap, wangi parfum dan shampo yang merepresentasikan wangi rambut Chika. Badrun sudah nampak tenang. Bisa jadi suasana rumah sakit terasa nyaman baginya. Hangat, karena banyak yang memperhatikannya, mengajaknya berbicara.

"Kamu pernah berjanji akan menyayangi aku dan Chika. Dan kamu sudah melakukan semua hal yang membuatku juga tidak akan bisa meninggalkanmu. Kasih sayang kamu, perhatian kamu, ketulusan kamu." Mira mengecup kening Badrun.

"Tolong izinkan aku membalas semua yang telah kamu hadirkan dalam hidup aku, Drun. Aku ingin kamu sembuh dan sehat seperti dulu. Aku sayang sama kamu. Sayang sekali," bisik Mira di telinga lelaki itu lamat - lamat. Berharap kata - kata itu masuk dan menyentuh kalbunya.

Belaian jemari lentik Mira, lambat laun direspon terpejamnya mata Badrun. Genggaman tangannya mengendur dan terkulai lemas di sisi kiri tubuh Badrun. Tangan Mira berganti menelusup ruas jemari Badrun. Lelaki itu sudah tenggelam dalam lelap dan terbang ke alam mimpi. Dikecupnya punggung tangan berkulit putih itu.

"Cepet sehat ya sayang."

°°°

Tbc

Klik vote

Bidadari Badung 2 [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang