⏸⏸⏸Kamu kembali berkunjung ke kediaman Tsukishima, benak meminta jeda atas tabrakan masalah yang mencelakakan hidup.
Di depan pintu ini, seperti biasa. Kamu memanggil, "Akiteru-nii! Bibi Keiko!"
Perempuan paruh baya keluar dari griyanya, menemui kamu yang diidamkannya menjadi menantu.
"Ara (name)-chan! Yuk sini masuk, Bibi sudah bikinin kue kering."
"Yey!" tanpa rasa malu, kau segera masuk dan mendatangi daerah dapur. Suasana keakraban langsung terjalin, soalnya kalian memiliki banyak kesamaan.
Semakin hari, makin banyak hal yang bisa kalian dibincangkan.
Obrolan nyatanya tak mengenal waktu. Jarum jam pendek menunjuk ke angka tujuh, menurut perkiraan Ibu, Kei sebentar lagi akan sampai disana.
Kalian tersentak kala mendengar suara pintu terbuka diiringi derap langkah berat.
"Tadaima,"
"Okaeri, Kei!" Kamu dan Ibunya Kei melukis senyum penyambutan.
Mata berbingkai kacamata menatapmu dengan sorot redup.
Kei sudah muak sekarang. Dirinya merasa dongkol atas hubungan merepotkan yang harus melibatkanmu. Perasaannya tidak berjalan sesuai kehendaknya, itu membuatnya sangat kesal.
"Kaa-san, aku bicara sebentar dengan (name) ya. Ayo,"
Kei menetralkan dadanya yang bergemuruh, sebisa mungkin berpikir rasional.
"Ah ya, Kaa-san juga mau masak dulu." sungging senyum mengiringi kepergiannya. Bersamaan dengan itu, kalian berjalan keluar rumah.
Hening menyapa muda mudi yang saling menyimpan perasaan, bungkam akan belaian.
Di bawah pohon, ditemani sebersik sandyakala. Kei mulai bercakap, "ngapain kamu disini?" kamu terenyak mendengarnya.
"Kan aku udah cerita, aku sering main kesini." kamu masih santai saja, toh tidak ada yang salah dengan jawabanmu.
Mata Kei agak memicing. "Cuma itu keperluanmu?"
Menurutmu, pemuda yang kamu taksir itu entah mengapa terasa asing dan sensitif sekarang.
Perkataannya memang selalu sinis dan jahil, tetapi ini berbeda. Ada desiran aneh di dadamu yang berkata, Kei sedang dilema.
"...iya," kamu mulai ragu.
Kei berdecak, "kamu sadar itu membuang waktu? Merepotkan."
"Tapi keluargamu tidak keberatan, kok.." sanggahmu tak ingin disalahkan.
Kei mendengus. Gerak geriknya mengisyaratkan satu hal; kesal.
Kamu yang tak nyaman berlama-lama dilingkupi canggung, mencoba membuka topik.
"Aku sudah dengar, sayang sekali Karasuno harus gugur."
Kini kamu agak menyesali pemilihan topik ini. "Tidak apa, kan masih ada tahun-tahun berikutnya." Kamu menyajikan senyum lembut, berusaha menghiburnya.
Pelipis Kei berdenyut, entah apa tujuannya. Tanganmu sedikit bergetar, pun meraih tangan besar Kei untuk mencari ketenangan.
Mengucapkan kata gugur mengingatkanmu pada kejadian beberapa jam yang lalu.
Dadamu rasanya sesak sekali.
"Aku juga sudah lihat beritanya, tentang Ibumu." Tutur Kei, tak terdengar nada simpatik dalam ucapannya.
Kau bergeming dengan pandangan kosong.
"Okaa.. okaa-san ...."
Kamu mulai terisak, sesekali menghapus buliran air mata, beberapa air mata mengering, memberimu kepingan kenangan pahit.
Kamu hampir selalu terlihat lemah di hadapan Kei, lelaki itu menjadi pendengar setiamu. Dalam kurun waktu beberapa bulan ini, kau suka sekali berekspresif di depannya.
Padahal kamu siswi yang tak banyak bicara dengan murid lainnya.
Karena itulah Kei merasa muak. Seakan kamu terlalu bergantung dengannya.
Kalian berdua sama-sama merasa paling sedih dibanding satu sama lain.
Kamu sesenggukan, mengharapkan dekapan hangat ataupun tepukan ringan.
Kei memandangmu berang, "sudah.. lebih baik kamu pulang sekarang."
Kamu tak bisa menahannya lagi. Bahkan disaat seperti ini, Tsukishima tidak luluh kah?
"..sebenarnya hubungan kita apa?"
Tsukishima menunduk. "Aku tidak pernah berkata kalau kita kekasih, kan. Kita memang berkomitmen, tapi kita tidak lebih dari teman sekelas, oke?"
Kei merasa sedikit bersalah, apakah perkataannya terlalu kasar ia pun tidak tahu.
"Tidak bisakah menghiburku sedikit? Aku baru saja kehilangan.."
Napasmu tersentak, ingatan bagai proyektor menyetel ulang kisah-kisah kalian yang kini tak terasa berharga.
"Aku turut berduka, ya." Tsukishima menepuk bahumu, sebelum akhirnya memberi bentangan jarak antar insan.
Matamu membulat nanar dengan bibir bergetar. "Tapi aku mau—"
Dalam sekejap mata, Tsukishima menyela ucapanmu. "Tolong pulang sekarang, (name). Aku lelah." Setelah itu, si pemuda pergi menjauh.
Kau terpaku di tempat.
Ah, kamu pikir Tsukishima berbeda. Kamu pikir lelaki itu tidak akan meninggalkanmu, seperti yang teman-temanmu lakukan.
Melihat Tsukishima menolak kehadiranmu, melucutkan emosi yang bersemayam jauh dalam inti perasaan.
Hari-harimu sudah terlalu berat untuk dijalani. Kamu tidak bisa lagi menampung puluhan liter kecaman dari masyarakat setempat.
Bukan diri yang membuatmu terus kuat, bertahan di penghujung hari. Melainkan sosok Tsukishima Kei, yang biasanya menjadi lapak berlindungmu. Zona nyaman, orang pertama yang mau mendengar kesahmu tanpa memberi nasihat paksaan.
Nayanika tak menahan rintihan sendu, sedangkan hati berkata; aku ingin menyerah.
▶️▶️▶️
-naru
KAMU SEDANG MEMBACA
-ˋˏ [HQ!!] ˎˊ₊· ͟͟͞͞➳T.kei [✔]
Fanfiction[Belum revisi] Sembari menekap mata dengan telapak tangan, buliran itu perlahan mengalir, melesat melewati sela-sela jari. Pada akhirnya, semua hanya terasa seperti lelucon pahit bagi Tsukishima Kei. Ada satu hal yang terus Kei sesali, sesuatu yang...