𝐁𝐚𝐭𝐚𝐯𝐢𝐚, 𝐇𝐢𝐧𝐝𝐢𝐚 𝐁𝐞𝐥𝐚𝐧𝐝𝐚, 𝟏𝟗𝟎𝟑.
❝Semua tentangmu adalah pesona, Nona. Sebuah puisi yang lebih nyata dari ilusi.❞ ~ Carel Arthur van Mook, 1903.
Ini bukan hanya kisah tentang Himeka, gadis dari tahun 2020 yang gagal m...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
❝Ragukan bintang itu api membara, ragukan gerak putar sang surya, ragukan kebenaran sebagai dusta, tak pernah kuragukan cinta.❞
-𝑾𝒊𝒍𝒍𝒊𝒂𝒎 𝑺𝒉𝒂𝒌𝒆𝒔𝒑𝒆𝒂𝒓𝒆-
-ˋˏ ༻✧༺ ˎˊ-
Jakarta, 2020.
"Jadi, kita harus mulai dari mana dulu?" tanya Alma.
Alma melepaskan jaket yang sempat membaluti tubuhnya. Kini hanya tersisa baju berbahan katun tipis yang biasa ia gunakan setiap kali latihan balet.
Sementara itu, Reksa kelihatannya sedang memikirkan sesuatu.
"Bagaimana jika kita mulai dari lukisan-lukisan yang berceceran di bawah? Dirapikan dulu, habis itu baru disapu."
Alma mengacungkan jempolnya. Lalu beralih kepada tumpukan lukisan usang yang tergeletak begitu saja di lantai. "Nanti siapa yang akan menyapu?"
"Alma Himeka Badra," jawab Reksa santai.
"Hah? Aku?!" tanya Alma tak percaya.
"Lalu siapa? Aku?" Reksa justru balik melemparkan pertanyaan dengan raut wajah kesal.
Alma mengembuskan napas kasar lewat hidungnya. Tentu saja tidak akan ada habisnya jika ia terus-menerus meladeni celotehan Reksa. Bersawala dengan laki-laki itu tak akan pernah menemukan ujung. Siapa yang tak tahu bahwa Reksa itu sosok yang tak mau kalah. Pantas saja sampai detik ini belum ada perempuan yang sudi jadi pacarnya.
Karena alasan itu lah, Alma hanya mengikuti instruksi Reksa. Gadis itu memungut beberapa benda rimpuh yang telah usang berserakan tak menentu di lantai penuh debu.
Mungkin sepeninggal kakek Reksa, ruangan ini tak lagi terurus dengan baik. Sesekali ia mencuri pandang terhadap lukisan yang ia bereskan, mengakui bahwa memang sebagian besar lukisan yang ada di sini benar-benar alap. Yah, meski pun tidak sedikit yang warnanya sudah pudar termakan waktu.
Alma berpikiran, mungkin lukisan-lukisan ini akan lebih sangkil jika dijual. Karena tentu saja, harga yang ditawarkan pasti tidaklah murah. Tapi agaknya tidak terselip sedikit pun niat untuk menjual lukisan-lukisan ini dalam diri Reksa, mengingat laki-laki itu mencintai seni lukis dan ugem untuk menjadikan ruangan ini galeri pribadinya.
Barang ia membereskan ruangan yang luasnya dua kali dari luas kamarnya ini, tiba-tiba ekor mata Alma tertuju pada sebuah lukisan berukuran sedang yang terpampang miring di tembok. Berada di daksina ruangan ini.
Warnanya telah memudar dengan debu yang menempel sempurna pada setiap senti dari lukisan tersebut. Ujung kanvasnya tak lagi utuh, pasti lah karena ulah rayap. Namun entah mengapa, lukisan tersebut seolah paling mencolok jika dibandingkan yang lain.