Di Mana Tuhan?

1K 69 1
                                    


RSUP. DR.  Kardadi,  Semarang.

Kubuka mataku, melihat ruangan bercat biru,  di lapisi gorden berwarna krem. Merasakan  Selang oksigen terpasang pada hidungku.  Perlahan kugerakkan jemari yang masih terasa kaku.  Lalu kembali melihat di sekelilingku.  Ada Dimas yang duduk di sofa lalu bangkit menghampiriku.

“Alhamdulillah,  udah siuman” ia berdiri di sampingku “Lu mau apa Mas,  biar gue ambilin?"

“Rio di mana?”   aku langsung mencercanya dengan pertanyaan.

“Rio,  harus pulang karena pekerjaan,  dia yang kabar in lu kecelakaan.  Terus nyuruh gue untuk datang”

“Apa Raiha tau?”

Dimas menggelengkan kepalanya.  “Seharusnya Rai di beri tahu”

“Jangan!"  aku mulai bisa mengangkat tanganku. “Berapa lama gue di rumah sakit? ” lalu berusaha mengangkat tubuhku yang ternyata masih terasa sakit,  dan kini lebih sakit dari semula. “Arghhh.”

“Jangan bangun dulu Mas, lu abis operasi.  Kata dokter lu cedera tulang belakang,  ada yang retak.”

“Sudah berapa lama gue di sini?" aku kembali mengulangi pertanyaanku.

“Sudah dua hari” Dimas mengambil kursi lipat, untuk duduk. “Kata dokter badrestnya kurang lebih 6 minggu,  habis itu baru fisioterapi”

“Seharusnya lu gak usah ke sini,  banyak yang harus di handle di Jakarta selama gue sakit.  Gue bisa urus diri sendiri,  lagi pula ada suster di sini”

“Apa gak sebaiknya, pindah rawat di Jakarta aja”

“Gue masih ingin di sini” aku membuka selang oksigenku,  berusaha meraih gelas di sampingku yang ternyata sulit untuk ku sentuh.

“Tuh kan? Gimana  lu mau ngurus diri sendiri,  kalau mau minum aja susah” Dimas mengambil gelas berisi air  itu dan memberikannya padaku. “Udah,  turunkan ego.  Lebih baik pulang.”

“  Belum saatnya gue  pulang ...”

Terbesit perasaan di benakku,  seperti ada yang tertinggal disini. Walau aku tak tahu apa sebetulnya pencarianku.  Namun aku berkeyakinan untuk tinggal di sini sementara waktu hingga aku menemukan apa yang kucari sebenarnya.

***

Kuhabiskan waktu di rumah sakit dengan berbincang dengan Pasien yang lainnya,  melihat raut-raut keceriaan terpancar dari wajah mereka,  saat di kunjungi sanak saudara. Lalu aku, Hanya mendapati diriku yang ternyata sendiri.  Benar-benar merasa sendiri.  Apa yang bisa ku lakukan tanpa bantuan orang lain,  bahkan hanya sekedar berdiri. Meskipun kondisiku mulai membaik.

Ternyata seisi dunia yang kukejar sama sekali tidak berguna. Harta yang kupunya hanya membawa kesenangan sesaat,  dan kesenangan itu bahkan tidak bisa kunikmati selamanya di kala kesehatan itu pergi. kesenangan itu menghilang, berganti dengan kepayahan. Menghadapi Kenyataan bahwa tak selamanya manusia bisa membeli kebahagiaan. Kebahagiaan yang hanya bisa di temui dalam jiwa yang tenang.

Yang belum pernah ku miliki hingga sekarang,  yang masih selalu bertanya di mana Tuhan?

“Gimana Mas sudah baikkan?”

“Ya, sudah mendingan Mas Wawan.  Sudah mulai bisa jalan meski harus di bantu penyanggah.”

Mas Wawan lah yang selalu rajin menjengukku,  bukan teman dekat, bukan saudara  tapi orang lain yang terasa seperti keluarga. Perhatian tulusnya membuatku bertanya. Mengapa Tuhan masih bersikap baik padaku?

Lelaki bertubuh kurus itu menjinjing sekantung jeruk,  yang di ambilnya satu lalu di kuupaskannya untukku.

“Makasih Mas”  Aku mengambil dan memakannya.

“Ta bawakan bacaan biar ga bosan” Ia menaruh beberapa tumpuk buku di meja,  dan yang paling atas di  letakkannya adalah Al Quran.

“Jujur ya Mas,  saya ga bisa bacanya” Ku ambil Al Quran kecil itu.

“Kenapa?”

“Buta huruf hijaiyah, memang sedari kecil saya kurang mendapat pendidikan agama”

“Hemm ...” Ia mengangguk. “Nanti ta bawain Iqra,  untuk belajar. Al Quran di baca tafsirnya aja.”

Kuambil buku yang satunya lagi,  bertuliskan Syarah kitab Tauhid.  “Apa itu Tauhid?” tanyaku sambil membuka-buka halaman buku itu.

“ Mengesakan Allah,  meyakini bahwasanya Allah itu satu[1]”

“ Ya, saya juga meyakininya”

“Tapi meyakini Rububbiyah-Nya atau tentang kekuasaan Nya saja tidaklah cukup tanpa mempelajari Uluhiyah-Nya mengTauhidkan Allah dalam beribadah baik yang terlihat maupun yang  batin [2].  Itulah mengapa Rasullullah di utus agar memperbaiki pemahaman kaum Jahililyah”

Masuk akal, mungkin itulah alasan mengapa  aku tidak bisa merasakan-Nya. Sebab yang ku tahu Tuhan itu ada dan cukup mengetahuinya saja tanpa mempelajari cara mengesakannya.

Aku pun kembali bertanya hal yang mulai ingin kutahu lebih dalam. “Banyak orang berkata Tuhan ada di mana-mana bahkan di hati manusia,  tapi di manakah sesungguhnya Tuhan berada?”

“Allah bersemayam di langit di atas Arsy[3] ,  Mas Barra.  Bukan dzat Nya tetapi Ilmu-Nya ada di mana-mana dengan maksud meliputi segala sesuatu.  Makannya Ilmu Allah itu bisa kita kenal melalui Asma was shifat atau sifat-sifat Allah.  Nanti Mas Barra bisa membacanya lengkap di dalam kitab itu”

“Apa Mas Wawan ini seorang Ustadz?, maaf maksud saya pemahaman agama Mas Wawan sangat bagus”

Ia tertawa,  sambil sesekali menarik kopiahnya.  “MasyaAllah,  saya Cuma Hamba Allah yang bekerja sebagai Musyrif.”

“Boleh saya belajar agama dengan Mas Wawan?”

“Nanti saya kenalkan dengan Ustadz di tempat saya bekerja,  tapi jika ingin bertanya, saya bisa bantu menjawab pertanyaan yang sesuai dengan kemampuan saya.” jawabnya, dengan senyum tulus yang mengembang kepadaku.

Aku tidak bisa memastikan aku bisa berubah,  tapi setidaknya aku mengetahui alasan mengapa aku harus berubah.  Dan alasan itu bukan semata karena Raiha yang memulainya,  tapi karena diriku perlu mengetahui mengapa aku di ciptakan dan untuk apa aku di lahirkan ke dunia.

____________________________________________________

[1]Tauhid secara bahasa arab merupakan bentuk masdar dari fi’il wahhada-yuwahhidu (dengan huruf ha di tasydid), yang artinya menjadikan sesuatu satu saja. Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin berkata: “Makna ini tidak tepat kecuali diikuti dengan penafian. Yaitu menafikan segala sesuatu selain sesuatu yang kita jadikan satu saja, kemudian baru menetapkannya” (Syarh Tsalatsatil Ushul, 39).

Secara istilah syar’i, makna tauhid adalah menjadikan Allah sebagai satu-satunya sesembahan yang benar dengan segala kekhususannya (Syarh Tsalatsatil Ushul, 39).

[2] ( Jadid Syarh Kitab Tauhid, 17)

Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin berkata: “Sesungguhnya ilmu tauhid adalah ilmu yang paling mulia dan paling agung kedudukannya. Setiap muslim wajib mempelajari, mengetahui, dan memahami ilmu tersebut, karena merupakan ilmu tentang Allah Subhanahu wa Ta’ala, tentang nama-nama-Nya, sifat-sifat-Nya, dan hak-hak-Nya atas hamba-Nya” (Syarh Ushulil Iman, 4).

[3] Allah berfirman;

إِنَّ رَبَّكُمُ اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَىٰ عَلَى الْعَرْشِ

“Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas Arasy” (Qs. Al A’raf : 54)

الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى

“ (Yaitu) Rabb Yang Maha Pemurah yang bersemayam di atas ‘Arsy.” (QS. Thoha : 4-5)

Bingkai Surga Untuk Raiha (+21)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang