04. Iridescent

104 28 15
                                    

ir·i·des·cent
/ˌirəˈdes(ə)nt/

(adj.) showing luminous colors that seem to change when seen from different angles.

*****

Setelah puas menikmati makan malamnya bersama teman-teman kampus tadi, Lamia bisa bernapas lega, kelewat lega lantaran perutnya sudah terisi penuh dan beruntungnya gadis itu belum sempat makan siang. Jadi, sekalipun harus dihadapkan dengan keadaan macet seperti tadi, setidaknya Lamia tidak perlu susah payah menghabiskan tenaga untuk marah-marah karena perut sudah terisi penuh. Disamping itu, membawa bekal makanan ringan sebagai temannya di jalan diiringi suara Louis Tomlinson yang memenuhi mobil nampaknya tidak terlalu buruk untuk membunuh waktu sampai mobil yang ia bawa bisa berjalan dengan semestinya.

Itu sebabnya, sekalipun dia baru saja dihadapkan oleh macet yang luar biasa, kondisi emosi Lamia nampaknya masih tetap stabil sampai-sampai ia tidak mengeluarkan sumpah serapah atau marah-marah seperti biasanya.

Sebenarnya itu tidak bisa dikategorikan makan malam, sih. Namun, makan siang rangkap makan malam, karena mereka mengonsumsinya di sore hari. Tidak apa-apa, lah. Hitung-hitung mengurangi kalori jadi dia tidak perlu makan malam. Dia tidak boleh terlalu gendut. Sudah cukup Hobi mengoloknya buncit seperti babi, Lamia tidak mau mendengar lagi olokan itu dari orang lain. Memang dasar Hobi bermulut pedas nan tidak tahu menyaring kalimat. Darimana, sih, Kak Ryu dapat spesies pacar macam itu?

Eh, tapi kalau camilan tidak apa-apa, ya?

Mendadak Lamia berpikir, setelah kedatangan Ryu menghabiskan stok camilan di rumahnya, sepertinya persediaan yang selalu ia simpan di kulkas itu mendadak sudah habis atau menipis barangkali. Dasar Ryu pembawa rusuh dan tukang habisin isi kulkas, untung saja Lamia sudah makan, dia tidak perlu marah-marah. Anak cantik tidak boleh marah, nanti cepat tua.

Baiklah, kembali ke waktu sekarang, ketika Lamia sudah berhasil dari kemacetan. Jam sudah menunjukkan pukul 8 malam. Ponsel berdering, pesan dari Mama menanyakan keberadaan Lamia yang tak kunjung pulang. Hanya dibalaskan singkat oleh Lamia bahwa ia sedang di jalan. Ah, mendadak teringat dengan stok jajan yang menipis di rumah. Jadi, gadis itu menyalakan lampu sein dan berhenti di depan mini market untuk membeli stok persediaan isi kulkas―berharap saja Ryu tidak datang lagi ke rumahnya dan menghabiskan seperti pekan lalu.

Stok es krim yang dibelikan Hobi masihlah banyak. Lelaki itu tidak main-main membelikan Lamia satu ember es krim yang serta merta mengundang senyum teramat lebar bahkan nyaris merobek bibir. Mendadak teringat ucapan Mama saat terkejut menerima kiriman satu ember es krim.

"Sebenarnya La sudah umur berapa, sih? Kasihan Hobi. Uangnya nanti habis," ucap Mamanya yang mengundang senyum kemenangan milik Hobi.

Lantas, Lamia protes tidak terima, "Biar saja. Mereka sudah menelantarkan adik sendiri. Ini bayaran atas menunggu berjam-jam sampai mau mati kebosanan."

Jadi, karena stok es krim masih banyak, Lamia memutuskan untuk melewati freezer es krim dan memilih menuju deretan snack berbungkus warna-warni. Gadis itu melewati juga deretan cokelat yang menggugah selera lantaran tidak mau terlalu banyak menaikkan berat badan hanya karena rasa kepuasan yang bertahan sementara. Mungkin nanti ketika mood-nya memburuk, baru Lamia akan membeli cokelat.

Namun, tepat di jajan keenam yang ia pilih, Lamia menangkap sesuatu tak asing. Sanggup membuat senyum secerah bulan purnama yang tengah menerangi bumi pada malam itu. Sudah berapa lama, ya, tidak bertemu dengan orang itu? Tiga hari, kah?

Lelaki itu, Jay, meskipun berdiri membelakanginya, tapi Lamia bisa melihat dengan jelas dari perawakan juga rambut hitamnya yang menarik perhatian. Menarik perhatiannya Lamia, sih sebenarnya. Karena mungkin bagi orang lain itu bukanlah apa-apa.

Reasons  [END]✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang