31. Bereft

70 16 5
                                    

be·reft/bəˈreft/


(adj.) (of a person) sad and lonely, especially through someone's death or departure)

*****

Untuk pertama kalinya, mungkin Lamia merasa benar-benar hidup. Tidak ada yang benar-benar membahagiakan selain menghabiskan waktu dengan Jay setiap akhir pekan. Keduanya selalu mendapatkan tempat yang bagus untuk menghabiskan waktu demi melaksanakan ritual kencan tiap minggu.

Memutuskan untuk rehat sejenak dari rutinitas yang membuat kepala panas. Mengambil napas dalam-dalam dan menghirup udara segar di pagi menjelang siang hari sembari duduk di bangku taman misalnya. Itu bukan termasuk hal yang buruk untuk dilakukan, bukan?

Kepala Lamia bersandar di bahu Jay. Sembari memandang orang-orang berlalu lalang. Keluarga kecil yang menggelar karpet untuk piknik di rerumputan, segerombol remaja yang tengah berbincang bersama, orang-orang yang sedang berolahraga, juga beberapa pasangan kekasih yang menghabiskan waktu bersama seperti mereka.

Lamia tidak pernah menyangka bahwa jatuh cinta dan menghabiskan waktu bersama dengan orang yang ia cintai akan benar-benar menyenangkan. Apa, ya?  Seperti ada perasaan menggelitik yang memenuhi perutmu dan ada sebuah sengatan kebahagiaan yang memenuhi diri. Itu benar-benar terasa luar biasa.

Untuk waktu yang barangkali tidak lama, Lamia memutuskan untuk mengesampingkan dahulu kemungkinan terburuk yang akan terjadi ketika perjanjian mereka selesai. Ketika semua benar-benar usai dan pilihan itu secara mutlak berada di tangan Jay.

Lamia tahu bahwa menjadi realistis itu perlu dalam sebuah hubungan. Untuk meminimalisir sakit hati dan perasaan terluka yang tentu saja akan tetap ia dapatkan. Hanya saja, apakah pernah ada orang yang benar-benar menggunakan akal sehatnya jika sudah dihadapkan sindrom merah jambu ini? Karena secara pribadi, Lamia juga sudah mulai merasa bahwa ia  kehilangan sedikit demi sedikit kewarasannya ketika bersama dengan seorang Jeremy Alexander.

"Gimana, La?  Pilihan tempatku bagus, kan?"

Lamia mengangguk. Tanpa menoleh dan tetap memandang ke hadapannya. Gadis itu bahkan semakin mengeratkan pelukannya pada lengan Jay, "Bagus sekali. La jadi malas untuk segera pulang."

Jay terkekeh. Satu tangannya yang bebas menyubit ujung hidung Lamia, "Kita harus pulang, La. Sudah dari pagi di sini. Ryu dan Hobi juga pasti nyariin kita."

"Alah, palingan mereka juga lagi senam sehat bareng," komentar Lamia, kepalanya justru mendusel di bahu Jay. Mencari  kenyamanan lebih di sana.

Jay kembali tertawa, "Iya, ya. Mereka kalau senam kan nggak pernah ingat waktu. Bahkan ingat sama keadaan sekitar," timpal Jay menanggapi gurauan Lamia.

"Makanya kita juga harus cari hal-hal yang seru. Nggak boleh kalah sama mereka. Lagian nggak capek kakak jadi nyamuk selama delapan tahun?"

"Hitungannya tiga tahun, sih. Mereka kan mulai pacaran pas kuliah."

"Iya juga, ya. Lupa."

Sudah tidak ada lagi pembahasan setelah itu. Lantaran keduanya tampak lebih nyaman menghabiskan waktu bersama dengan angin lembut yang menerpa tubuh mereka. Membuat rambut Lamia yang mulai memanjang itu melambai lembut. Membawa aroma vanila yang entah sejak kapan menjadi kesukaan Jay. Menyebabkan lelaki itu betah lama-lama berada di dekat Lamia. Pun terima-terima saja ketika Lamia melakukan apapun terhadapnya.

Reasons  [END]✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang