S2: {Chapter 37}

365 55 2
                                    

A/n: Gercep banget votenya :")

.
.
.

"Ya ...?!"

Gadis bersurai coklat itu membelalak, seketika selepas mendengar salah satu petugas Istana Obelia yang menyuruhnya untuk datang kembali. Tunggu ... Dia tidak akan diberi hukuman, 'kan?

"T-tapi ... aku tidak memiliki salah apapun! Sungguh, jangan hukum—"

"Yang mulia mengatakan, bahwa anda diundang untuk acara perjamuan teh bersama."

"Eh?"

Rasa terkejut dan penasaran yang semakin menjadi, Zenith menunduk. Apa yang sebenarnya terjadi? Apa yang Ayah rencanakan dibalik semua ini? Batinnya. "Kenapa ... Yang mulia mengundangku? Padahal sudah dikatakan bahwa aku tidak bisa—"

"Anda tidak bisa menolak, Nona."

Dia tersenyum miris, kemudian mengangguk pasrah. Bagaimanapun juga, dia bukan lagi Zenith si Tuan putri seperti dahulu, namun kembali menjadi Zenith Maghrita. "Baiklah ... kapan aku perlu datang?"

"Sekarang, Yang mulia juga mengirimkan beberapa pakaian sebagai hadiah untuk anda, Nona."

Zenith tertegun. Gadis itu menelan ludahnya sendiri dengan susah payah. Bahkan Ayah memberikan aku hadiah? Ini ... Benar-benar aneh.

"Apakah ... aku perlu memakai salah satu gaun pemberian Ay—ah maksudku, Yang mulia?"

Ksatria itu mengangguk kecil, yang membuat Zenith pada akhirnya hanya bisa mengangguk juga. Entahlah ... Namun, bisakah kali ini dia merasakan bahagia?

Apakah rasa bahagia ini adalah perasaan yang salah?

•••

Aku menghembuskan napas kasar, lagi-lagi aku kembali berhalusinasi. Ibu ... Itu mustahil, bahkan aku bisa-bisanya membayangkan seseorang yang telah tiada menemuiku.

Aku berharap, aku bisa merasakan kehadirannya. Memeluk kedua lutut, entah bagaimana caraku kembali dari taman ini. Begitu luas. "Kau ... aku mencarimu, tahu!"

Suara seseorang membuatku mendongak, hingga pandanganku dengan Herina bertemu. Aku mengernyit, kemudian kembali menenggelamkan wajahku.

Itu pasti halusinasiku lagi. "Hei! Kau kenapa, Athy?"

Grepp

Aku membelalak, kemudian merasakan rengkuhan hangat Herina kepada tubuhku. "Ini benar-benar aku, ayo kita kembali." Aku mengangguk, seraya merengkuh lengan kanan Herina erat. Sepertinya dia menyadari bahwa aku masih tidak bisa percaya.

"Kau kelelahan, mau aku gendong dibelakang?"

Dengan cepat aku menggelengkan kepala. Aku tahu dia kuat, tapi tidak memungkinkan ... Kami sama-sama mempelajari etiket tentang itu. "Tidak perlu, aku masih sanggup untuk berjalan."

Kami berjalan untuk menuju jalan keluar dari taman seperti hutan ini. Selepasnya, ini sudah benar-benar diluar dari taman. Pandangan kami seketika terpaku kepada gadis yang tengah berjalan di sana.

"Itu ... aku salah lihat, kan?"

Aku melirik kearah Herina, dia menggelengkan kepala. "Itu ... benar-benar Putri pertama, Zenith." Apa? Bagaimana bisa ... Dia kembali ke Istana?

"Tapi, untuk apa dia kemari? Bukankah Papa pernah berkata jika dia tidak boleh kembali kemari, sebelum Papa mengizinkannya 'kan?" Aku mengangguk, menyetujui tentang perkataan Herina.

Dan pada saat inilah pandangan kami bertiga bertemu, surai coklatnya yang terhembus oleh angin sepoi-sepoi disiang ini. Benar-benar cantik, namun ....

"Salam, Tuan putri Herina, dan Tuan putri Athanasia."

Aku dan Herina saling bersitatap pandang, dahi kami berkerut bingung. Dia berjalan mendekat, kearah aku dan Herina dengan senyuman tulus.

Itu memang terlihat tulus, apa ... Itu memang benar-benar tulus?

"Kakak ... kenapa kau—"

"Ah benar, maaf sebelumnya aku ingin membicarakan ini," dengan wajah malu-malunya, Zenith menyelipkan anak rambut kebelakang telinga. "Yang mulia mengundangku untuk perjamuan teh bersama, bukankah kita akan satu meja?"

"Iya?!"

Zenith sedikit terkejut, ketika mendengar sedikit teriakan kami yang terkesan menyentak. "Oh ... maaf, ada apa?"

Aku menunduk, sedikit gugup untuk menjawabku. Sebenarnya ... Aku sama sekali tidak mendengar bahwa Papa mengundang kami untuk perjamuan teh.

Herina yang menatapku sekilas, kemudian kembali angkat suara. "Sepertinya, Papa hanya mengundangmu."

"Ya? Tapi ... Kenapa? Bukankah—"

"Karena Papa mungkin hanya merasa nyaman denganmu, kau seharusnya ingat bahwa Papa melupakan kami, kenapa kau menyangkut pautkan ini? Apakah ... itu sebuah penghinaan?"

Aku menatap kaget kearah Herina, hei ... Kenapa dia berani sekali berbicara seperti itu kepada Zenith? Bahkan bisa dilihat jika wajah gadis ini sedikit terkejut juga dibuatnya. "T-tapi, maaf ... bukan itu maksudku—"

"Tidak masalah, lupakan saja. Pergilah ... Papa pasti tengah menunggu obatnya."

"Ya ...?"

Herina menggelengkan kepala pelan, sedikit tersenyum ramah kearah Zenith dan menarik lenganku dari hadapannya. Tunggu ... Obat? Apaa maksud dari 'obat' yang dikatakan oleh Herina?

A/n: Reader yang peka dan cepat tanggap, pasti tahu apa maksud dari perkataan Herina perihal 'obat' itu. Hehehehe ... Kalau udah ngerti, pasti kalian juga tahu siapa sebenarnya Herina a.k.a Kalian itu :v

Maaf, sedikit misterius 😆

Look at me! || WMMAP FANFICTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang