Taman Yang Rindang

1.1K 72 1
                                    


Semenjak saat itu, Semakin hari aku semakin menunjukkan siapa diriku sebenarnya.  Aku selalu pulang larut,  pergi bersama teman-temanku.  Melakukan aktivitas layaknya ketika aku masih seorang diri.  Pergi dari pulau satu ke pulau lainnya demi memuaskan hobi advntureku. Menenggelamkan diri dengan pekerjaan. Betul,  aku sengaja mengabaikan Raiha dengan maksud membuatnya terbiasa menerima diriku apa adanya.  Tapi rupanya aku semakin mematahkan hatinya.

Yang kutahu ia juga mengalihkan pikiran dengan bekerja,  menghabiskan masa kontrak kerjanya. Melampiaskan kesedihannya untuk  berhura-hura bersama teman-temannya,  pulang larut.  Kadang tidak memikirkan kondisi kehamilannya. Menyibukkan dirinya dengan apa saja yang bisa membuatnya jarang berada dirumah. Aku yang membuatnya seperti itu. Sampai suatu hari aku mendapat telepon dari Dimas. Bahwa Raiha pingsan di acara Gettering Clothing dust di kediaman Sammy.

Dari Airport aku langsung menjemputnya,  meninggalkan koper-koperku di sana. Turun dari taxi berlari melewati  hiruk pikuk tamu-tamu pesta,  menyelusuri taman yang luas di kediaman Sammy. Nafasku tersengal-sengal bergegas menjumpainya yang tergeletak di kamar tamu. Sammy datang menghampiriku. Menghalangiku masuk,  berdiri di depan pintu.

“Mana Raiha?” Tanyaku.

“ Dia terlalu banyak minum,  mulai melantur bercerita tentang kelakuanmu.  Menangis hingga pingsan! ” sorot mata kebencian terpancar dari tatapannya.

“Aku mau bertemu dia!” ia menghalangiku untuk membuka pintu.

“Aku tidak menyangka,  dia begitu menderita! “

“Buka pintunya!!!”

Sammy menarik kerahku,  “ Kalau kamu gak bisa menjaganya, lebih baik LEPASKAN DiA!!!”

“ Gak bisa!!!”  Pekikku yang membuat Sammay semakin naik pitam.

"BONEKA PORSELEN ITU RETAK BARRA, KELUARKAN DIA DARI LEMARI KACA!!!" Mengangkat sebelah tangannya yang terkepal,  memukul wajahku.

BUGGG!!!

Satu pukulan yang sangat kuat mendarat di pipiku,  membuatku terperosok . Kubiarkan tanpa perlawanan, aku merasa pantas menerimanya.  Sammy kembali menarikku.

“LEPASKAN DIA BARRA,  DIA TIDAK BAHAGIA BERSAMAMU !!!” Ia hendak memberikan pukulan yang ke dua.

Namun Dimas datang melerai pertengkaran kami,  di pegangnya tangan Sammy.  Sambil mengusap pundaknya.  Melepaskanku  dari genggaman tangannya. Aku memegangi tulang pipi hingga rahangku yang terasa ngilu.  Menahan sakit,  pada pipiku yang mungkin sudah berubah menjadi wana biru.

“RAI HAMIL... ,  sampai kapan pun aku tidak akan melepaskannya !!! ”

Aku berjalan menerobos Sammy,  menabrak pundaknya. Sontak mereka tertegun mendengar perkataanku barusan.  Rai memang sengaja menyembunyikan kehamilannya dari semua orang.  Termasuk pada manajernya.  Mengingat kontrak kerjanya yang tinggal sedikit lagi selesai bersamaan dengan usia kehamilannya yang semakin tua. Ketika kontrak kerja berakhir,  diakhirinya juga karier yang melambungkan namanya. Rai memilih menjadi seseorang yang biasa saja tanpa embel-embel ketenaran. Memilih menghabiskan masa demi masa bersamaku,  menyerahkan semua mimpinya yang naif itu pada diriku.

Aku membuka pintu,  melihat istriku yang pucat dengan tubuh sedingin es. Menggendongnya keluar dari kamar. Memasuki mobil Rai,  Membawanya ke rumah sakit terdekat.

***

RS Bunda Harapan,  pukul 23:00,

Rai terbaring di brankar,  para suster menggiringnya menuju ICU.  Mengecek suhu tubuh dan tensi darahnya. Mengambil sampel darahnya lalu memasang infuse juga memasang selang oksigen pada hidungnya.  Dokter datang memeriksa detak jantung calon bayi kami dengan stetoskop.  Sepertinya ada sesuatu yang janggal,  sehingga suster harus membawakan alat USG ke dalam ruangan yang Rai tempati.  Rupanya Dokter mendapati bercak darah dari paha Rai.

Jantungku berpacu begitu cepat,  kuremas kepalaku saat pikiranku mulai menerka-nerka apa yang sedang terjadi. Pikiran-pikiran negatif menyelimuti benakku.  Suster memanggilku untuk masuk ke dalam tirai,  melihat monitor bergambar 4 dimensi pada USG.  Aku terharu,  mengamati janin yang sudah berbentuk bayi dengan kepalanya yang besar,  jari-jarinya sangat mungil. Sesekali ia menggerakkan tangan dan kakinya.  Senyumku mengembang menarik lesung pada kedua pipiku, takjub pada apa yang kulihat kini.

Raiha berpindah ruangan sedangkan aku berada di ruang Dokter, mendengarkan penjelasannya mengenai kehamilan Rai yang sudah memasuki usia 16 minggu.  Meski perutnya tidak terlalu terlihat besar.

“Alhamdulillah Pak,  Pendarahannya sudah berhenti. Plasentanya masih menempel, walau detak jantungnya sedikit lemah.”

“Tapi, gimana dok kondisi keduanya?”

“ Membaik Pak, ada progres setalah di infus obat.” Dokter melepaskan sarung tangannya. Mencatat resep yang ia buat “Bapak tau kan, kalau ibu hamil itu di larang minum minuman keras?”

“I-Iya dok,  masalahnya saat itu saya sedang kerja”

“Bisa fatal Pak di tambah ibu Rai ini kelelahan. Janinnya masih belum kuat. Beruntung masih bisa tertolong. "

“ Terima kasih sudah menolong istri saya,  Dok ... ”

“ Usahakan jauhkan istri bapak dari pikiran stres,  buat perasaannya lebih baik seperti memberi perhatian, mengajak refreshing,  pelukan, dan ciuman. Satu lagi, memperhatikan pola makan. Itu semua yang akan  cepat membantu proses pemulihannya”

“Baik dok,  akan saya lakukan sarannya”

"Sepertinya untuk sementara waktu ibu Rai harus menginap dulu di sini, sambil kami pantau perkembangan kesehatannya.  Silahkan bapak melunasi dulu biaya administrasinya"

"Iya,  baik Dok.  Terimakasih sebelumnya. "

Aku keluar dari ruangan dokter dan kembali menemui Rai di ruang VIP.  Menghampirinya yang masih terbaring lemas. Selang infus terjalin pada lengannya. Keringat dingin masih membekas pada dahinya.  Kupegang telapak tangannya menempelkan pada pipiku.  Menatapnya penuh dengan rasa bersalah.

“Rai ...”

Aku tahu ia sudah sadar,  menetes bulir jernih dari celah matanya.   Memalingkan wajahnya dariku.  Air matanya mengalir semakin deras,  membasahi bantal yang ditidurinya.  Bahunya bergetar pertanda apa yang di rasakannya saat ini begitu pilu.

“Aku tahu Mas, kamu tidak menginginkan kehadiran janin ini. ”

“Bukan..,  bukan seperti itu Rai.”

“Semuanya berubah,  ketika dia hadir, ” Rai masih terus terisak sambil meringkuk menekuk tubuh, memegangi perutnya.

Aku terdiam sejenak menghela nafas,  “Dia calon bayi kita yang tidak berdosa,  aku hanya terkejut dengan kehadirannya.”

Kuraih pundak Rai agar menoleh padaku. Mengelus kepala juga Mengecup jemarinya  “Rai...  Aku ingin mewujudkan cita-citamu,  bayangkan ada tangisan bayi di rumah kita.  Bagaimana bahagianya kita ketika melihatnya berjalan untuk pertama kalinya.  Kita akan pindah ke rumah yang lebih besar,  yang luas halamannya, dengan taman yang hijau banyak di tumbuhi pepohonan rindang dan bunga yang kamu sukai.  Memanggang barbeque dan piknik di sana,  mengajak anak kita bermain bersama.”

Kuusap perutnya,  menciumnya. Isaknya  berganti dengan pancaran berkilauan dari air mata yang mengembang, berkaca-kaca.  Satu tangannya lagi ditumpukannya pada genggamanku.  Garis bibirnya mulai terangkat,  merekahkan senyuman yang memang indah lekat pada dirinya.  Tak lama ia memperhatikan wajahku. Alisnya mulai menurun mengerutkan keningnya.

“Kenapa Pipimu Mas?"

“Jatuh tadi, pas menggendongmu. Terbentur pintu."

“Apa aku seberat itu?"

“Iya..., tanganku juga sakit rasanya. ”

Kami saling berbalas senyum,  senyuman yang  hilang beberapa bulan ini di antara aku dan Rai Kini kembali.  Meski ketenangan dalam batinku terusik, belum sepenuhnya meyakini apa aku mampu mewujudkan semua gambaran cita-citanya nanti ...

Bingkai Surga Untuk Raiha (+21)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang