Desa Butuh, Semarang.
Sudah dua bulan aku berada di Semarang. Kondisi cederaku sudah membaik, aku sudah bisa berjalan dan mengangkat tangan seperti semula. Pihak rumah sakit juga membolehkanku pulang.
Mas Wawan menawarkan tempat tinggal sementara untukku di sebelah rumahnya yang tidak jauh dari pondok pesantren tempat ia bekerja. Di sinilah aku berada sekarang. Di rumah mungil sederhana berpetak tiga. Menjalani hari jauh dari kehidupanku sebelumnya. Tidak ada TV, bahkan gawai pun sudah lama kumatikan.
Hanya fokus belajar mengikuti santri yang lainnya, bila subuh tiba kubiasakan diri untuk shalat berjamaah di masjid. Mereka tadarus sedangkan aku masih membaca Iqra yang di ajarkan Mas Wawan. Malu? Tentu saja awalnya, namun lama kelamaan rasa malu itu sudah jauh kubuang. ku sematkan rasa itu pada pandangan Allah saja.
Ternyata selama ini gengsiku terlalu besar, membangga-banggakan karier juga harta yang tak seberapa yang tidak ada artinya di tempat ini, tak ada satu pun yang mengenal siapa Barra. Mana peduli mereka dengan masalah Fashion dan brand ternama. Orang-orang di sini hanya di sibuki menuntut ilmu, lalu mengamalkannya. Tak seujung kuku pun mereka memikirkan mengejar dunia, bagi mereka dunia lebih dari bangkai yang hina[1].
Dari sinilah aku menyadari bahwa Allah itu dekat, sebagaimana manusia mendekatkan diri pada Nya. Dan menjauh sebagaimana manusia kian melupakan Nya. Ia mengikuti perasaan hambanya[2]. Dan aku berharap Ia berada di dalam rasa sebagaimana aku berusaha menanam perasaanku pada-Nya.
“Qul a’uzu birobbinas”
“Salah Om, bukan zu tapi dzu ( ذُ) lidahnya menempel di balik gigi depan atas sambil di keluarkan angin sedikit. Birobbin’nas ( بِرَبِّ النَّاسِۙ) nun nya ada tasydidnya jadi di gunnahkan. Mmm... Maksudnya nun nya di tahan terus di panjangin dua ketukkan” aku terkesima mendengarkan penjelasan Aisyah, beda satu tahun usianya dari Aby namun sudah bisa mengajarkan mengaji.
“Om ikutin Aisyah ya, Qul a’udzu birobbin’nas”
“Qul a’udzu birobbin’nas” kuikuti perintah guru cilik itu.
“Aisyah ... Aisyah...!!!” kedua anak kecil memanggil Aisyah di luar rumah. Aisyah pun bergegas mencari cadarnya lalu memakainya sebelum keluar rumah.
“Tunggu sebentar ya Om” Aisyah berlari menjumpai temannya.
Aisyah, adalah putri semata wayang Mas Wawan yang terkadang menggantikan Abi nya untuk mengajarkanku mengaji. Kepada Aisyahlah aku banyak belajar. Bukan hanya ilmu Al Quran tapi juga ilmu kehidupan.
Aisyah, kembali masuk ke dalam rumah. Menanggalkan sandal jepit yang tadi dipakainya.
“Om mau tanya, kenapa Aisyah pakai cadar kan masih kecil ?”
“Kata Abi dan Ummah Aisyah cantik, nanti takut kena ain” Aisyah berdiri di hadapanku.
“Apa itu ain?"
“Ain itu penyakit, dari sifat hasad atau iri orang lain ketika memandang sesuatu.”
“Ooo begitu” sekilas aku teringat kembali bentakanku pada Rai karena mengenakannya, dan bertanya kembali pada Aisyah, “kalau begitu Kenapa memakai cadar itu sunnah ya tidak wajib?” aku lupa usia Aisyah masih terlalu kecil untuk memahami pertanyaanku.
“Ada sebagian ulama yang mewajibkannya Om, dan sebagian lagi menganggap itu sunnah. Di bolehkan di buka wajah nya agar bisa di kenali, tapi kalau cantik dan bisa menimbulkan fitnah, terkena hukum wajib menggunakannya. Kaki Aisyah aja aurat Om, apa lagi wajah.”
Lagi-lagi aku terpana dengan penjelasan Aisyah yang lugas. Dan bertanya-tanya dalam hati benarkah ia bocah berusia enam tahun?.
Aisyah menunduk mengambil sesuatu di belakangku. Di angkatnya asbak berwarna putih berisikan abu dan puntung rokok. Mata Aisyah membelak, membuka mulutnya lebar, menarik pipi kemarahannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bingkai Surga Untuk Raiha (+21)
RomanceMau tau rasanya kalau punya suami tampan dan banyak di gandrungi perempuan? BINGKAI SURGA UNTUK RAIHA. Cerita yang apik mengisahkan perjuangan Istri menghadapi terjangan ombak dalam rumah tangga. Di tambah sudut pandang cerita yang di ambil dari...