#22 ~ [ Kisah di Perpustakaan ]

5.1K 818 75
                                    

***

Jangan membuatku berada di antara keresahan ini. Cukup raguku saja.

🌾🌾🌾

Hiks, hiks, hiks ....

Ayesha meremas dadanya kuat, seolah ingin melampiaskan rasa sesak yang menerpanya. Sudah berulang kali memang papanya berkata kasar padanya, tapi entah mengapa kali ini Ayesha benar-benar tak siap. Ia seperti tengah berada pada fase terbawahnya.

Kedua mata yang terus mengeluarkan air mata itu mengerjap sesaat begitu pandangannya menangkap sebuah sapu tangan berwarna hitam. Ayesha mengangkat wajahnya, tubuhnya menegang begitu mendapati sosok lelaki yang akhir-akhir ini selalu membuatnya berdebar. Arsakha.

"Hapus air matamu, nggak baik menangis terus."

Suara berat itu seolah menghipnotisnya untuk berhenti menangis. Meskipun masih terdengar sesenggukan dari bibirnya. Sakha menggerakkan kedua matanya, memberi isyarat pada gadis itu untuk menerima sapu tangan yang masih terambang di udara.

Dengan perlahan, Ayesha meraihnya meski ragu. Setelahnya, gadis itu mengusap pelan pipinya yang basah akibat air matanya. Ayesha menunduk dalam. Di depannya, Sakha tersenyum tipis, sangat tipis. Entah Ayesha menyadarinya atau tidak.

Berdua di ruang diskusi yang tampak kosong ini jelas membuat kekhawatiran sendiri bagi Sakha. Jelas saja berdua di tempat sepi seperti ini dilarang dalam Islam. Tetapi, Sakha terpaksa nekad memasuki ruangan ini. Ia benar-benar tak tega melihat gadis ini kembali menangis. Apalagi suaranya begitu menyayat hatinya. Ada sesuatu dalam dirinya yang seolah melemparnya hingga dirinya merasakan sebuah kesakitan terpendam.

Menit pun berlalu, setelah dirasa telah benar-benar hening tanpa suara sesenggukan, Sakha duduk di kursi dengan meja melingkar seperti sebuah meja rapat. Ia gerakan kursi itu agar menghadap ke arah gadis itu. Sedangkan Ayesha tetap duduk di tempatnya. Di lantai pojok dekat rak kecil yang berisi beberapa kamus bahasa asing.

"Terimakasih," kata Ayesha pelan.

Gadis itu tak berani menatap wajah Sakha. Ia benar-benar malu. Sekali lagi, Sakha kembali memergokinya menangis. Ini lebih parah daripada yang pertama kali. Sakha tak menjawabnya, lelaki itu hanya mengangguk, padahal ia tahu Ayesha tidak akan melihatnya.

"Boleh aku berbicara sedikit?" tanya Sakha berhatih-hati.

Hal itu berhasil membuat Ayesha mengangkat wajahnya. Dengan kaku gadis itu mengangguk.

"Kalau merasa tidak kuat menahan semua ini, lebih baik kamu shalat. Lampiaskan semuanya kepada Allah. Aku yakin, pasti kamu akan tenang nantinya."

Ayesha menghela napasnya, apa yang dikatakan Sakha memang benar. Jika dirinya sedang kacau lebih baik ia ke masjid untuk shalat, berkeluh kesah kepada Sang Khalik. Tetapi dirinya malah memaksa diri untuk mengutamakan kebutuhan kuliahnya, padahal hatinya sedang gundah.

"Kak ... Apakah aku nggak terlahir untuk bahagia? hiks."

Pertanyaan penuh nada kepasrahan itu membuat Sakha menghela napasnya. Ia memang tak pernah berada di posisi gadis itu. Di mana dirinya tak pernah merasakan sebuah kasih sayang seorang ayah. Apakah seperti ini orang yang menjadi korban orang tuanya? Sungguh Sakha tak habis pikir dengan ayah gadis itu.

Sedangkam di sisi lain, entah mengapa bisa-bisanya Ayesha berkata seperti itu. Apakah kerapuhannya benar-benar membutuhkan sosok Sakha yang mulai berpengaruh dalam hidupnya? Tapi ....

"Jangan berbicara seperti itu. Secara naluri setiap manusia pasti diciptakan untuk selalu bahagia—di samping ada tujuan utama manusia diciptakan dalam Islam. Tapi kamu juga harus ingat kebahagiaan yang kekal itu bukan di sini. Tapi di akhirat kelak."

Mushaf Cinta Dari-Nya [ TAMAT ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang