Orang berkata pernikahan adalah janji suci, aku mencoba menepati janji itu. Walaupun aku tak tahu di perjalanan nanti aku akan berbalik arah, berjalan mundur atau bahkan berlari. Hari ini adalah hari di mana aku akan melepas masa lajangku selama 38 tahun. Tak pernah terpikirkan sebelumnya aku akan berhenti dari masa-masa penuh kebebasan, masa-masa liar dan ber api-api dalam kehidupan. Beralih dengan masa yang akan dihinggapi tanggung jawab, masalah, beserta rentetan tuntutan untuk menuntaskan kewajiban.Kujabat tangan Pak penghulu, dengan hati yang berdebar-debar. Melafazkan ijab kabul dengan satu tarikan nafas.
“SAH...?"
“SAH...!!!”
Seketika suasana yang hening berubah menjadi sukacita. Pengantinku pun datang, bergandeng tangan dengan bibinya yang mengantarkannya kepadaku. Ia tersipu mencuri pandang. Semakin cantik terlihat ketika ia mengenakan kebaya menjuntai berwarna pastel dilapisi manik emas yang menghiasi seluruh permukaannya.
Gadis itu tertunduk malu, saat kusematkan cincin pernikahan juga mencium keningnya. Inilah pertama kalinya ada seseorang yang memegang tanganku dan menciumnya. Pertanda bahwa sekarang aku adalah seorang Imam, mengemban amanah besar untuk menjadi Kepala Rumah tangga.
Siang berganti malam, para tamu undangan pun mulai pulang. Kami meninggalkan Aula untuk kembali ke kamar hotel. Kamar suite yang dahulu pernah kupesan untuk Rai kemudian batal. Sulit untukku lupa... Karena setiap kali mengingatnya aku selalu mengembangkan senyuman. Namun kini, kamar megah ini menjadi saksi bisu di malam pertama kami sebagai sepasang suami istri.
“Bunga dari siapa itu?” tanyaku pada Rai yang sedang memegang buket bunga besar.
“Dari Pak Sam, dia gak datang tadi. Cuma mengirim pesan lewat bunga ini” Rai mencium bunga itu sambil tersenyum memandanginya. “Bagus ya?”
“Aku bisa berikan yang lebih bagus dari itu, Buang bunganya!" kuhampiri Rai yang sedang duduk di pinggir kasur. Lalu kurampas bunga itu dari tangannya, melemparkannya ke lantai.
“Kenapa?!" Rai pun hendak memungutnya kembali.
“Memang kamu gak tau, bunga anyelir putih dan kuning itu melambangkan apa?”
“Enggak,” ia pun menggeleng dengan polosnya.
“Sudah kuduga, apa sih yang kamu tahu!”
“Aku tahu..., Mas cemburu ya?!” Rai pun menyenggol perutku, sambil menggoda.
“kenapa memangnya?, kamu kan Istriku!” Aku duduk di sebelahnya, sambil menurunkan kotak-kotak hadiah ke lantai.
“Iya, boleh kok cemburu suamiku,” Ia mengedip-ngedipkan matanya.
“ Dasar anak kecil!" kurangkul dia dan mengelus-elus kepalanya.
“Enak aja, aku tuh sudah 20 tahun. Sudah dewasa tau!”
“Masa sih?, Coba sini tunjukan pada Mas?” kutarik tubuhnya untuk berada dalam pangkuanku.
Rai membuka semua hiasan pada rambutnya, membiarkannya tergerai. Tangannya memegang leherku. Mencumbui, mendaratkannya bertubi-tubi. Semakin lama-semakin naik, melabuhkan ciuman itu pada bibirku.
Ia mendorong tubuhku hingga terjatuh di kasur, menaikinya. Membuka jas dan kancing kemejaku satu persatu hingga tubuhku terlihat. Menyentuh dada dan meraba otot perutku, Kemudian ...
.
.
.
.
.“ Kenapa Rai ?” tanyaku bingung.
.
.
.
.
Rai terdiam. kulihat wajahnya memerah.“A-Aku ...” Ia berbicara terbata-bata “Aku mau ke toilet dulu, ganti pakaian Mas ...”
KAMU SEDANG MEMBACA
Bingkai Surga Untuk Raiha (+21)
RomanceMau tau rasanya kalau punya suami tampan dan banyak di gandrungi perempuan? BINGKAI SURGA UNTUK RAIHA. Cerita yang apik mengisahkan perjuangan Istri menghadapi terjangan ombak dalam rumah tangga. Di tambah sudut pandang cerita yang di ambil dari...