𝐁𝐚𝐭𝐚𝐯𝐢𝐚, 𝐇𝐢𝐧𝐝𝐢𝐚 𝐁𝐞𝐥𝐚𝐧𝐝𝐚, 𝟏𝟗𝟎𝟑.
❝Semua tentangmu adalah pesona, Nona. Sebuah puisi yang lebih nyata dari ilusi.❞ ~ Carel Arthur van Mook, 1903.
Ini bukan hanya kisah tentang Himeka, gadis dari tahun 2020 yang gagal m...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Life is not a storybook but life unfolds in chapters Turn the page and start to make amends There's no pre-written guarantee of "happily ever after"
0:35 ──o───────── -4:23
⇄ ◃◃ Ⅱ ▹▹ ↻
Semenjak sang waktu berkolaborasi dengan takdir semesta, membawa Reksa ke dimensi ruang dan waktu yang tak pernah ia sangka-sangka sebelumnya, pria tersebut menjadi sadar akan satu hal penting. Hidupnya berubah. Semenjak kakinya secara resmi menapak di tanah Batavia, ia bagai hidup dalam lingkaran kemungkinan.
Hidupnya seakan diatur oleh berbagai kemungkinan di luar nalar, lalu kemungkinan tersebut menjelma menjadi suatu garis lurus yang didekati oleh kurva lengkung dengan jarak yang semakin lama semakin kecil mendekati nol di jauh tak terhingga. Ya, kemungkinan yang lebih menjurus pada garis asimtot, tak hingga. Entah di mana akan berujung pada kenyataan.
Rumit memang. Semakin rumit saat ia belum menemukan alasan mengapa ia bisa berada di sini. Setidaknya alasan yang cukup logis untuk diterima akal sehat.
Namun, hari ini semesta membisikkan Reksa bahwa babak baru dalam permainan semesta akan segera dimulai. Kemudian lewat teriknya sang baskara siang ini, Reksa pun seolah terbakar semangat serta asanya untuk bisa menemukan jalan keluar, sebab secercah cahaya baskara mampu memberikan Reksa alasan untuk dapat terus berharap walau harapannya hanya berporos pada lingkaran maya.
"Mba Giselle dan Tuan van Mook belum kembali, ya?" tanya Gaia. "Apa tidak apa jika aku pulang tanpa pamit padanya? Rasanya tidak sopan, Mas."
Reksa menyungging seutas senyum. "Nanti aku sampaikan salammu," ucap Reksa. "Tiak apa-apa, mereka pasti mengerti."
"Kalau begitu, aku pamit dulu, ya, Mas? Nanti kapan-kapan, aku bawa apel lagi karena sepertinya Mas Reksa suka dengan apelnya," kata Gaia lembut.
Gaia membereskan keranjang rotannya, bersiap untuk meninggalkan griya Arthur yang luas. Namun, sebeluma gadis tersebut sempat meninggalkan ruangan ini, Reksa mencegatnya dengan memegang pergelangan tangan kiri Gaia.
"Kenapa, Mas?" tanya Gaia agak kikuk, sorotnya tertuju pada pergelangannya yang dipegang Reksa.
"Ah, maaf ...," ucap Reksa sedikit salah tingkah. Ia mengacak rambutnya sendiri tanpa alasan yang jelas.
"Ng-anu ... Mas, tangannya ...?"
"Ah, iya. Lu-lupa," kelakar Reksa semakin salah tingkah karena aksi kikuknya sendiri. Buru-buru ia melepaskan pegangannya terhadap Gaia, lantas kembali meminta maaf untuk beberapa kali dengan wajah agak padam.
"Aku pulang dulu kalau begitu."
"Tunggu, Gaia," sergah Reksa. "Anu ... a-aku mau bertanya sebentar, tapi itu pun kalau kau tidak sedang terburu-buru untuk kembali."