06. Travesty

85 24 14
                                    

trav·es·ty
/ˈtravəstē/

(v.) represent in a false or distorted way.

*****

Lamia baru saja pulang dari kampusnya dan meletakkan seluruh barang-barang ketika pintu kamarnya diketuk dari luar. Menengok dan melihat Papa menyembul dari balik pintu.

"Mau temani Papa ke gedung studionya Yuno, La?" ajaknya.

"Mau ada apa, Pa?" tanya Lamia.

"Ada beberapa berkas yang bermasalah. Terkait urusan sewa gedung," jawab pria itu, Lamia mengangguk. Meskipun dia tidak begitu mengerti perihal urusan bisnis yang terikat antara Papanya dan Yuno, setidaknya inti dari kedatangan Papanya itu bisa ditangkap jelas oleh Lamia.

"Tumben Papa ngajak. Biasanya sendiri." Lamia berjalan menuju gantungan tas selempangnya, menarik satu secara acak dan memasukkan beberapa barangnya di sana.

"Sepi saja di mobil harus sendiri. Lagian juga ada kamu. Sekalian di ajak."

Setelah itu, tidak ada hal menarik yang terjadi. Semuanya berjalan dengan normal. Lamia yang berangkat bersama Papanya dengan mobil, membelah kota Jakarta. Melirik keluar jendela sesekali bersenandung mengikuti irama lagu lama yang dinyalakan di mobil. Pun Papa yang juga sesekali bertanya tentang kuliahnya, perkembangan skripsinya sudah sejauh mana, kesulitan yang dihadapi, berakhir dengan wejangan agar Lamia bisa segera menuntaskan urusannya tanpa perlu terlalu stres dengan pekerjaannya.

Papa selalu menjadi teman cerita yang baik, tentunya setelah Mama. Jadi, perjalanan mereka selama kurang lebih hampir tiga puluh menit itu berjalan dengan tidak membosankan. Poin tambah tidak ada acara macet, mulus-mulus saja.

Turun dari mobil dan segera memasuki gedung, keduanya mendapat bungkukan hormat dari beberapa penari yang bekerja di sana. Lamia tidak membalas hormat-hormat itu kecuali jika melihat mereka benar-benar memberikan padanya. Gadis itu sesekali tersenyum ramah jika ada yang menyapa. Kehadiran mereka berdua di sini sudah sangat tidak asing. Mengingat bahwa Papa Lamia adalah pemilik gedung yang ditempati oleh Yuno, Kakak sulung Ryu.

"La tidak mau ikut masuk?" Papa bertanya ketika sudah sampai di depan pintu, hendak membukanya.

Lamia tampak berpikir, berakhir dengan gelengan singkat, "Papa saja. La mau tunggu di luar." Berpikir kalau di luar dia lebih leluasa. Lagipula perbincangan terkait bisnis itu sama sekali tidak menarik minatnya.

Jadi, Papa mengangguk. Lekas mengetuk pintu dan membukanya. Meninggalkan Lamia yang duduk di depan ruangan. Gadis itu mengeluarkan ponsel, memilih menunggu Papa yang mungkin saja tidak lama untuk menghabiskan waktu. Ini bukan hari libur atau akhir pekan. Jadi Ryu dan Hobi tentunya tidak pergi ke sini. Mereka tengah fokus bekerja di tempatnya masing-masing. Mengganggu keduanya dengan memaksa datang pun bukan ide yang bagus. Apalagi mau meminta Jay datang menemuinya.

Hah, mengingat lelaki itu kembali membuat Lamia dilanda penasaran setengah mati. Tidak, La, kamu harus fokus dengan kuliahmu, jangan terlalu memikirkan hal itu. Biar bagaimana pun, dia dan Jay belum ada perkembangan sama sekali. Terutama setelah mendapati nomor ponsel pria itu, jangankan mengangkat telepon, membalas pesan singkat yang mungkin sudah ratusan dikirim Lamia saja tidak. Hanya berakhir dengan dua centang biru dan―sudah. Tidak ada lagi yang terjadi setelahnya. Sumpah, dijawab dengan satu huruf pun tidak.

Bukan bermaksud Lamia abai lantaran pemilik hatinya itu kemungkinan sedang dilanda depresi. Hanya saja, ini terlalu cepat. Sangat cepat sampai-sampai Lamia harus mengambil jeda sejenak untuk benapas dan berpikir jernih. Menimbang langkah apa yang harus ia lakukan demi kemaslahatan hidup dan memperoleh keturunan yang berkualitas.

Reasons  [END]✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang