Biru Safir

1K 72 0
                                    

 
Satu tahun berlalu, Rai selalu sibuk dengan urusan Aby. Sementara aku terlena dalam pekerjaan demi mempersiapkan masa depan kami.  Bazart semakin melambungkan namaku ke kancah Internasional, mengenalkanku pada banyak relasi di sana. Berita bagusnya, aku berhasil mengikutsertakan karyaku pada pameran fotografi di LA. 

Kesibukanku semakin padat, sehingga intensitas pertemuan kami tidak begitu banyak. Aku tahu Rai kurang menyukainya, tapi mau apa lagi.  Satu-satunya yang bisa kulakukan hanya memberikannya hadiah mahal sebagai penebus dosa setiap kali pulang ke Jakarta. Dan aku yakin semua wanita menyukainya. Baru saja aku membelikan Rai gaun unlimited berwarna biru safir  beserta satu set perhiasan berlian untuk di pakainya pada acara dinner kami nanti malam. Ah, aku sudah tak sabar melihat reaksi Rai.

“Papi!” Aby berlari ke dalam pelukanku. Bocah itu menggelayutiku sehingga kuangkat tubuhnya berputar-putar sampai dia tertawa terpingkal.

“He-hei, Anak ganteng, Papi kangen.” Kuciumi pipi gembul Aby, mengusalnya sampai dia terkikik geli terkena bulu janggutku. “Sudah mandi belum sih?  kok acem ini?"

Aby mengernyih.  Menggelengkan kepalanya. “Belom.”

“Ayo cepat mandi, nanti kita jalan-jalan keluar sama Mami.”

“Yey ...  Asik!” sorak gembira Aby turun dari gendonganku.

“Mami mana?” tanyaku sambil menarik koper-koper memasukkannya ke dalam rumah. Rasanya tak sabar melihat Rai terkejut.

“Itu.” Aku ikut menoleh begitu Aby menunjuk pintu. Sosok perempuan di sana membuatku terpaku sampai menyipit kan mata, memastikan apa benar itu Rai.

“Baru mau aku telepon, tahunya sudah sampai.” Rai mencium punggung tanganku, sementara aku masih tertegun memperhatikannya dari ujung kaki hingga kepala.

Dandanannya tidak senormal seperti biasanya,  Rai mengenakan pakaian serba panjang. T-shirt menutup lengan, juga rok A-line di bawah mata kaki. Yang lebih anehnya lagi, kerudung yang  menutupi rambutnya hingga meliliti leher.

“Habis dari pengajian?” tanyaku begitu penasaran. Barang kali saja kan ada acara pengajian di kompleks tempat kami tinggal.

“Bukan. Aku dari warung.” Rai menaikkan plastik jinjingannya ke atas meja.

Aku tertawa geli sampai tidak bisa berhenti.  Oh  ya ampun perutku kini terasa keram. “Sejak kapan ke warung pakai ginian?” kucubit kerudung berwarna krem yang dipakainya.

“Baru dua minggu,” Rai menghindar dan langsung merapikan kerudungnya.

“Kamu bercanda ya, Kok gak minta Izin dulu?” Aku berkacak pinggang tentu saja tidak percaya dengan pengakuannya.

“Kenapa harus izin,  ini kan wajib, Mas.”

Ini sudah tidak lucu bahkan aku terheran dengan jawaban klise Rai tadi. Sepertinya kami perlu membicarakan ini dengan serius. "Kamu gak bercanda? Rai masalah seperti ini jangan main-main.”

“Aku serius Mas.” Rai masuk ke dalam rumah, Duduk di sofa. Meminta Bibi mengambilkan minum untukku sembari mengajak Aby masuk ke dalam.

“Aku kenal kamu Rai,  mana bisa kamu pakai rok panjang kecuali ada belahan, itu juga karena  enggak suka ada yang menghalangi langkah kamu. Ini bukan gayamu Rai, aku sudah terbiasa melihatmu memakai hot pants, tanktop, mini dress.  Terus tiba-tiba begini, ini lucu ... Seperti bukan kamu, coba pikir-pikir ulang.”

“Enggak Mas ...  aku sudah yakin.” Tanpa menggubris pendapatku. Rai beralih membereskan belanjaannya.

Kuhela napas panjang saking lelah berdebat. “Ya sudahlah. Tapi menurutku, kamu aneh pakai itu!”

lebih baik tidak memperpanjang persoalan dari pada perdebatan kami menjadi pertengkaran hebat.

Aku bergegas ke kamar, meninggalkan Rai, melempar semua tas berisikan hadiah untuknya ke atas tempat tidur.  Jujur saja ulah Rai tadi langsung merusak mood-ku. Bayangkan, aku baru saja pulang dari perjalanan melelahkan. Berharap mendapat sambutan hangat, atau sedikit pijatan, mungkin. Bukan memperdebatkan hal yang tidak penting. Menguras energi saja.

Lupakan soal Rai. Lebih baik memanjakan diri dengan guyuran air hangat karena sepanjang penerbangan dari Amerika ke Jakarta aku tidak bisa leluasa mandi. Kunyalakan shower, menumpahkan shampo di kepala, membuat gumpalan lembut dari busa-busa itu. Membiarkan air hangat menyirami seluruh tubuh, meluluhlantakkan semua rasa lelahku.
 
Sambil bersiul kutarik handuk untuk mengeringkan rambutku yang basah, setelah itu melilitkannya di pinggang, bersiap menuju kamar, Sedetik kemudian tampak bayangan memukau yang terpantul dari cermin besar di dinding kamar membuatku terpaku.

Ujung gaun berwarna biru safir yang Rai kenakan menggelepai menyentuh lantai. Tampak dari belakang Rai sedang mengangkat rambutnya ke atas dengan kedua tangan, memperhatikan lehernya yang jenjang berhias kalung berlian. Ah, aku seperti baru saja melihat Rai enam tahun yang lalu, model belia yang kerap berpenampilan sensual. Ini baru Raiha, istriku  ....
 
“Cantik kan?" Kupegang pinggang Rai dari samping.
 
“Cantik,  Makasih ya Mas." Dia masih terus memperhatikan bayangannya di cermin. Aku yakin pendiriannya akan segera berubah. “Apa aku masih pantas pakai gaun ini?" tanyanya sambil memutar tubuh menghadapku.
 
“Tentu saja, sayang. Kamu masih cantik seperti pertama kali kita bertemu.” Kuusap lembut punggung Rai yang terbuka. Mendekatkan hidungku di pelipisnya sambil membisik agar pendiriannya segera runtuh. “Gimana? Mau berubah pikiran?”
 
Dia mengangkat kedua simpul bibirnya sambil meraup kedua pipiku agar pandangan kami saling memantik. “Mm ... Kalau ada laki-laki lain yang melihat aku seperti apa yang kamu lihat sekarang, apa kamu cemburu?”
 
“Kalau hatimu selalu untukku, buat apa cemburu.”
 
Entah dia mencoba merayu atau menarik perhatianku. Perlahan Rai membimbing tanganku untuk menelusuri setiap lekuk tubuhnya yang indah. “Kalau laki-laki itu ternyata mempunyai hasrat untuk menyentuh apa yang sekarang kamu sentuh. Lalu timbul sebuah gairah seperti gairah yang ada dalam benakmu, Kamu cemburu enggak?”
 
Aku segera melepaskan tanganku dari tubuh Rai. “Kenapa harus tanya, kamu tahu jawabannya. Ya jelas saja aku tidak suka ada lelaki berfikiran kotor tentang istriku.”
 
 Ya ampun. Aku bahkan kelepasan bicara seolah mengiyakan kalau Raiha memakai gaun serba terbuka seperti ini akan menimbulkan fikiran kotor. Maksudku, tentu saja hanya aku yang boleh membayangkannya. Ya wajar saja karena kami sudah lebih dari sepuluh minggu tidak bertemu, dan fikiran itu halal bagi suaminya, bukan untuk orang lain.
 
Rai nyaris tertawa, dia berusaha mengulum bibirnya lalu kembali berkata lembut padaku, “Kalau begitu mulai sekarang, aku hanya akan berhias untuk, Mas. Memakai pakaian seksi juga hanya untuk, Mas. Demi melindungi diriku dari pandangan laki-laki lain, juga ... menjauhkanmu dari rasa cemburu, boleh kan Mas?”
 
“Hem ... Oke lah aku nyerah kalau gitu.”  balasku merasa kalah dengan strategi pertanyaan Rai tadi.
 
“Terima kasih, sayang.” Rai mencium kilat pipiku dan mengelusnya perlahan. Pintar, aku tidak menyangka dia semakin cerdas memutar balikan pemikiran. Bisa-bisanya dia memakai taktik sentuhan, demi melunakkan hatiku yang sempat meradang.
 
“Kenapa, kok lihatin aku kayak gitu?” tanya Rai masih menatapku.

“Kangen.” Aku rasa, masih ada waktu barang beberapa menit untuk merealisasikan pikiran kotor, bukan. Maksudku, melepas rasa rinduku pada Rai. Dia pasti mengerti lah maksudku apa, tanpa perlu di jabarkan secara detail.

“Sama. Aku juga kangen.” Senyuman nakal itu jelas memberi lampu hijau kalau aku bisa melakukan apa pun padanya tanpa penolakan. Well, aku bisa melakukannya lebih cepat sebelum kami pergi makan malam, atau mungkin juga bisa lama, mengingat kami sudah menahan perasaan ini berbulan-bulan—yang jelas aku tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan sekarang.

Jemariku bergerak cepat merengkuh dagu lancip Rai, bahkan bibir ini sudah nyaris mendarat pada bibirnya. Namun tiba-tiba saja ....

“Mami ... Papi ... kok di kunci pintunya?! Ayo cepetan! Katanya kita mau jalan-jalan!” Teriak Aby dari luar sambil  menggedor-gedor pintu kamar.

Kami terkesiap mengatur jarak. Rai merapikan pakaiannya, segera mengambil jaket untuk menutupi sebagian tubuhnya sementara aku hanya menggaruk-garuk dahi yang tidak gatal lalu berkacak pinggang.

“Hehh ... Gak jadi lagi,  baru juga mulai!” dengusku kesal di susul gelak tawa Raiha.
 

Bingkai Surga Untuk Raiha (+21)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang