[bon] serpihan hati

566 81 23
                                    

♡♡♡

⏸⏸⏸

Pada suatu tengah malam, lelaki bersurai pirang itu melangkah keluar rumah.

Mantel musim dingin, syal, dan sarung tangan. Semuanya terpasang rapi.

Ia mulai berjalan. Melewati pagar rumah orang dan pergi melintasi tiap sepi yang berlalu lalang.

Ia berhenti di depan sebuah gang sempit.

Pemuda itu menepis salju di kursi panjang, lalu duduk disana. Kedua tangannya digosokkan.

Lampu-lampu penerang jalan bersinar diantara kegelapan yang menguasai kota malam itu. Dia mendongak, memandang langit jelaga yang anehnya terlihat cerah.

Dan ingatannya mencoba menangkap kembali, memori ketika disana ada orang lain selain dirinya. Ia masih bocah naif kala itu, umurnya baru menginjak 16 tahun.

Dia lelaki dipertengahan 20 sekarang.

Pria ini sepertinya ingat, betapa erat sebuah dekapan waktu itu. Dan ingatannya tentang ekspresi yang menghanyutkan itu, meluluhkan kembali mimik kosong tersebut.

Untuk pertama kali dalam hidupnya, ia sadar. Suatu hari dirinya akan pergi meninggalkan dunia dan segala hal yang ia sukai.

Itu pikiran yang menakutkan, baginya.

Dan seseorang telah membuka pikirannya akan hal itu, menunjukkan segala sesuatu yang tak pernah dilihat atau dibayangkannya.

Seseorang memperlihatkan pandangan dunianya pada lelaki itu.

Sembari menengadah, ia membayangkan hal-hal yang akan dibayangkan dirinya dulu.

Mungkin saja bayangan seperti; Pteranodon dengan ukuran besar tengah memecah sinar ultraviolet dan terbang dengan kecepatan konstan ke arah yang berlawanan dengan angin.

Ah, kenapa pteranodon? Itu kan bukan favoritnya.

"Sou~ kamu suka jurassic park dan favoritmu brachiosaurus?! Kalau aku sih sukanya pteranodon. Eh, kenapa aku suka yang itu? Gimana ya bilangnya ...."

"Mungkin karena dia punya kebebasan yang tak terbatas!"

Pemuda ini duduk disana sembari membayangkan hal itu, untuk waktu yang cukup lama.

Setelah beberapa saat, fajar pun merekah.

"Keii, coba pakai ini."

"Iyap ini earphone. Kamu tau tidak, earphone itu mengajarkan kita untuk berbagi."

"Berbagi apa? Tentu saja berbagai musik dan kebahagiaan~!"

Ekspresi dan mimiknya tak berubah.

"Kei, bintang sangat indah bukan? Bersinar menerangi malam bersama bulan."

Saat itu Kei malah menjelaskan secara logis bagaimana bintang bisa berkelap-kelip di langit, dan teori subjektifnya mengenai hal tersebut, sekaligus rumus algoritma bintang jatuh heuristik.

"Ish kamu ini Kei---kepalamu sudah terlalu dipenuhi fisika dan eumm.. biologi juga!"

"Cobalah untuk melihat dunia sebagai makhluk tanpa akal, bukan manusia berpendidikan."

"Jika kamu melakukannya, Kei, dunia hanya sebuah dongeng yang indah."

Ia tak hidup untuk membentuk paksa lengkungan sungging senyum agar menyenangi orang lain atau pembukti bahwa ia baik-baik saja.

Kei juga tidak hidup diiringi harapan yang melambung tinggi, atau tekad serta ambisi yang meluap-luap. Dia menjalankan hidup seperti semestinya, menjadi orang normal yang tidak suka mencolok.

Dirinya telah diajarkan berdamai dengan kegelapannya sendiri, tidak berpikir untuk menyembunyikan sisi buruknya.

Dan kembali, tanpa memahami mengapa, Kei mengalami kesedihan yang ganjil.

Sebenarnya ia merasa pesimis sekarang, benar-benar putus harapan. Ia tidak sedang mencoba untuk menyembunyikannya, tapi jangan khawatir, ia cukup pandai mengontrol air matanya.

Ada banyak yang orang itu ingin utarakan, namun lelaki pirang ini tidak mau mendengarkan.

Orang itu ... namanya (name), kan??

Alih-alih mengingat betul, Kei justru menebak-nebak siapa gadis yang senantiasa bersemayam dalam benak serta hatinya.

Seandainya Kei mau menetap, takkan ada hari-hari suram berkepanjangan, tidak ada hal pilu mengiris perasaan, atau air mata yang menetes serta kerumunan rasa bersalah.

Jika saja Kei mau mendengarkan segala keluh kesah, bukannya menerima secara sah topeng senyuman dan ketegaran (name), kemudian melarikan diri sebab tak ingin sanubarinya turut tersiksa.

Aku seharusnya menemaninya.

Mustinya si pemuda pirang tau, bahkan sang matahari bisa saja turun dari singgasana.

Aku seharusnya mendengarkannya.

Semestinya Kei memberi perhatian, bukannya menghunuskan hujaman bak belati.

Aku seharusnya menghiburnya.

Sembari menekap mata dengan telapak tangan, buliran itu perlahan mengalir, melesat melewati sela-sela jari.

Aku seharusnya ... memeluknya.

Pada akhirnya, semua hanya terasa seperti lelucon pahit bagi Tsukishima Kei.

Ada satu hal yang terus Kei sesali, sesuatu yang amat ingin ia perbaiki.

Ck sial ... aku merindukannya.

Kei berkontradiksi. Terdengar konyol memang, tapi, ia sungguh menyesal.

▶️▶️▶️

OwO! Kita sampai di penghujung chapter, aku senang banget hehe!

Ilysm guys♡

Terimakasih banyak para pembaca sudah setia sampai akhir, bukannya kabur seperti si jangkung pirang :P andd buku ini officially tamat!

Thank you for everything mwah (•w•)/~♡

Ah, hampir lupa! Aku tunggu krisar dan kesan/pesan kalian tengang cerita satu ini yaak(ง •̀ω•́)ง✧

Tenang aja! Naru ngga bakal baper klo dikritik dgn kritis, kan biar LAKIK!

Jaa matta ne~

-naru

-ˋˏ [HQ!!] ˎˊ₊· ͟͟͞͞➳T.kei [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang