23 - Evanescence

1.9K 82 13
                                    


Happy Reading

Chika dan Badrun terbaring di atas tempat tidur berhimpitan. Badrun mendekap dan menjaga tubuh Chika agar tidak kedinginan dan tetap hangat dalam cuaca hujan yang deras sejak pukul delapan malam. Dalam selimut yang melindungi tubuh telanjang mereka, Badrun tak dapat tidur. Sesekali ia menciumi aroma wangi rambut Chika yang ia sukai.

Baru kali ini ia overthinking. Pikirannya menerawang apa yang kira - kira akan ia alami nanti bersama Chika. Ia tau, tentu sangat mengetahui ketika hubungan seks ini terjadi, Chika sedang dalam masa subur. Dimana kemungkinan hamil dapat terjadi. Dan jejak pikirannya akan bermuara pada kehamilan Chika nantinya. Tentu Badrun tidak akan menyangsikan jika kelak Chika hamil dan melahirkan. Lalu apa masalahnya? Mereka belum menikah, bagaimana mereka bisa menikah jika tanpa ada wali dari pihak Chika. Dan yang paling rumit, mereka berbeda keyakinan. Salah satu hal penting yang mendasar.

Ia telah siap bertanggung jawab jika itu semua terjadi. Bahkan andai Chika tidak mengalami kehamilan pun ia selalu senantiasa menyayangi Chika. Setiap perempuan dalam keadaan yang sama seperti Chika, tentu berharap lelakinya akan selalu berada di sisinya. Menenangkan, memanjakan, membisikkan kata - kata mesra yang membuai, memperlakukan bak anak kecil yang membutuhkan perhatian lebih.

Sepanjang pagi itu mereka hanya berdiam diri di atas tempat tidur, berbaring, berbicara satu sama lain, saling canda, cubitan gemas, elusan telapak tangan di pipi, belaian rambut. Chika tak sanggup beranjak, ia masih merasakan nyeri di kemaluannya. Jejak darah keperawanan Chika yang menghampar kering di seprai ditutupi memakai sarung.

"Kamu ngga kerja hari ini kan?" tanya Chika.

"Iya, mbolos. Kena potong gaji nih."

"Badrun sih nakal," tutur Chika manja. Mencubit hidung Badrun.

"Ya mau nakalin Chika kan? Masa masuk kerja," bisik Badrun, menepikan rambut Chika yang menutupi wajah cantik Chika.

"Genit ah," Chika mengecup dada bidang Badrun.

Badrun menciumi puncak kepala Chika yang wangi. "Nanti siang Kak Mira dateng loh."

"Kak Mira ngga kerja juga?"

"Ada keperluan di kampusnya pagi - pagi. Pulangnya baru ke sini. Masak - masak lagi," ujar Badrun.

Sejak semalam hingga pagi itu, mereka hanya melakukan satu kali. Sekuat apapun nafsu yang menggelayuti keduanya, Badrun tidak akan pernah berhubungan seks lagi dengan Chika sampai ia benar - benar dalam ikatan pernikahan yang sah. Pertama kali artinya proses menyerahkan atas nama cinta dan sayang. Jika kedua kali maka namanya sudah nafsu dan seterusnya.

"Drun."

"Iya, Chik."

"Kalau aku hamil?" tanya Chika.

Badrun mengelus lembut pipi Chika, dan mendekatkan wajahnya hingga sejengkal. "Aku memang miskin, bodoh. Tapi aku bukan pengecut. Badrun sadar apapun bisa terjadi. Aku akan bertanggung jawab, seberapapun berat aku harus menanggung. Aku tidak akan pernah membuat kamu menangis karena menyesal atau sakit hati." Jarang wajah mereka mendekat, hingga kening mereka menyatu. Kedua mata saling bertatapan tajam. Melirik manik coklat dan hitam mereka. Mendalami alam pandang masing - masing, menerka apa yang mereka pikir dan katakan.

"Aku laki - laki. Pantang bagi aku berpaling dan lari dari kenyataan dan tanggung jawab. Aku tidak minta kamu percaya, tapi aku minta kamu melihat. Melihat aku melakukan yang terbaik untuk kamu. Jika kamu menangis, Chika harus menangis bahagia. Ini takdir. Dan sebuah takdir harus dijaga dan dijalankan sebaik mungkin," tutur Badrun. Seketika isi hatinya keluar semua. Ungkapan perasaan sikap seorang lelaki sesungguhnya. Dalam ketegasan kata - kata dan intonasi penuh keyakinan. Sulit rasanya menemukan dusta di antara tatapan mata dan kata - kata Badrun.

Bidadari Badung 2 [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang