20. Candor

71 17 3
                                    

can·dor
/ˈkandər/

(n.) the quality of being open and honest in expression; frankness.

*****

Jay melangkah menuju meja biasa yang ditempati Lamia dengan satu nampan berisi dua piring pesanan gadis itu. Setelah seringkali mengajak Jay untuk duduk bersama dengan dia, Lamia tentunya tidak akan membiarkan Jay untuk duduk diam dan hanya melihatnya makan, jadi gadis itu selalu memesankan satu lagi makanan lain untuk Jay. Entah itu minuman atau makanan, pokoknya ada hal yang bisa dikonsumsi.

Dengan langkah gontai pun hembusan napas yang berat, Jay meletakkan kedua piring itu dengan enggan. Mengabaikan dengan jelas raut wajah antusias yang selalu Lamia tunjukkan di hadapannya.

"Kita makan yang ringan-ringan saja ya. Kak," kata Lamia, menatap penuh minat camilan yang berada di kedua piring mereka, "Kakak kan sudah makan sama kakak ipar," lanjutnya, seraya mengambil satu kentang goreng dan menyoleknya di saus sambal.

"Nggak usah panggil kakak ipar," kata Jay sedikit terganggu, "lagian dia nggak bakalan jadi kakak iparmu."

"Kenapa?" tanya Lamia, "Lagian kan kita bakalan pacaran, ya meskipun nggak sekarang-sekarang ini, sih, tapi kalau Kakak mau kita pacaran sekarang juga nggak apa-apa." Lamia menampilkan cengiran khasnya itu.

Jay merotasikan matanya, "Nggak usah ngomong yang aneh-aneh. Kita nggak bakalan pacaran. Sekarang, besok, besoknya lagi, besok besoknya lagi, sampai besok kita udah tua. Nggak bakalan ada pacaran," tegas Jay.

Lamia meletakkan kembali kentang gorengnya, "Kak, jangan terlalu nolak begitu. Nanti kalau Kakak yang bucin sama La, La nggak bakalan tanggung jawab lho," peringatnya.

Jay mendecih, tertawa remeh dengan sorot mata yang serupa, "Kalau ngomong itu di pikir-pikir dulu," badan Jay tercondong, menatap Lamia lekat-lekat dengan seringai di wajahnya, "kalau aku udah bilang nggak ya nggak. Lagian ... kamu nggak capek ditolak terus? Semurah apa, sih, kamu? Sampai ngejar-ngejar begini. Udah nggak punya malu dan harga diri?"

Kedua tangan Lamia terkepal kuat. Menahan amarah yang menggelora dan menggebu ingin segera di lontarkan. Pun deretan penghuni kebun binatang yang tengah diabsen dalam hati dan ditelan kembali melalui tenggorokan. Tidak. Ini hanya bagaimana Jay tengah mempermainkannya. Lamia tidak boleh kalah dan goyah. Apalagi lepas kendali.

Meskipun, tetap. Seringai khas di wajah Jay dan sorot mata yang merendahkan itu sangat tidak disukai Lamia, bahkan dibencinya.

Mendadak, makanan lezat yang tersaji di hadapan mereka sudah tidak lagi menggugah selera. Tidak lagi menarik minat untuk disantap. Seolah keinginan untuk segera berbincang seperti biasanya itu menguar begitu saja. Pun aroma lezat yang sejak tadi dihirupnya seolah pergi terbawa angin dan mengawang di udara.

"Dari pada murahan, gimana kalau berjuang adalah hal yang kita nilai di sini?" mencoba tetap tenang dan tidak tersinggung, Lamia melipat tangan di pinggir meja, membalas tatapan Jay tidak kalah intens.

"Apa?"

Turut menarik satu sudut bibir, Lamia berucap, "Nggak heran kalau banyak orang yang benci sama Kak Jay di luar sana. Karena Kakak selalu melihat sisi negatif dari semua hal yang terjadi di sekitar Kakak," komentarnya.

Mengatup bibir dengan pandangan yang menajam, Jay berucap, "Lalu, kenapa kamu justru tetap diam disaat orang lain pada pergi dan benci sama aku?"

"Karena La selalu melihat hal positif yang terjadi di sekitar La."

Seperti kehilangan kata-kata, Jay sudah merasa dikalahkan dan keadaan langsung berbalik. Namun sama seperti Lamia, lelaki itu tidak ingin dikalahkan begitu saja.

Reasons  [END]✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang