𝐁𝐚𝐭𝐚𝐯𝐢𝐚, 𝐇𝐢𝐧𝐝𝐢𝐚 𝐁𝐞𝐥𝐚𝐧𝐝𝐚, 𝟏𝟗𝟎𝟑.
❝Semua tentangmu adalah pesona, Nona. Sebuah puisi yang lebih nyata dari ilusi.❞ ~ Carel Arthur van Mook, 1903.
Ini bukan hanya kisah tentang Himeka, gadis dari tahun 2020 yang gagal m...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
❝Fill your paper with the breathings of your heart.❞
-𝑾𝒊𝒍𝒍𝒊𝒂𝒎 𝑾𝒐𝒓𝒅𝒔𝒘𝒐𝒓𝒕𝒉-
-ˋˏ ༻✧༺ ˎˊ-
Seharusnya Alma paham bahwa semesta beserta takdir yang mengatur alur untuknya adalah jauh dari kata masuk akal. Seharusnya ia juga paham bahwa tidak ada yang bisa dilakukan selain memainkan peran yang semesta berikan untuk drama kehidupan satu ini.
Tapi setiap kali Arthur berhasil memorak-porandakan hatinya, seolah akal sehatnya pergi semakin jauh. Alma sadar akan menjadi hal yang lebih gila lagi jika ia sampai menyadari bahwa Arthur adalah tersangka utama mengapa pipinya sering bersemu padam akhir-akhir ini.
Mungkin masih bisa dimengerti untuk menerima suatu fakta di luar logika bahwa Arthur adalah satu dari sekian banyak orang yang berlakon dalam permainan yang telah semesta siapkan untuk Alma. Tapi menerima fakta bahwa secara tak sadar Alma kerap kali tersenyum saat melihat wajah Arthur adalah hal yang tidak bisa ditoleransi.
Sebenarnya sudah cukup rumit bagi Alma menerima kenyataan ia terlempar kembali ke masa lalu tanpa alasan ilmiah yang jelas. Bertambah rumit saat Arthur terlalu sering berimprovisasi di luar dialog yang telah tertulis dalam naskah semesta.
Alma terlalu sibuk dengan satu demi satu pertanyaan gila yang tak kunjung mendapatkan jawaban, sampai tak sadar bahwa ia telah memasuki halaman griya Arthur. Kaget sekaligus lega saat Reksa tiba-tiba berlari ke arahnya lantas memeluk erat tubuhnya.
"Bodoh, kau dari mana saja?!" tanya Reksa setelah ia melepaskan pelukannya.
Alma lantas tersenyum tipis dan mengacak sembarang rambut Reksa yang hitam legam. Tawa kecilnya mengudara saat melihat mata Reksa yang terlihat sembap, seperti baru saja menangis.
"Kau menangis?"
"Aku takut kau tak kembali," lirih Reksa dengan kepala tertunduk. "Aku takut kau meninggalkanku sendiri di Batavia yang gila ini."
"Aku baik-baik saja, Sa. Serius," kata Alma tenang.
"Lututmu terluka," komentar Reksa. Matanya memandang lutut Alma yang dibalut robekan kemeja Arthur. "Setengah tidak percaya seseorang sepertimu mampu berjalan tanpa alas kaki dan tidak mengeluh, ckkk ...."
"Butuh ruang?" tanya Arthur. "Kurasa sebaiknya aku ke dalam dan mengambil kotak obat."
"Tidak perlu," tolak Alma cepat. "Akan aku obati sendiri. Kau tidak perlu repot-repot."
Arthur mengedikkan bahu, lalu mengangguk pelan. Laki-laki bertubuh jangkung itu berjalan memasuki griya, meninggalkan Alma dan Reksa di teras bersama dengan angin malam yang meninggalkan harmoni.