⏸⏸⏸
Aku akan perkenalkan, Ayah dan Ibuku.
Midori (lastname) dan Sena (lastname).
Ayahku seorang anggota kabinet pemerintahan, sedangkan Ibu bekerja sebagai sekretaris Direktur rumah sakit universitas.
Umur Ibu sudah melewati 45, dan Ayah 4 tahun lebih muda. Aku biasa menggambarkan keduanya sebagai orang yang gila bekerja, makanya mereka jarang di rumah.
Tapi kurasa Ayah dan Ibu tetap peduli padaku, sering mengomel waktu nilaiku jelek, maupun merayakan ulang tahun salah satu dari kami bertiga dengan makan bersama di sebuah restoran.
Aku sangat menyayangi mereka.
Sebisa mungkin, aku tidak mengambil spekulasi yang tak senonoh mengenai dunia mereka. Keduanya mungkin tak ada di sampingku, tapi ada di grup chat keluarga.
Kami memakai aplikasi garis.
Ini waktunya ke sekolah. Aku berencana menemui Tsukishima setelah pulang sekolah, pasti dia ada di gimnasium voli.
⏩⏩⏩
Tuh kan benar, ada disana.Eh tapi ada banyak temannya, kan jadi malu ....
Lagipula cuma bilang terimakasih, kenapa tidak di kelas saja sih. Otakku memang cuma sebagai hiasan dalam kepala nih. Apa aku titip saja terimakasihku ke Yamguchi? Dia kan sangat baik dan ramah.
Aku mengintip, mencari keberadaan Yamaguchi. Kan tidak mungkin aku masuk dan mempertaruhkan harga diri ini.
Aku berjalan berjingkat dan memperhatikan dari ventilasi yang ada di jangkauanku. Sebelum aku memutuskan akan mengambil tindakan apa, aku hanya ingin disana memandangi Tsukishima. Entah bagaimana aku menikmati pemandangan ini.
Aku pikir dia tidak memperhatikanku, tapi dia menengadah dari kegiatan menali sepatunya. Dengan begitu dia menangkap basah diriku, sekarang dia tahu aku ada disini dari tadi, memperhatikan kegantengannya.
Aku sedikit menaruh harap, Tsukishima dengan segala kerendahan hatinya menghampiriku, sekedar bertanya ada apa.
Alih-alih melakukan seperti bayanganku, ia justru memalingkan wajah dan fokus menali sepatunya.
Ah apa-apaan.
Sial, aku jadi kecewa 'kan.
Aku tak menyangka, Tsukishima mulai menatap mataku kembali untuk beberapa saat, setidaknya selama satu menit, ajaibnya dia yang memulainya!
Kelopak mataku mulai bergetar, hei aku sama sekali tidak mengedip loh demi kegantengan mu!
Sungguh, dia sengaja ya punya wajah ganteng? Pasti dia salah seorang kandidat jodohku nih ^^~
Aku terlalu terkesima sampai ternyata, ada yang memanggilku.
"(Name)-chan?"
"A-ah Hitoka. Ada apa?"
Gadis pirang mungil itu mungkin merasa resah. Ah Hitoka kan memang seperti itu, aku pun melepas kontak mata dengan Tsukishima. Padahal aku hanya menoleh sebentar untuk menanggapi Hitoka, tapi Tsukishima sudah tak berada dalam jangkauan penglihatanku.
Dia pergi. Menjauh dari angan dan harapan masa mudaku.
"A-anu (name)-chan, ka-kamu boleh saja masuk kalau mau melihat pertandingannya.." ujarnya, sedangkan aku menggeleng cepat. Saat kudekati Hitoka, dia beberapa centi lebih pendek dariku.
Aduh Hitoka, kamu benar-benar mungil.
"Tidak kok. Eum.. aku boleh titip sesuatu tidak?" tanyaku, mendekatinya yang berjarak sekitar 5 langkah dariku.
Aku tidak lagi merasa malu untuk mengucapkannya melalui seseorang. Selepas bertukar kontak mata tadi, aku seperti ... merasakan sebuah kekuatan mengalir dalam tubuhku. Tekadku untuk berterimakasih sudah bulat, meski tidak secara langsung.
"Apa itu?"
"Bilang terimakasih ke Tsukishima ya? Dari (fullname)."
Aku cuma, takut.
Takut mati kalau berbicara langsung dengannya.
⏩⏩⏩
"Terimakasih dari (fullname)-san?" ulang Tsukishima, menatap orang di depannya dengan tangan yang dimasukkan ke saku celana.
Yachi mengangguk, membenarkan perkataan Tsukishima.
"Oh, ya."
Tsukishima selepas mengatakan itu langsung berjalan lagi dengan Yamaguchi.
Yachi mengerjap, 'hanya itu?'
Kemudian manager kelas 1 itu mengambil ponselnya, menghubungi hasil yang ditunggu (name). Di griyanya, gadis itu tengah menanti bersimbah keringat dingin.
Garis!
Hitokaa
Kata Tsukishima-kun: Oh, ya
Begitu sajaAku cantik
ASHDGSGAJSKALALSP
MAKASII HITOKA!Sekali lagi, (name) ingin mati karena doki-doki.
Oke, anggap saja (name) tidak waras.
▶️▶️▶️
OwO
–naru
KAMU SEDANG MEMBACA
-ˋˏ [HQ!!] ˎˊ₊· ͟͟͞͞➳T.kei [✔]
Fanfiction[Belum revisi] Sembari menekap mata dengan telapak tangan, buliran itu perlahan mengalir, melesat melewati sela-sela jari. Pada akhirnya, semua hanya terasa seperti lelucon pahit bagi Tsukishima Kei. Ada satu hal yang terus Kei sesali, sesuatu yang...