16. Intransigent

60 18 2
                                    

in·tran·si·gent
/inˈtransəjənt,inˈtranzəjənt/

(adj.) unwilling or refusing to change one's views or to agree about something.

*****

"Benar-benar nggak bisa?"

Tangan yang semula tengah membersihkan sisa-sisa air di piring-piring yang bersih itu seketika terhenti. Jay lantas meletakkan kembali piringnya ke tempat semula, menaruh asal lap berwarna putih itu sebelum menggerakkan badan untuk menatap Hobi yang tengah berkacak pinggang di sampingnya.

Maka Jay menggeleng pasti, "Nggak bisa, Bi. Ini sudah keputusanku."

"Cuma nonton saja, Jay. Apa susahnya? Hanya menonton."

"Justru karena hanya menonton. Itu yang susah," nada bicara Jay sedikit menaik, kedua tangannya bertumpu pada pinggiran westafel pencuci piring, "tolong jangan paksa aku, Bi. Kalau dia mau nonton, pergi saja sendiri atau sama teman-temannya yang lain. Jangan maksa kayak gini."

Hobi menghela napas, kedua tangannya kini sudah berpindah menyilang di depan dada, "Ada apa sama kalian? Seingatku kalian berdua baik-baik saja kemarin."

"Apa? Kita nggak ada apa-apa." Jay mengelak, kembali menggerakkan kedua tangannya untuk menyelesaikan pekerjaan.

"Bohong sekali. Kalau nggak ada apa-apa, nggak mungkin Lamia sampai suruh aku buat bujuk kamu kayak gini. Apalagi dia sampai bilang kamu bener-bener hindarin dia."

Jay berdecak, "Kamu tahu sendiri Lamia kayak gimana. Masih saja heran."

Agaknya Hobi tidak kunjung menyerah, matanya memincing menyelidik. Dalam hati bersorak menang lantaran menyadari Jay yang tengah berusaha menghindar, "Kamu apain Lamia, Jeremy?"

Pergerakan Jay saat menaruh piring-piring itu ke dalam rak otomatis terhenti. Pertanyaan Hobi yang menjeda sejenak kegiatannya. Tentu saja membawa Jay kepada ingatan tempo lalu ketika hujan besar melanda dan Lamia dengan kadar kepercayaan diri yang tidak kunjung berkurang itu justru menyatakan cinta pada Jay. Kendati pemuda itu lekas mengembalikan kembali ekspresinya menjadi seperti semula.

"Dugaanku benar. Terjadi sesuatu di antara kalian." Belum saja Jay membalas pertanyaan sebelumnya, Hobi terlebih dahulu menimpal, "aku ini kenal kamu nggak cuma satu dua tahun, Jay. Meskipun kamu sahabatku, Lamia juga adikku. Apapun yang terjadi di antara kalian, selesaikan. Jangan seperti ini."

"Ah―satu lagi," Hobi yang baru saja berjalan satu langkah kembali berbalik, "sekalipun kamu sahabatku juga, kalau kamu nyakitin Lamia, aku nggak bakalan diam saja. Kamu harus ingat itu."

Jay menghela. Kepala tertunduk, tapi sudut matanya masih bisa menangkap Hobi yang meninggalkan dapur. Lelaki itu mengerang kesal. Susah sekali kalau sudah berurusan dengan gadis berisik itu. Bukannya membawa untung, dia malah susah begini. Malah dipaksa pula. Bisa tidak, sih, Jay itu bergerak sesuai kemauannya sendiri? Kalau mau ya ayo, kalau tidak ya jangan. Namun agaknya entah itu Ryu dan Hobi, keduanya seolah melupakan eksistensi Jay dan titel bahwa pria bermata sabit itu juga sahabat mereka sejak delapan tahun yang lalu.

Lamia dan pernyataan cinta bodohnya itu, semakin menyulitkannya saja.

***

Membiarkan musik mengalun lirih agar suasana tidak terlalu sepi dan mencekam. Karena sejak tadi entah itu Lamia ataupun pria yang tengah duduk di sampingnya itu tidak satupun membuka mulut atau sekadar niat membuka sebuah topik. Setelah menjemputnya, Lamia hanya menyapa ringan seperti biasa kemudian menjalankan mobil. Membawa mereka untuk mendatangi gedung bioskop untuk menikmati salah satu film yang ada di sana.

Reasons  [END]✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang