Landscape Dua Garis

1.3K 70 1
                                    


Pukul 15:30, 61 Rue Henry Farman.

“Tutup matamu ... ”

Aku mengikatkan scraft untuk menutup mata Rai.  Sepanjang perjalanan dari Avenue montaigne hingga menuju Henry Farman.  Memasuki Heliport.  Ya,  kusewa sebuah halikopter Airbus H135 untuknya.  Temanku yang dulu berprofesi pilot sekarang sudah mempunyai perusahaan tour helikopter sendiri di paris. Beruntungnya, ia memberikan akses Untukku dapat mengemudikan helikopternya sendiri.

“Kita di mana ini Mas?”

Kududukan Rai di samping bangku pengemudi,  di sebelahku. Memasangkan sabuk pengaman dan Headphone padanya.

“Apa ini ?” Tanyanya lagi semakin penasaran.

“Sudah ...  Ikuti saja perintah Mas,  nanti kalau Mas bilang buka matanya baru kamu boleh buka! ”

Aku mulai menjalankan mesin helikopter. Kubuka throttle perlahan, menarik collective ke atas hingga kecepatan bertambah menyeimbangkannya dengan menginjak pedal ke kiri dan ke kanan sehingga baling-baling berputar. Menaik tinggi membuat helikopter bergetar,  Rai mulai panik dan memegangi kedua sisi kursinya. kugenggam tangan Raiha sejenak.

“Buka ikatan matamu ... ”

Ia membuka scarft pada matanya perlahan. Matanya yang semula terpejam kini membelak semakin lama-semakin lebar. Tidak berkedip melihat kaca besar dengan pemandangan kota paris dari ketinggian 100 meter. Bergeming ...  Terlihat matanya berkaca-kaca dengan senyuman mengembang pada bibirnya.  Ia menghapus air mata yang keluar dari celah matanya.

“Loh kenapa nagis, Kamu gak takut ketinggian kan?!” Tanyaku berteriak lebih kencang dari suara mesin Heli agar Raiha dapat mendengarnya.

“Bukan” Rai membuka sabuk pengamannya,  untuk memelukku.

“Ehhh ... Bahaya, aku baru menerbangkan pesawat lagi loh setelah 10 tahun lebih.  Liat nih tanganku aja keluar keringet dingin.” Aku menunjukkan telapak tanganku yang basah “Duduk sayang,  nikmati pemandangannya.  Biar Mas gak gerogi. ”

“Hi-Hi ... Maaf ya Mas,  Makasih untuk kejutannya.  Manis sekalii,  ini paling romantis! ” ia menyernyih sambil menyatukan kedua tangannya yang terkepal.

“Iya sama-sama. ”

Aku menaikkan ketinggian bertahap, menurunkan collective untuk berjalan perlahan menikmati pemandangan di hadapan kami,  sambil sesekali menatap Raiha yang juga berbalas menatapku.

“Mas,  kenapa gak jadi pilot,  bukannya itu cita-citamu dulu?” Rai membuka headphone. Untuk mendengar jawabanku.

“  Papa yang menyuruhku untuk jadi pilot melanjutkan cita-citanya.  Tapi itu bukan Passionku,  aku menyadarinya ketika sudah mendapat tiga lisensi penerbangan.  Lalu aku ikut ujian untuk mendapat beasiswa di Harvard mengambil jurusan visual art. Terus dengan perdebatan panjang, akhirnya papa meluluh.  Aku di izinkan kuliah ke luar negeri.”

“Itu keren..., memang mengejar impian itu butuh pengorbanan.”

“Tapi kalau aku mengejar impianku sekali lagi,  apa kamu juga akan mendukungnya?” kupegang tangan Raiha.

“Apa itu?”

“Mimpi tertinggiku, karyaku di pajang di galeri internasional seperti Magnum atau mungkin di EastMan museum. Paling tidak, mengisi salah satu edisi di majalah Bazzart atau Vovue. Mungkin akan banyak pengorbanan juga untuk mencapainya,  apa kamu bersedia mendukungku?”

Ia kembali tersenyum,  “Tentu Mas... Aku orang pertama yang akan selalu mendukungmu.” Kemudia  ia membelai helian rambutku yang terlepas dari ikatan.

25 menit sudah kami mengelilingi Paris. Melihat Parc des Princes, Bois de Boulogne, hippodrome Longchamp, taman Saint-Cloud, Château de Versailles dan taman-taman Roi Soleil.  Trocadero, lanskap Tour Montparnasse dan tentu saja pemandangan menakjubkan dari Menara Eiffel.  Sepanjang perjalanan itulah sepertinya Rai merasa senang. Ia tidak berhenti tersenyum,  berteriak kegirangan.

“Ahh ...  Sayang ya besok kita harus pulang!” Ia menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya.

“Tenang aja,  masih banyak tempat bagus di Indonesia  yang harus kita kunjungi”

“Asikk ..., terus berikutnya mau ke mana?” Rai menghentak-hentakkan kakinya.

“Mmmm ... Desa munduk Bali,   sumba, gorontalo, atau bukit madoreh.”

“Wahhh ... Aku mau snorkling!”

“Boleh,  tapi ...  Ada bonus dulu dong untuk supirnya. ”

“Oke, tapi jangan yang susah-susah ya!”

“Gak susah kok,  Cuma pake lingeri untuk nanti malam plus pijitan”

“Isshhhh ... Dasar nakal!!!” Rai mencubit pipiku.

" Sakit sayang!"

Perjalanan bulan madu kami ke Paris memang harus terhenti karena banyaknya pekerjaan yang harus di tuntaskan.  Namun kami tetap bisa kembali mengulang destinasi ber bulan madu, menyelipkan waktu bersama pada pekerjaan kami. Mengajak Raiha ke lokasi jika ada pemotretan landscap. Naik gunung,  berpindah pulau,  melakukan hal yang memicu adrenalin. Diving, highking,  snorcling,  climbing.  Dan ternyata kami mempunyai kesukaan yang sama, yakni sama-sama suka bertualang. Itu pasti menjadi hal yang seru dan menyenangkan.

***

Labuan Bajo,  November 2017.

Kami berlari bekejaran dengan ombak,  menginjak pasir dengan kaki telanjang. Gelak tawanya terlepas ketika Kuangkat tubuh Rai ke tengah laut mengenai ombak, bercengkerama dengan alam.  Menikmati sunset dengan mendaratkan ciuman yang terasa asin dan basah,  terkena cipratan air laut yang bergemuruh.

Kami pun beristirahat sejenak ke pinggir pantai. Rai mengeringkan tubuhnya,  mengenakan kimono handuk sementara aku menyatukan tumpukan kayu yang sedari tadi kukumpulkan untuk membuat api unggun. Setelah api menyala,  Kurebahkan tubuh di atas pasir beralaskan tikar bersama Raiha.  Menikmati hangatnya api unggun di saat angin dingin menerpa.  Rai menutup matanya,  menyandarkan kepalanya pada dadaku. Sementara aku masih terus mendekapnya. Membelai rambutnya yang basah. Mendengarkan desiran ombak yang memecahkan keheningan malam di Labuan Bajo, itulah destinasi terakhir kami memasuki usia pernikahan satu tahun. Ya, Satu tahun dalam pernikahan kami yang sangat menyenangkan, begitu harmonis, juga romantis. Hingga saat ini tiba...

“Mas ...!”

“Mmmm ...”

“Apa kita bisa selamanya bahagia seperti ini?!”

“Kenapa,  apa kamu khawatir?”

Rai menggelengkan kepalanya,  “Aku ingin terus seperti ini” Ia memelukku erat.

"Aku juga ..." Aku mencium keningnya lalu Rai tersenyum.

"Mas ... "

" Ya? "

Ia menyelipkan benda pada telapak tanganku yang terkepal. Ku buka tanganku untuk melihatnya.

“Apa ini?” Aku bangkit dari tidurku, terkejut melihat benda berbentuk panjang bergaris dua berwarna merah yang ku pegang.

“Hadiah anniversary,  Aku hamil...!!!” Rai tertawa penuh bahagia. Matanya berbinar menatapku sementara aku hanya terdiam. Berpikir keras,  otakku terus bekerja berpacu dengan perasaan yang bergejolak.
.
.
.
.
.
Perasaan yang membuatku bingung...  Harus merasa bahagia atau apa?  Semua rasa bercampur aduk dengan kekalutan, keraguan, serta ketakutan. Ini terlalu cepat,  Aku rasa aku belum siap ...

“Kamu kok diem aja?, kamu gak seneng?!” Rai menatapku penuh khawatir.

“Se-Neng ...” aku  menutupi keraguan dengan senyuman.

Kututupi semua rasa gelisah itu.  Berusaha menikmatinya, meleburkannya.  Berharap tidak pernah ada yang berubah dalam kehidupan kami setelah ini, selain kebahagiaan yang bertambah dan selalu terasa lebih. Ya, aku harap ...

Bingkai Surga Untuk Raiha (+21)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang