Kini bel istirahat berbunyi nyaring, membuat seluruh siswa berhamburan dan segera menuju tempat surga bagi mereka. Yap, apalagi jika bukan kantin, sebenarnya tanpa bel pun mereka sudah ramai menuju kantin. Namun, berbeda bagi murid teladan, jika bel sudah berbunyi mereka baru akan menyerbu kantin, sama hal nya kini dua orang gadis dan dua lelaki berjalan beriringan menuju kantin.
Saat sampai di pintu kantin, seluruh pandang mata teralihkan pada mereka. Banyak yang menatap kagum pada Aksa, Vina, dan Feby. Meskipun Vina murid baru tetapi dirinya langsung tenar berkat keberanian yang ia miliki, sementara Damar? Dia dianggap tidak pantas masuk dalam perkumpulan itu, bagi mereka Damar adalah cowok yang patut dijauhi. Tak memusingkan hal itu, mereka terus berjalan dan mencari tempat duduk, Dan dapat di ujung kantin, yang tampak sepi, yah lumayan lah dari pada jadi pusat.
"Eh kalian mau pesen apa?" tanya Feby saat mereka sudah duduk.
"Bakso aja sama es teh," jawab Vina.
"Yang lain?"
"Samain aja Feb, dari pada ribet," sahut Aksa.
"Yaudah kalau gitu gue pesen dulu, eh Sa, temenin gue yuk. Masa lo tega biarin gue bawa pesenan banyak," bujuk Feby.
"Iya, iya" putus Aksa mengalah dari pada mereka ribut dikantin.
Entah apa yang mereka makan tadi pagi hingga membuat dua orang yang bisanya berantem layaknya tom&jerry kini mereka malah sebaliknya, hanya Tuhan yang tahu.
Selepas kedua sejoli itu pergi untuk memesan makanan, keadaan pun hening, Vina sibuk bermain handphone. Sementara Damar ia hanya menunduk sambil mencoba melihat sekitar. Vina yang bosan, akhirnya berucap memecah keheningan.
"Damar, gue mau nanya boleh?" tanya Vina seraya meletakan ponselnya di atas meja kantin.
"Bo-boleh, mau nanya apa Vin?"
"Em... Kalau gue boleh tau, alasan Kavin sama temen-temennya bully lo apa?" tanya Vina kepo.
"Aku juga kurang tau pasti, kemungkinan besar sih karna aku lemah," jawab Damar.
"Lo gak pernah coba buat ngelawan gitu?"
Damar menghembuskan napasnya berat. "Aku pernah ngelawan, tapi hasilnya aku malah di pukul habis-habisan. Mungkin waktu itu kalau gak ada Aksa yang nolongin, bisa aja nyawa aku melayang," jawab Damar. Pikirannya kembali melayang pada kejadian dua tahun yang lalu, saat dirinya mencoba menentang Kavin, saat dirinya di pukuli habis-habisan, dan saat Aksa datang sebagai pahlawan.
Vina sedikit terkejut mendengar jawaban Damar, kemana orang-orang saat Damar dipukuli? Kenapa hanya Aksa yang menolong damar?
"Terus setelah itu apa yang terjadi? Lo ngadu gak sama guru perihal ini?"
"Percuma, aku pernah ngadu ke guru dan kamu tahu apa yang terjadi?"
"Apa?" tanya Vina penasaran.
"Kavin dihukum, tetapi keesokan harinya guru yang menghukum Kavin di pecat. Dari kejadian itu gak ada lagi guru yang nolong aku, karena mereka takut di pecat. Dan aku juga gak mau membuat orang kehilangan pekerjaannya gara-gara nolong aku." Lagi-lagi jawaban Damar membuat Vina tercengang, yah, sultanmah bebas, sesalah apapun dia tetep aja di lindungi.
"Btw, lo gak cape apa di bully mulu? Gue yang dengernya aja cape." Vina terus bertanya.
"Cape, tapi yah gimana mau ngelawan aku gak sanggup."
"Emangnya lo gak mau belajar beladiri? Kan kalau lo bisa beladiri, lo gak akan dibully lagi."
"Yaelah Vin, percuma lo nanya gitu Damar gak akan mau ikut beladiri," sambar Aksa yang mendengar pertanyaan Vina.
Lalu ia menaruh nampan berisi bakso dan teh di atas meja, di ikuti oleh Feby.
"Kok lo ngomong gitu sih, Sa?" tanys Vina seraya menatap aksa heran.
Sebelum menjawab pertanyaan Vina, Aksa duduk terlebih dahulu di bangkunya.
"Gue udah sering ajak dia buat ikut gue latihan, hasilnya nihil dia gak akan mau apapun alasannya," ujar Aksa.
"Why?" Vina kembali mengalihkan pandangannya pada Damar.
"Karena aku harus belajar," jawab Damar. Belajar, belajar, belajar dan belajar, itulah yang tertanam dalam diri Damar, tidak ada yang lebih penting dalam hidupnya selain belajar.
"Lah latihan beladiri juga kan belajar, sama-sama mencari ilmu," sahut Feby yang sedari tadi hanya diam menyimak.
Sebenarnya Feby termasuk dalam orang-orang netral, tidak membela Damar tidak juga mendukung Kavin. Feby lebih memilih bodo amat, meskipun terkadang ia juga merasa kahisan terhadap Damar.
"Iya, tapi kan dalam konteks yang berbeda," jawab Damar.
"Tapi Mar, itu demi kebaikan lo juga loh," sahut Vina.
"Mungkin aku akan terlepas dari penderitaan yang Kavin lakukan, tapi justru aku akan lebih menderita karena hal yang berbeda. Aku gak mau buat masalah," jawab Damar datar. Jawaban yang terdengar ambigu.
Vina, Aksa, maupun Feby mereka tidak terlalu paham dengan jawaban Damar, dalam benak masing-masing, mereka bertanya-tanya hal berbeda apa yang membuat Damar menderita? Memangnya ada hal lain yang membuat Damar menderita selain bullying?
Pembahasan kali ini di cukupkan sampai di situ, Vina tidak lagi bertanya karena ia memahami gestur Damar, sepertinya lelaki itu tidak nyaman dengan pertanyaan yang ia lontarkan.
Sampai akhirnya jam istirahat habis, mereka kembali ke kelas masing-masing, kembali melanjutkan kegiatan belajar mengajar yang begitu membosankan.
***
Vespa yang di tumpangi Damar keluar dari area sekolah, ini sudah saatnya pulang. Damar berkali-kali menghela napas ketika mengingat kejadian tadi siang di kantin.
Setelah beberapa menit di perjalanan, Damar mulai memasuki area rumahnya. Rumah yang begitu megah.
Damar merupakan anak bungsu dari dua bersaudara, ia tinggal bersama orang tuanya, karena kakaknya sudah memiliki rumah sendiri.
Lelaki berperawakan sedang itu menyalami tangan sang Mommy.
"Gimana sekolah kamu?" tanya sang Bunda.
"Baik, Mom," jawab Damar.
"Ingat ya Damar, jangan bikin masalah, tugas kamu itu cuman belajar, biar kamu bisa sukses seperti kakak kamu," ujar Mommy nya. Damar hanya mengangguk, ia terlalu muak mendengar kata-kata yang selalu ibu dan ayahnya ucapkan. Kemudian, Damar langsung pergi ke kamarnya.
Lelaki yang memiliki sejuta impian dan seribu keinginan itu harus terpaksa menenggelamkan semua impian dan keinginannya karena permintaan orang tua yang tidak bisa dibantah.
Orang tua Damar menginginkan Damar sukses dalam bidang kesehatan, bahkan mereka sudah merencanakan akan membangunkan Damar rumah sakit jika lelaki itu benar-benar menjadi dokter, padahal cita-cita Damar bukan itu, ia sama sekali tidak ingin menjadi dokter, perawat, atau yang lainnya.
Semua yang Damar lakukan sekarang adalah atas kemauan orangtua, bukan murni kemauan dirinya sendiri. Damar melakukan apa yang harus ia lakukan, bukan apa yang ia inginkan. Damar hidup dalam aturan, Damar hidup dalam tekanan.
Tidak ada orang tua yang tidak menginginkan anaknya bahagia, tetapi kadang orang tua lupa bahwa setiap orang memiliki pandangannya sendiri, terkadang bahagia menurut anak dan bahagia menurut orang tua itu berbeda. Seharusnya para orang tua memahami hal itu, agar mereka tidak membuat anak menderita dengan berlindung di balik kata ini demi kebaikan kamu.
Damar bahagia jika dia terlepas dari semua beban yang ia pikul, Damar bahagia jika ia bisa melakukan hobinya tanpa takut di marahi orang tua, Damar bahagia jika ia terbebas dari semua tekanan yang ada. Damar bahagia jika ia bisa menjadi dirinya sendiri, sesungguhnya menjadi orang lain adalah hal yang tidak menyenangkan.
~Tbc~
KAMU SEDANG MEMBACA
Nerd Boy
Teen Fiction"Eh cupu, Kerjain nih tugas gue! " perintah Kavin. Damar yang menerima perintah hanya diam sambil menganggukan kepalanya patuh, ia terlalu takut untuk melawan. "Denger gak lo?! " bentak Kavin. "I ...ya gue denger," jawabnya gugup. "Sekalian juga...