pet·ri·chor
/ˈpeˌtrīkôr/(n.)a pleasant smell that frequently accompanies the first rain after a long period of warm, dry weather.
******
Jeremy Alexander tidak akan pernah lupa dengan ruangan serba putih dengan sofa panjang berwarna cokelat muda, lemari besar yang menempel di dinding berisikan buku-buku tebal yang enak sekali jika dijadikan senjata memukul maling, setumpuk kertas di atas meja kerja dengan satu set perlengkapan komputer sebagai pelengkap. Bahkan sejak awal kedatangannya ke tempat itu, di sambut hangat oleh seorang dokter yang memiliki selera humor rendah, ruangan itu tidak benar-benar berubah.
Baiklah, sebenarnya tidak rendah-rendah sekali. Hanya saja, entah kenapa Jay benar-benar tidak habis pikir dengan dokter spesialis jiwa yang mudah sekali tertawa untuk hal-hal yang tidak sepantasnya ditertawakan. Seperti misalnya hanya dengan melihat dua kucing berkelahi, daun yang jatuh di atas kolam, ekspresi seorang anak kecil yang menangis. Jangan lupakan lelucon garingnya yang selama ini membuat Jay terpaksa tertawa tak kalah garing sebagai wujud sopan santun―sekalipun dokter itu justru tertawa terpingkal sampai-sampai bertepuk tangan tak kalah heboh.
Ingin sekali sesekali mengomentari, tapi Jay masih memikirkan perasaan seorang dokter yang sudah menganggapnya sebagai adik sendiri. Dokter Jin memang teramat baik untuk sekadar Jay timpalkan hal yang mengganjal hatinya selama ini. Biar bagaimana pun, dokter tersebutlah yang menerima Jay dengan tangan terbuka, membimbingnya dengan baik sampai detik ini.
"Jangan melewatkan obatmu lagi, Jay. Sudah ku peringati berkali-kali. Jangan sampai lupa," pinta Jin, pria itu ikut melangkah sampai depan pintu, mengantar Jay untuk keluar.
"Iya, Kak," ujar Jay, menatap getir pil-pil tak asing itu yang dibungkus plastik kecil berwarna biru, "waktu itu aku ketiduran. Tidak sempat minum. Apa aku masih harus tetap kontrol?"
"Masih," jawab Jin tanpa pikir panjang, "kondisimu masih belum baik. Aku harus tetap pantau sampai sekarang. Bisa ditinju sama Ivan kalau nggak bisa jagain adiknya baik-baik," candanya.
Jay tertawa kecil, sedikit enggan ketika nama Ivan mulai dibawa-bawa, "Aku jarang kontakan sama Kak Ivan lagi, Kak," ucapnya.
"Lho, kenapa?" Jin bertanya, dua tangannya terjejal dalam saku jas putih, sesekali membalas senyum saat beberapa orang menyapanya.
Jay mengedikkan bahu, "Sibuk kali dia."
Jin tersenyum, satu tangannya menepuk pundak Jay, "Dia lagi sibuk sama kerjaannya, Jay. Dia rutin nanyain kamu, kok. Jangan sedih gitu, oke?"
Pada akhirnya, Jay mengangguk dengan satu hembusan napas. Sadar bahwa ia tidak bisa berharap banyak dengan lelaki yang kini sedang berada di luar kota itu, "Makasih, ya, Kak. Kalau begitu, aku pamit."
KAMU SEDANG MEMBACA
Reasons [END]✔️
Romance❝Cinta Jay. Cinta sekali❞ Selayaknya kisah-kisah cinta klise yang biasa dia baca. Jatuh cinta pada pandang pertama terhadap Jay membuat Lamia sudah macam bocah ingusan yang baru pertama kali jatuh cinta. Terus penasaran dan berusaha mencari tahu sia...