Two Head One Heart

972 73 2
                                    

Beberapa hari ini aku memilih beristirahat di rumah ketimbang datang ke kantor atau melanjutkan sederet workshop yang tertunda. Memanfaatkan sedikit waktu berbincang-bincang sambil menemani Aby bermain mobil remote control di taman. Sudah lama sekali, bahkan aku tidak ingat kapan terakhir menemani Aby bermain mobil-mobilan, hanya berdua.

“Wih ... Aby pinter bawa mobilnya, mau jadi pembalap ya?” Aku tengah berjongkok memerhatikan Aby yang tengah asyik memainkan mobil-mohilannya.

“Gak Mau ah Pi cape!” Aby memberikan remote Kontrolnya padaku, sepertinya dia mulai bosan memainkannya dan memilih duduk di sebelahku.

“Gimana kalo jadi dokter?” Aby menggelengkan kepalanya. “Jadi tentara, keren kan?” tanyaku lagi dan hanya mendapat gidikkan kecil dari Aby. “Mm, kalau jadi fotografer kayak Papi?”

Aby menggelengkan kepalanya kembali. Mulutnya mengerucut dengan ekspresi cemberut. “Enggak mau ah, nanti Aby enggak pulang-pulang kayak Papi!”

“Ih ...  Ini buktinya Papi pulang." Aku menaruh remote kontrol di lantai, bergati duduk bersila menghadapnya seolah memastikan, Papi sudah meluangkan waktu untuk Aby loh!

“Iya kemarin-kemarinnya lagi enggak pulang!” Aby bertolak pinggang, masih cemberut.

“Iya, maafin Papi ya?” permintaanku membuat Aby tersenyum kecil. “Terus, Aby maunya jadi apa dong?” tanyaku lagi sambil mengusap kepalanya, merapikan beberapa helai rambutnya yang berantakan.

“Jadi Hafidzahullah, hi-hi ...” kini dia mengernyih lalu malu-malu menutup mulutnya dengan kedua tangan. “Gini nih, nanti Aby bisa kasih ini buat Papi dan Mami.” Aby menyatukan kedua jarinya membentuk lingkaran lalu di taruhnya di atas kepalaku.

Aku berpura-pura memegang sesuatu di atas kepalaku sambil bertanya “Apa ini?”
 
“Itu Mahkota, Pih. Kata Ibu guru kalo jadi Hafidzullah, nanti Aby bisa buat Papi sama Mami jadi Raja dan Ratu di Surga.” Senyum tulusnya melebar.

Aku pandangi Aby dengan syahdu, memeluknya dan mengecup kepalanya. Sungguh, tidak pernah terpikir sedikit pun tentang mulianya cita-cita Aby, dan ya, aku baru sadar mengapa Rai bersikeras menyekolahkan Aby ke TK hafidz. Mungkin dia tidak ingin Aby seperti kedua orang tuanya yang tak paham soal agama. Aku memang dilahirkan dalam keluarga Islam, tapi orang tuaku tidak mengharuskanku mendalami ajaran agama kami, yang terpenting adalah bagaimana kami memiliki etika dan moral baik dalam lingkungan bermasyarakat, itu yang selalu mereka tekankan padaku.

“Bobok yuk udah malem?”Aku bangkit dan mengulurkan sebelah tanganku pada Aby.
Aby menyambutnya dengan senang hati. “Ayuuk, tapi Aby mau dibacain buku carita sama  Papi ya?”

“Oke Boss!”

Kuantar Aby ke kamar, duduk di sebelah Aby. Membacakan satu buku cerita untuknya hingga dia memejamkan mata. Baru setelah dia pulas, kuusap kepalanya, lalu mengecup dahinya. Berjalan perlahan ke luar kamar, meninggalkanya.

Malam semakin larut dan udara semakin dingin karena di luar hujan. Rasanya bersantai menikmati wine sangat pas di saat seperti ini. Kutapaki satu persatu anak tangga menuju mini bar yang tidak jauh dari dapur. Menyiapkan dua bordeaux, menaruhnya di atas meja. Ups ... Sepertinya aku lupa kalau Rai sekarang alim, aku sangsi dia mau menemaniku minum-minum. Kugantungkan lagi bordeaux yang satunya, menyisakan satu untukku. Tubuhku membungkuk menarik  gagang laci berwarna keemasan, hendak mengambil satu koleksi Wine pribadiku. Ada beberapa buah wine klasik keluaran tahun 80 yang sengaja kusimpan dan hanya kuminum pada momen tertentu.

Kedua netraku melebar begitu mengetahui laci pertama kosong. Penasaran, aku pun menarik laci ke dua.

Kosong. Ini aneh, terakhir kali aku melihatnya, laci-laci ini masih terisi penuh dengan koleksi wine-ku. Apa mungkin Rai menghabiskannya? Atau barang kali selama aku tidak ada dia menjamu tamu yang datang. Tapi tidak mungkin sebanyak itu juga kan?

Bingkai Surga Untuk Raiha (+21)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang