a·nath·e·ma
/əˈnaTHəmə/(n.) something or someone that one vehemently dislikes.
*****
Gelak tawa mengudara seiring dengan candaan yang terlontar. Terpingkal cukup heboh dengan dua tangan yang saling bertepuk keras. Memilih apatis pada tatapan heran dari orang-orang sekitar. Toh, setiap orang memiliki haknya masing-masing dalam sana. Kendati sebuah peringatan saling mereka lontarkan guna mengingatkan diri agar tidak mengganggu ketenangan yang lain.
Ivan datang. Menyadari kakak tercintanya hadir menjenguk adik, maka Hobi memberikan kebebasan sampai kapanpun keduanya puas menghabiskan waktu. Sebenarnya Jay sendiri ingin menghabiskan waktu di luar, tapi Ivan lebih memilih untuk menetap. Katanya ingin mencoba makanan di restoran Hobi, apakah masih sama seperti ketika dipegang oleh ayahnya atau justru semakin tidak enak―yah, ini hanya candaan tentu saja. Syukurnya Hobi sudah paham benar karakter Ivan yang cuek-cuek frontal itu. Sebelas-dua belas dengan adiknya.
Mungkin itu sudah es kopi ketiga yang dikonsumsi Ivan. Mereka cukup lama berbincang, saling bertukar kisah di tempat rantauan masing-masing. Ah, maaf, sepertinya hanya Ivan saja yang merantau karena Jay tidaklah pergi kemana-mana.
Sisa-sisa tawa itu masih ada, pun dengan satu dua cerita yang masih berlanjut. Jay tampak menikmati waktunya. Dua iris sabit itu melihat Ivan yan tengah menyampaikan beberapa cerita dari teman kantornya yang cukup menyebalkan.
Memusatkan atensi penuh dan menjadi pendengar yang baik adalah keahlian Jay hanya jika bersama dengan Ivan.
Pun sebaliknya. Menjadi seseorang yang manis dengan segala keramahan dan bibir yang tak berhenti berucap adalah keahlian Ivan hanya jika sedang bersama Jay.
“Kamu rajin minum obat, kan?” Ivan pada akhirnya bertanya memastikan, satu tangannya meraih gelas berisi es kopi sebelum menyeruputnya.
“Iya, Kak. Selalu rutin konsul sama terapi juga, kok,” jawab Jay.
“Masih sering dengar suara-suara seperti dulu?” tanya Ivan, Jay mengangguk.
Ivan menyilangkan kaki dengan punggung yang menempel pada sandaran kursi, pandangannya menuju luar kafe melihat orang-orang yang berlalu lalang, “Ya sudahlah, yang penting kamu berobat dengan baik. Kamu harus sembuh.”
Pembicaraan ini mulai mengarah serius. Jay sangat paham. Pun dengan sorot khawatir yang tampak dengan jelas melalui mata sabit kakaknya itu, lantas ia tersenyum getir, “Nggak usah khawatir, Kak Ivan. Aku masih rajin, kok. Lagian ...” menggantung sejenak ucapannya guna mengambil satu tarikan napas dengan kepala tertunduk, Jay melanjut, “aku juga masih mau hidup.”
Ivan tersenyum simpul. Badannya tercondong, mengambil satu tangan Jay untuk digenggamnya dan memberikan kehangatan dari usapan ibu jari di punggung tangan si bungsu, “Jay ... tolong maafkan Mama. Bisa?”
Jay lantas mengangkat cepat kepalanya. Kedua alisnya menyatu dengan sorot penuh tanda tanya terarah pada Ivan. Ivan bahkan hanya mencoba tersenyum tipis, gasak-gusuk tampak tak nyaman dengan wajahnya yang sedikit ragu,
“Sebenarnya, kedatangan Kak Ivan sekarang mau kasih tau ... kalau Mama sedang dirawat di rumah sakit. Usia Mama sudah nggak muda lagi. Mama sudah sering bolak-balik berobat. Kamu mau jenguk Mama?” pinta Ivan, memohon dengan teramat sangat pada adiknya.
Jay menarik tangannya yang berada di genggaman Ivan. Menatap kakaknya dengan raut wajah tak percaya dan seratus persen tidak setuju. Ivan bahkan bisa melihat bagaimana bulir-bulir bening mulai membasahi dahi adiknya, perlahan turun menampakkan eksistensi dengan jelas. Pun bersamaan dengan mata si bungsu yang mulai berlinang membuat Ivan berada di situasi yang sangat tidak ia inginkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Reasons [END]✔️
Romance❝Cinta Jay. Cinta sekali❞ Selayaknya kisah-kisah cinta klise yang biasa dia baca. Jatuh cinta pada pandang pertama terhadap Jay membuat Lamia sudah macam bocah ingusan yang baru pertama kali jatuh cinta. Terus penasaran dan berusaha mencari tahu sia...